18. Devan in Action

2.6K 362 42
                                    

Bila kamu kehilangan arah, maka rindu yang akan menuntunmu tetap melangkah. Melawan segala jarak, agar selalu ada ruang untuk kembali.

....

Dua hari setelah kejadian di restoran milik Devan, Elea sakit dan harus dirawat di rumah sakit tidak jauh dari kantornya. Saat itu Elea yang harusnya menghadiri rapat tiba tiba kehilangan kesadaran saat akan masuk lift, beruntung ada Adit di sampingnya yang dengan siaga menangkap tubuh Elea sebelum tubuh wanita itu menyentuh lantai.

"Le, ayo di makan dulu ini makanannya. Denger kan kata dokter tadi apa? Kamu harus banyak makan biar nggak lemes dan pingsan lagi. Ayo aaa~?" ucap Adit, masih dengan sabar membujuk Elea untuk makan meski wanita di hadapannya itu sama sekali tidak mau membuka mulutnya.

"Adit, udah berapa kali sih gue bilang. Gue nggak mau makan makanan dari sini. Rasanya semua asin di lidah" bantah Elea sambil memalingkan wajahnya ke arah lain.

Adit menghela napas, berusaha tetap menjaga kesabarannya. "Yaudah, kamu mau makan apa? Biar aku beliin ya? Tapi makannya harus cepet jangan sampai ketauan susternya. Nanti dimarahin lagi"

Elea menoleh antusias, namun ragu untuk mengatakan keinginannya. "Mmm... mau makanan dari resto yang deket kantor itu. Delea's Resto hehehe"

"Nggak, Le. Yang lain aja ya? Di sebelahnya ada restoran jepang yang rasanya lebih enak, aku beliin itu aja ya?"

Elea menggeleng, entah mengapa hasratnya untuk makan makanan dari restoran milik Devan benar benar tidak bisa terbendung dan membuatnya menjadi menyebalkan seperti ini.

"Aku nggak mau. Nggak usah makan aja kalo gitu" Elea kembali merebahkan tubuhnya dan berbaring menyamping, menghindari Adit yang kini mengerang frustasi.

"Yaudah, iya. Aku beliin. Kamu tunggu sebentar di sini. Kalo ada apa - apa kabarin aku ya?" ucap Adit sembari mengelus kepala Elea.

Elea tetap bergeming, sampai terdengar langkah kaki Adit menjauh dan suara pintu terbuka lalu kembali tertutup.

Baru setelahnya, Elea kembali mengubah posisinya menjadi bersandar pada bantal yang sebelumnya sudah ia sandarkan pada sandaran ranjang.

Elea membuka sedikit baju pasiennya dan meletakan telapak tangan pada permukaan perutnya yang kini sudah terlihat sedikit menonjol. "Dek, kamu kenapa mintanya sesuatu yang berhubungan sama papa terus sih?" ujar Elea sedih.

Masih dalam keadaan mengelus perutnya, seseorang masuk ke dalam kamar rawat Elea, membuat wanita itu buru buru membetulkan bajunya.

"Kok cepet banget. Jangan bilang-"

Elea begitu melihat sosok yang masuk ke dalam kamar rawatnya bukanlah Adit melainkan Devan. Pria itu tanpa ragu berjalan mendekati ranjang yang di tempati Elea.

"Devan? Ka-kamu ngapain?"

.....

Devan

Gue baru aja mau belok buat naik tangga waktu gue ngeliat sosok Adit keluar dari sebuah ruang rawat. Niat gue untuk membawakan Keira makan siang batal saat melihat sosok itu berjalan menuju tangga turun, gue buru - buru sembunyi biar Adit nggak tau keberadaan gue. Baru setelah lelaki itu gak lagi terlihat, gue mendekati ruangan tempat Adit keluar tadi.

Rasa penasaran gue tiba - tiba muncul. Kepo gue, siapa sih yang dirawat di dalam? Kenapa itu lelaki kardus mukanya bingung gitu waktu keluar.

Pada suster yang kebetulan sedang lewat, gue tanya dan saat tau Eya yang dirawat di dalam tanpa pikir panjang gue masuk ke dalam ruangan itu. Gue bahkan lupa untuk mengetuk pintu. Ah, bodo amatlah, Eya ini yang di dalam. Orang kalo lagi panik emang suka bego.

Waktu gue masuk, gue sempat lihat Eya yang sedang mengelus perutnya dan langsung ngebetulin bajunya waktu tau ada yang masuk ke dalam kamarnya.

Bibir Eya terlihat pucat banget, ada selang infus juga yang menancap di tangan kirinya. Gak tau lah, kayak orang kesambet gue jalan buru - buru ke tempat tidur Eya.

"Devan? Ka-kamu ngapain?"

Gue sama sekali nggak berniat buat jawab pertanyaan Eya, dan lo tau apa yang gue lakuin selanjutnya?

Setelah meletakan paper bag yang gue bawa. Gue peluk Eya.

Sekali lagi gue kasih tau. Gue peluk Eya.

Kali ini beneran gue peluk, bukan lagi khayalan gue kayak dua hari lalu.

Gue peluk Eya seerat yang gue bisa. Lewat pelukan itu gue mau bilang sama Eya, kalo gue kangen sama dia. Gue khawatir banget liat keadaannya sekarang.

Tapi gue terpaksa melepas pelukan gue saat tau tau suara serak Eya terdengar.

"Devan, kamu peluknya terlalu keceng. Aku susah napas, nekan perut aku juga"

Sekali lagi gue bilang. Orang panik emang suka bego. Gue lupa kalo di dalam perut Eya sekarang lagi ada bayinya. Bayi gue dan Eya. Gue yakin itu.

"Ma-maaf. A-aku gak sengaja" ucap gue terbata. Kan mulai lagi penyakit gagap gue muncul kalo deket Eya.

Gue menatap Eya dan pandangan gue terhenti saat melihat bagian perut Eya yang sedikit terekspos karna bajunya terangkat.

Eya mengikuti arah pandangan gue dan buru - buru menurunkan bajunya saat sadar gue menatap perutnya. Meski cuma liat sebentar, gue bisa memastikan ada tonjolan kecil di perut Eya. Itu pasti bayi kami yang lagi berkembang di dalamnya.

Lo tau gak, ngomong begitu gue jadi merinding sendiri. Ngebayangin ada darah daging gue di dalam perut Eya.

"Kamu ngapain di sini?" gue tersadar dari lamunan saat kembali mendengar suara Eya.

Woi sumpah gue harus jawab apa dong? Gue harus jelasin semuanya sekarang gak sih? Tapi mulainya dari mana? Tolong dong gue bingung.

"Aku kangen" akhirnya hanya dua kata itu yang keluar dari mulut gue ini. Nggak guna banget emang.

"Tau dari mana aku di sini? Adit?" tanya Eya lagi, terdengar jelas banget Eya berusaha mengontrol suaranya supaya terdengar datar.

Gue menggeleng. "Selalu ada jalan yang bawa aku ke kamu, Ya. Tapi jalan itu bukan Adit yang kasih" ucap gue.

Kemudian baik gue maupun Eya sama sama diam. Eya menunduk menatap selimutnya dan gue menatap Eya yang lagi menatap selimutnya. Lalu, gue mengalihkan pandangan gue pada tray makanan di meja yang masih terisi penuh.

"Aku bawa makanan buatanku. Kamu mau makan? Belum makankan?"

Eya mendongakan kepalanya menatap gue yang lagi ngambil paper bag dan mengeluarkan isinya. Sekotak makan siang yang sebenernya gue bawa buat Keira yang lagi jagain Devino yang kemarin harus di rawat karna DBD.

Gue menarik kursi dan duduk di samping ranjang Eya, membuka kotak makanannya dan menyendokkan sesuap nasi dengan capcai lalu menyodorkannya tepat di depan mulut Eya. Awalnya Eya ragu, tapi akhirnya mau juga membuka mulutnya.

Gue menyuapi Eya dalam hening. Bener - bener gak ada obrolan, lebih tepatnya gue bingung mau ngobrolin apa. Sampe akhirnya, Eya bertanya satu hal yang membuat gue akhirnya menceritakan semua pada Eya.

"Kata Mama, kamu berhenti jadi pilot?"

.

.

.

.

.

to be continued...

Sebenernya chapter ini masih lebih panjang, berhubung tulisannya hilang saat aku mau publish jadi cuma bisa ngulang segini aja huhuhuhu T.T

p.s : part selanjutnya diprivate ya?

I For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang