07. Getting Worse

2.9K 419 51
                                    

Elea

Aku nggak tau apa yang salah dengan diriku. Harusnya saat ini aku masih di kamar. Tidur dengan memeluk tubuh Devan. Pria yang belakangan ini sangat - sangat aku rindukan. Tapi aku nggak bisa. Jangan tanya kenapa karna aku sendiri juga nggak tau.

Ada perasaan takut yang kini aku rasakan jika berada di dekat Devan. Bukan, bukan takut semacam jika berhadapan dengan orang jahat. Tapi... seperti takut untuk dekat dengan seseorang yang cepat atau lambat aku tau akan kembali pergi. Aku tau ini terdengar berlebihan. Devan hanya bekerja. Aku tau itu. Tapi percayalah hal ini yang benar - benar aku rasakan. Seperti... aku takut bahagia. Karna aku tau bahagia dengan Devan hanya akan terjadi beberapa hari. Selebihnya aku kembali kesepian.

Aku takut terlalu nyaman berada di dekat Devan, karna dua atau tiga hari atau paling lama seminggu kemudian Devan pasti akan pergi lagi. Dan aku harus memaksa diri untuk rela ditinggal Devan.

Mungkin kalian bertanya - tanya mengapa baru sekarang aku mengeluhkan hal ini. Karna memang baru sekarang aku menyadari bahwa semua ini terlihat konyol. Dulu aku kira menjalani hubungan jarak jauh dengan Devan akan mudah selama terus ada komunikasi. Tapi nyatanya, tidak semudah itu. Devan bahkan sering kali menghilang tanpa kabar. Tidak tau di rumah aku mati - matian menahan khawatir.

Memahami profesi pasangan hidup adalah suatu hal yang wajib dilakukan. Iya, aku tau. Tapi..

"Eya.."

......

Devan

Gue bangun lebih awal pagi ini. Jam baru menunjukkan pukul setengah enam pagi, tapi Eya udah nggak ada di tempatnya. Sisi tempat tidur di samping gue udah kosong. Hanya menyisakan selimut tebal yang semalam Eya pakai untuk menutupi seluruh tubuhnya, itu pun udah terlipat dengan rapih. Masih dengan mata setengah mengantuk, gue keluar kamar. Mencari Eya tentunya. Karna nggak mungkin Eya udah berangkat ke kantor pagi - pagi buta begini.

Di dapur, gue menemukan Eya. Duduk di kursi ruang makan dengan kepala tertunduk menempel di kedua tangannya yang dilipat di atas meja. Eya duduk membelakangi arah datang gue. Anehnya, jam segini Eya udah rapih dengan pakaian kantornya. Gue masih ingat dengan jelas kok, Eya itu biasa berangkat jam setengah delapan. Dua jam lagi. Apa kebiasaan itu udah berubah? Tapi nggak mungkin. Mana ada kantor yang buka pagi - pagi buta begini. Lagi pula Eya baru banget sembuh, masa udah mau balik kerja lagi?

"Eya.." gue mengelus kepalanya yang tertunduk. Eya mengangkat kepalanya dan tersentak kaget begitu melihat gue.

Gue menarik kursi agar bisa duduk lebih dekat dengan Eya. Tapi Eya seakan menarik diri dari gue. Dia lagi - lagi menundukkan kepalanya. Menainkan jari - jari kurusnya.

"Eya.." panggil gue.

"Hmm..?"

"Kamu mau kerja?"

Eya hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya. Gue mencoba genggam tangan Eya, tapi dia menolak dan menarik kursinya menjauh.

"Eya aku minta maaf. Aku tau aku salah, tapi please, jangan cuekin aku kayak gini"

Eya nggak menjawab dan malah sibuk sama ponselnya yang tadi sempat berbunyi.

"Aku mau berangkat. Sarapan kamu udah aku siapin. Tinggal panasin aja kalau mau makan nanti" ucapnya tenang. Suara Eya masih lembut seperti biasa, berbanding terbalik dengan wajahnya yang terlihat kaku.

"Eya, tapi ini masih terlalu pagi"

"Aku berangkat ya"

"Aku antar ya?"

I For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang