17. Rindu

2.2K 323 150
                                    

I said I was fine, but I never said it didn't hurt.

.....

Elea

Bungkus makanan itu masih aku genggam, aku amati dan aku baca berulang kali. Begitupun selembar kertas sticky notes kuning berukuran 7x7cm yang kini sudah terlihat lecak karna berulang kali aku baca kemudian aku buang namun satu menit kemudiannya aku kembali ambil dan baca lalu aku buang lagi dan berakhir aku ambil lagi, begitu sampai aku lelah membuangnya.

DELEA'S RESTO

Itu yang tercetak besar dan tebal di bungkus makanan. Awalnya, aku kira itu hanya nama restoran biasa sampai aku membaca surat yang terselip dan mengatakan bahwa kata Delea dari Delea's Resto adalah gabungan nama Devan dan aku yang katanya restoran itu didirikan untukku, untuk kami. Lalu mataku kembali beralih pada sederet kata yang ditulis tangan dan aku sangat hafal tulisan tangan itu yang mengatakan;

"Berjanjilah untuk selalu berusaha menjaga diri agar tetap sehat dan baik - baik saja. Sebab baikmu adalah ketenanganku. Bersabarlah, aku akan membawa kalian pulang."

Itu tulisan tangan Devan, aku tau itu. Tapi, apa maksud Devan menuliskan hal itu? Kalian? Siapa yang dimaksud kalian olehnya? Apa mungkin Devan sudah tau?

"Le, ayo pulang."

Aku mendongak dan menemukan Adit sudah berdiri di ambang pintu ruanganku. Seperti biasa mengajakku untuk pulang bersama. Belakangan ini Adit selalu rutin datang ke apartemenku untuk menjemput dan melarangku untuk menyetir sendiri di kantor.

"Dit, lo pulang duluan aja ya? Gue mau jalan dulu sama Dinda"

Adit terlihat berpikir sebentar, "Gue anter ya?"

Aku menggeleng, "Kami nanti dijemput mas Fitra" ucapku, mas Fitra itu adalah suami Dinda. Baru sebulan yang lalu keduanya menikah. Aku bahagia akhirnya sahabatku itu menemukan kebahagiaannya.

"Yaudah, aku tungguin sampai kalian dijemput ya?"

"Gak usah, Dit. Lo pulang aja. Lagian gue nunggunya di sini kok, gak akan kenapa - kenapa juga. Lo pulang duluan aja"

"Kalo gitu pulangnya aku jemput ya?"

"Gak usah, nanti aku minta anterin mas Fitra sama Dinda aja"

"Yaudah, tapi nanti sampai rumah kabarin aku ya?"

Aku hanya mengangguk, tanpa benar benar mendengarkan ucapan Adit agar laki - laki itu cepat pergi. Setelahnya aku menghubungi Dinda untuk memintanya mengatakan bahwa aku sedang bersamanya dan Mas Fitra saat Adit bertanya nanti. Iya, aku berbohong pada Adit. Aku dan Dinda tidak ada janji untuk bertemu hari ini. Itu hanya alasanku agar Adit tidak memaksa untuk mengantarku pulang karna ada sesuatu yang harus aku lakukan dan Adit pasti akan melarangku melakukannya kalau dia tau. Karna aku ingin pergi ke tempat itu....

-

Aku nggak tau apa yang aku lakuin di sini. Aku nggak tau apa yang mau aku omongin seandainya ketemu sama Devan. Aku nggak tau kenapa aku ada di sini sekarang. Yang aku tau, hati aku minta aku untuk datang ke sini. Dan aku sama sekali nggak bisa untuk menolaknya

Setelah menarik nafas dalam dalam dan menghembuskannya, meyakinkan diri sekali lagi mau masuk atau nggak, akhirnya aku mendorong pintu restoran Devan dan melangkah masuk.

Restorannya udah sepi dan nggak ada satu pun pengunjungnya. Terlihat juga beberapa karyawan lagi bersih - bersih.

"Maaf, kami sudah tutup"

****

Devan

Alhamdulillah, restoran gue rame terus hari ini dari pagi sampe malem begini. Dan niatnya hari ini gue mau tutup lebih awal karna ingin menemui Elea. Tekad gue udah bulat. Gue gak bisa lari terus dari masalah gue. Setidaknya gue harus menjelaskan dan mendapat penjelasan dari Eya tentang semua yang terjadi. Meskipun saat ini Eya bukan lagi istri gue, tapi gue berhak tau kan anak dalam kandungannya itu anak siapa? Meski Keyra kekeuh bilang kalau ini anak Adit, tapi gue yakin pasti bukan. Gue kenal Eya. Si sayangnya gue itu gak mungkin berbuat macam - macam di luar batas kayak gitu. Gue yakin itu adalah anak gue, darah daging gue. Dan gue yakin, feeling gue ini bener. Insting seorang Ayah, coi. Mantap gak tuh?

Gue bantu - bantu beberes kursi - kursi yang masih rada berantakan biar cepet selesai dan cepet - cepet ketemu Eya, sampai akhirnya pintu resto kebuka dan seorang tamu masuk.

"Maaf, kita sudah tutup..."

Ucapan gue terhenti ketika melihat siapa tamu yang baru aja masuk. Itu, Elea. Berdiri di ambang pintu.

Gak, tau kekuatan dari mana. Dengan satu gerakan cepat, gue menarik Eya kedalam dekapan gue. Gue dekap Eya erat - erat. Erat banget. Gue mau kasih tau ke Eya kalau gue gak mau kehilangan dia lagi.

Dan Eya pun hanya diam dalam dekapan gue. Dan gue mengartikannya Eya menerika dekapan gue.

"Eya, aku rindu" bisik gue.

Gak ada respon dari Eya dalam beberapa saat sampai tau - tau terdengar isakan isakan kecil dari Eya. Eya nangis. Apa itu tandanya Eya juga kangen gue!

"Aku rindu, Ya." ulang gue. lebih tegas. "Aku rindu kamu. Aku rindu kita. Aku gak mau kita pisah, Ya"

"Oh, sorry. Udah tutup ya?"

Lho? Kok jawabannya begitu? Seketika gue tersadar dari lamunan gue dan melihat Eya yang masih berdiri di ambang pintu dan gue masih berdiri di tempat gue. Jadi, meluknya gue itu cuma halusinasi? Bego.

Dan dari tempat gue berdiri, gue melihat Eya yang kembali balik badan dan bersiap untuk pergi.

Kejar Devan, kejar. Hati gue udah teriak teriak dengan dongkolnya. Tapi kedua kaki gue masih diem aja di tempatnya gak mau bergerak.

"Eya, tunggu"

"Devan, tolong. Devino demam"

Berbarengan dengan gue meminta Eya untuk berhenti, Keyra mengatakan bahwa anaknya demam. Gue menoleh, begitu pun Eya yang juga ikut menoleh ke arah Keyra yang keluar dari ruangan sambil menggendong Devino yang terkulai lemas.

"Tapi.."

Gue kembali menoleh ke arah Eya yang kebetulan juga menoleh ke arah gue dan kemudian membuang muka dan berlalu dengan cepat dari restoran gue sebelum gue berhasil mengatakan sapatah kata pun padanya lagi.

*****

Elea

Elea bodoh. Elea bodoh. Elea bodoh. Berulang - ulang aku mengatakan hal itu pada diriku sendiri sambil sesekali menyeka air mata yang gak juga berhenti turun.

"Kita mau kemana, mbak?"

Tanya sopir taksi yang taksinya baru aja aku naikin itu.

"Jalan dulu aja, Pak"

Beruntung banget setelah keluar dari tempat itu, bapak sopir ini datang bersama taksinya. Seolah memang disiapkan untuk membantu aku pergi sejauh - jauhnya dari tempat itu.

Elea bodoh.

Umpatku sekali lagi. Lagi - lagi dengan bodoh dan teganya aku menyakiti hatiku sendiri. Harusnya aku gak datang ke sana dan melihat adegan itu. Harusnya aku pulang saja bersama Adit.

Dan harusnya aku juga baik - baik saja mengetahui bahwa Devan tidak menahanku untuk pergi dan memilih tinggal untuk wanita itu.

Sadar, Elea, sadar. Kamu bukan lagi siapa - siapa untuk Devan. Kamu hanya masa lalu. Wanita itu yang sekarang adalah segalanya untuk Devan. Bukan kamu lagi.....

.

.


.

.


.



.



.



.


.


.


.

To be continued...

I For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang