02. Feelings

4.1K 542 70
                                    

Sometimes all you can do is smile. Hold back the tears and pretend that you're okay.

Iya, hanya hal itu yang dapat Elea lakukan saat ini. Wanita itu beringsut turun dari tempat tidur menuju balkon kamarnya yang menghadap langsung ke jalan. Keadaan jalanan komplek sangat sepi saat itu. Jelas saja, siapa juga yang akan keluar rumah di jam 2 dini hari. Bahkan mungkin hansip yang harusnya berjaga malam akan lebih memilih tidur di pos.

Duduk di kursi berbentuk ayunan berwarna putih yang khusus Devan buatkan untuknya, Elea memeluk boneka berbentuk tulang berwarna broken white sambil menengadah menatap bulan yang tidak terlalu terlihat jelas karena bersembunyi di balik awan.

"Eya, aku sengaja letakin kursi ini di sini supaya nanti kalau kamu lagi kesepian dan kangen aku, kamu bisa duduk di sini dan lihat bulan di sana." Devan menunjuk bulan di langit yang saat itu berbentuk sabit seperti mata Devan saat tertawa. "Curhat aja sama bulan, bilang kamu kangen aku, nanti bulan yang akan bisikin ke aku"

Elea tersenyum samar mengingat kata - kata Devan padanya ketika Devan menunjukkan kursi berbentuk ayunan ini padanya. Malam setelah mereka pindah dari rumah orang tua Eya ke rumah yang Devan khusus bangun untuknya dan sehari sebelum Devan kembali bertugas.

Hari itu hari kelima pernikahan mereka, yang seharusnya Elea lewati dengan hal - hal manis bersama Devan sebagai pengantin baru, tapi ia justru terpaksa harus merelakan Devan kembali bertugas. Ingin Elea protes, tapi sepertinya akan sangat egois jika ia melakukannya. Karna toh Devan pergi untuk bekerja bukan untuk bersenang - senang tanpanya. Pukul tiga pagi, Elea dengan mata yang masih sungguh mengantuk mengantar Devan ke bandara. Melepas suaminya itu untuk kembali bertugas dan pulang ke rumah seorang diri. Beruntung Devan tidak membangun rumah yang terlalu besar, karna jika hal itu terjadi, Elea tidak bisa membayangkan betapa hampanya rumah besar itu jika harus ia huni seorang diri.

Kemudian ingatan Elea perpindah pada saat Devan untuk pertama kali mengajaknya mengunjungi rumah ini, dua hari setelah pernikah mereka. Devan menjelaskan setiap sudut rumah yang memiliki alasan di balik setiap desainnya.

"Eya, kamu tau nggak kenapa aku buat dapur dan ruang tv sebelahan dan nggak bersekat?" tanya Devan waktu itu. Dan dijawab dengan Elea yang hanya menggeleng. Wanita itu masih sibuk melihat - lihat isi kulkas besar dengan dua pintu yang penuh berisi bahan makanan.

"Supaya saat aku lagi nonton tv aku tetap bisa liatin kamu yang lagi masak. Terus kalau kamu kelamaan masaknya aku bisa langsung nyamperin kamu terus peluk dari belakang. Kayak gini"

Setelahnya Elea merasakan tangan Devan sudah melingkar di pinggangnya. Pria itu sudah menenggelamkan kepalanya di antara bahu dan leher Elea, membuat wanita itu tertawa kecil.

Tanpa melepaskan tangan Devan dari pinggangnya, Elea memutar badan. Membuat dirinya menjadi berhadapan dengan pria itu. "Kamu tuh ya bisa banget cari kesempatannya" Elea mencubit gemas hidung Devan membuat pria itu tertawa.

Elea tertawa kecil mengingat momen - momen itu bersama Devan. Di dapur yang nyatanya sangat jarang ia gunakan saat ini. Selain karena memang tidak sempat untuk memasak, juga karena Elea tau tidak akan ada Devan yang akan tiba - tiba memeluknya dari belakang dan membenamkan wajahnya di antara leher dan bahu Elea.

Tanpa sadar, genangan air sudah menumpuk di pelupuk matanya. Dengan cepat, Elea menyekanya dengan cepat sebelum genangan air itu benar - benar jatuh dari matanya. Tidak. Elea tidak sedih. Sama sekali tidak. Hanya... terlalu sulit untuk mendeskripsikan perasaan itu.

That feeling when you're not necessarily sad, but you just feel really empty.

Ponsel Elea bergetar. Sebuah pesan masuk di grup kantornya. Berusaha mengabaikannya, Elea mengeratkan dekapannya pada boneka tulang, berharap ada keajaiban boneka tulang itu berubah menjadi sosok Devan. Tapi, jelas tidak mungkin.

I For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang