16. Home

2.2K 356 78
                                    

Pergilah, pergi sejauh yang kamu mau. Aku akan menunggu sampai kamu sadar bahwa bumi ini bulat. Semakin jauh kamu pergi, semakin kamu akan kembali.

-

Elea

Mungkin sebagian dari kalian pernah mendengar tebak - tebakan ini; Apa yang kalau didekati dia menjauh tapi ketika dijauhi dia justru mendekat?

Dulu aku akan menjawab hal itu adalah bayangan, tapi sekarang jawabanku akan lain. Jawabanku sekarang adalah Devan. Iya, Devan. Lelaki yang saat ini berdiri di meja kasir—tengah melayani pelanggannya—dengan senyumnya yang masih sama seperti dulu.

Bedanya, kini perempuan yang berdiri di samping Devan bukan lagi aku, tapi sosok lain yang sampai kini belum aku ketahui namanya. Iya, masih perempuan yang sama dengan waktu itu. Perempuan yang bersama Devan saat pertemuan kami di rumah sakit beberapa minggu yang lalu.

Rupanya restoran yang baru buka pagi ini dan berhasil menarik perhatianku untuk berkunjung meski sangat ramai ini adalah restoram milik Devan. Entah sejak kapan lelaki itu memilih berbisnis di bidang kuliner. Harusnya sebagai seorang pilot, Devan itu sibuk dan tidak ada waktu untuk hal ini. Sama halnya seperti ia tidak ada waktu untukku dulu.

Aku tidak tau sudah berapa lama aku berdiri di depan pintu, sampai sesuatu menabrak kaki-ku dari belakang, beruntung aku bisa menjaga keseimbangan. Rupanya yang menabrakku itu bukan sesuatu, tapi seorang anak kecil sekitar umur empat tahun menatapku—yang baru saja ditabraknya—dengan mata bulatnya.

"I'm sorry.." gumamnya pelan sambil tertunduk.

Belum sempat aku menjawab, suata Adit lebih dulu terdengar "Le, kamu nggak apa - apa? Kan aku udah bilang tunggu sebentar"

Lagi - lagi belum sempat aku merespon, suara lain terdengar membuatku menoleh ke sumber suara.

"Eya?"

Bukan hanya aku, Adit pun sama terkejutnya, melihat sosok Devan yang sudah berdiri di antara kami. Tapi bukan hanya Devan, tapi juga perempuan yang mulai saat ini aku sebut 'pacar Devan'.

"Eya..." sekali lagi Devan bersuara. Kali ini terdengar serak.

Ada yang salah dengan tubuhku yang tiba - tiba terasa kaku dan sulit digerakan. Sampai aku hanya bisa menutup mata rapat - rapat saat Devan melangkah mendekat.

Beruntung Adit segera menarikku dan membawaku pergi dari sana.

"Sorry, jam makan siang kami sebentar lagi habis. Ayo, Le" ucapnya sambil setengah menyeretku.

Aku tidak menolak, sedikit kesulitan mengikuti langkah Adit yang panjang - panjang dan mengabaikan panggilan Devan yang semakin lama semakin tidak terdengar.

Aku berusaha menatap Adit yang wajahnya terlihat sangat tenggang saat itu. Terlihat jelas dari raut wajah dan rahangnya yang mengeras saat itu. Bukankah harusnya aku yang seperti itu, kenapa harus Adit?

"Dit, jangan cepet - cepet jalannya. Nggak bisa" ucapku saat benar - benar sudah kualahan menyeimbangkan langlah Adit. Jarak kami dengan restoran Devan sudah cukup jauh.

Adit tiba - tiba menghentikan langkahnya "Maaf, Le" ucapnya pelan,  raut wajahnya perlahan berubah seperti biasa.

"Kamu jangan pernah datang ke sana lagi ya, Le? Aku nggak mau kamu ketemu laki - laki itu"

Meski tidak mengerti maksud ucapan Adit dan mengapa ia mengatakan itu, aku hanya mengangguk. Sejak kejadian di rumah sakit itu, sikap Adit memang berubah seratus delapan puluh derajat. Harus aku katakan kalau Adit menjadi lebih.... posesif? Ia bahkan sekarang menggunakan sebutan 'aku-kamu' yang masih terdengar aneh di telingaku.

I For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang