09. Ending?

2.4K 395 73
                                    

Devan

Malam itu, gue hanya bisa menatap Eya yang lagi memasukan barang  - barangnya ke dalam koper. Jelas dalam penglihatan gue ketika Eya beberapa kali mengusap matanya yang basah. Dan sini, di ambang pintu kamar kami, gue cuma bisa mematung kayak mannequin yang nggak berguna, terlalu takut untuk menghampiri Eya dan membujuk Eya supaya mengurungkan niatnya untuk pergi.

Gue nggak ngerti kenapa semua ini bisa terjadi, ya meskipun gue udah pernah membayangkan hal terburuk dalam rumah tangga gue dan Eya yaitu Eya yang nyerah sama hubungan kami, tapo tetap aja rasanya gue nggak siap. Dan gue nggak nyangka semua bayangan gue kejadian juga. Secepat ini.

Tadi, ketika kata 'cerai' keluar dari mulut Eya, gue nggak tau harus gimana dan ngapain. Terlebih ketika Eya bilang kalau dia udah nggak cinta sama gue. Gue... gue nggak tau harus gimana. Lalu, sebelum gue sempat untuk mewaraskan otak gue, lagi - lagi Eya menyambar;

"Devan, kamu inget kan dulu kamu pernah bilang ke aku 'If one day you wake up and you no longer love me. I will let you leave. I won't ask you why. I won't ask you to stay one more night. You should stay because you want to. You should leave if you need.' Jadi, sekarang aku mau kamu tepatin ucapan kamu, Van. Kamu bilang pria itu akan selalu menepati ucapannya kan?"

Bodoh. Iya, bodoh karna gue pernah mengatakan hal itu pada Eya. Karna nyatanya semua ucapan gue semuanya Eya ingat dan sekarang, ketika Eya menagihnya gue kalah telak. Gue nggak bisa apa - apa. Pemikiran bodoh gue itu berhasil membuat gue bungkam saat ini. Dulu, gue pikir ya memang buat apa mempertahankan seseorang yang nyatanya udah nggak cinta. Ya kan? Tapi ternyata gue salah. Eya butuh gue perjuangkan.

"Aku pergi ya. Kamu baik - baik di sini"

Eya, dengan suara lembutnya yang berusaha ia buat senormal mungkin terasa menusuk buat gue.

"Eya.." panggil gue sambil meraih pegangan koper miliknya.

"Oh iya, nanti kalau mau pergi lagi, jaket - jaket kamu jangan lupa di bawa, kamu kan gampang banget sakit kalau kena udara dingin." katanya berusaha seriang mungkin. Kenapa sih, Ya? Kenapa kamu kayak gini?

"Eya.." gue beralih pada tangan Eya, meraihnya dan menggenggamnya erat.

"Jangan lupa minum air putih yang banyak setelah terbang. Terus jangan kebiasaan ngelupain makan. Jangan begadang juga. Terus.."

"Eya, cukup..."

Stop, Eya, stop. Jangan bikin semua ini terdengar lebih menyedihkan. Kamu nggak akan pernah aku lepasin.

Mata kamu Eya, mata kamu udah berkaca - kaca gitu tapi kamu masih juga bisa senyum?

"Eya, jangan pergi. Aku nggak mau pisah sama kamu" ucap gue akhirnya memohon pada Eya.

Eya menggeleng. "Nggak, Devan. Kamu akan lebih bebas kalau nggak ada aku. Nggak perlu ada yang kamu kabarin setiap mau atau setelah terbang. Nggak perlu lagi mikirin kapan pulang ke rumah. Nggak perlu lagi ribet ini - itu lagi"

Gantian gue yang menggeleng.  Gue mau bilang kalau semua yang dia bilang itu salah. Gue sama sekali nggak pernah ngerasa ribet harus ngabarin Eya atau harus pulang nemuin dia. Sama sekali nggak pernah. Tapi kenapa rasanya lidah gue terlalu kelu untuk bicara.

"Devan, boleh peluk?" tanyanya lagi. Dan tanpa gue jawab, Eya udah langsung menenggalamkan kepalanya di dada gue. Dan gue cuma bisa mengusap kepalanya. Cukup lama Eya memeluk gue sampai akhirnya dia menarik dirinya.

Eya menarik tangan gue dan mencium telapak tangan gue. Persis seperti yang biasa Eya lakukan jika ingin pergi. Kalau biasanya gue akan sangat senang Eya melakukan hal ini, tapi kali ini kenapa rasanya sakit ya?

"Aku pergi dulu. Assalamualaikum"

"Eya, aku antar ya? Udah malam. Biar aku bicara sama orang tua kamu juga"

Eya menggeleng dan mengusap lengan gue. "Nggak usah. Biar aku yang jelasin sama Mama sama Papa. Lagian, aku di jemput Adit"

Nama itu. Gue nggak tau harus bereaksi kayak gimana ketika nama itu lagi - lagi keluar dari mulut Elea. Atau jangan - jangan sebenarnya laki - laki itu alasan Eya melalukan semua ini? Fck! Eya, kenapa kamu begini sih?

.....

Elea

Aku nggak benar - benar di jemput Adit kok. Kalian nggak perlu khawatir. Aku nggak seburuk itu. Tadi itu hanya alasan aku supaya Devan nggak memaksa untuk mengantarkan aku. Dan berhasilkan?

Aku kembali menyeret keluar koperku sambil sesekali mengamati rumah ini. Berusaha mengingat setiap detail rumah yang pasti akan sangat aku rindukan nantinya.

Jika kalian bertanya mengapa akhirnya aku memutuskan ini semua, maka aku akan menjawab hanya dengan dua kata. Tidak tau. Iya, aku benar - benar nggak tau. Semua ini terjadi begitu aja. Kata 'cerai' itu juga meluncur begitu saja dari mulutku tanpa bisa aku kendalikan. Tapi semuanya sudah terlanjur.

Kalian mungkin akan mengatakan aku egois. Meninggalkan Devan yang berjuang mencari uang untuk kehidupan kami. Tapi lihatlah dari posisiku. Setidaknya, aku pikir dengan semua keputusan ini, hidup Devan akan menjadi lebih mudah. Seperti yang aku katakan tadi pada Devan.

Dan melihat reaksi Devan pun, sepertinya dia baik - baik saja dengan semua ini. Jadi dapat aku simpulkan jika rumah itu memang bukan lagi tempatku. Jadi kenapa lagi harus aku berlama - lama tinggal? Keputusan untuk pergi, tidak perlu menunggu diusir kan? Ya, kurang lebih begitu. Kalian mengerti kan maksudku? Aku anggap kalian mengerti.

Soal Mama, Papa dan kaluargaku... Ah, entahlah. Kita lihat saja kedepannya akan seperti apa. Sekarang, aku menyerahkan semuanya pada takdir. Biarkan ia yang memainkan semuanya untukku.

Taksi yang tadi aku pesan juga sudah menungguku. Aku membiarkan sopir taksi itu yang memaksukkan koper besarku ke dalam bagasi, sementara aku sudah duduk di dalam mobil biru itu. Memandang rumah besar itu sekali lagi.

"Mau kemana, Bu?" tanya sopir taksi yang baru saja duduk di kursi kemudi.

Aku menyebutkan salah satu perumahan di daerah Jakarta Selatan. Beruntung, sopir taksi itu tau di mana letaknya tanpa perlu aku jelaskan lebih detail. Kemudian, taksinya mulai bergerak. Meninggalkan rumah Devan. Dan sialnya, seiring taksi ini berjalan, air mataku lagi - lagu mengiringinya. Membuat pandanganku akan rumah Devan mengabur.

Devan, aku sayang kamu...

.....

Huhuhuhu maafin.. maafin aku... jangan salahin aku.. salahin lagu - lagu sedih yang bikin cerita ini jadi menyedihkan.

Nggak kok. Ini bukan ending. Judulnya doang. Cerita Devan dan Elea masih sangat panjang. Jadi, jangan marahin aku huhuhu.

I For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang