2

20.2K 1.8K 34
                                    

Afif Ahwal Said

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Afif Ahwal Said

Alhamdulillah, semenjak pulang dari Kairo beberapa bulan yang lalu, aku langsung mendapat tawaran menjadi dosen di salah satu universitas negeri di Jakarta.

Sudah tujuh tahun lamanya, aku meninggalkan kota ini demi menimbah ilmu di negeri orang. Setelah tujuh tahun berlalu, ternyata tidak banyak yang berubah dari kota ini. Pemandangan kemacetan masih menjadi sarapan mataku di pagi hari ini.

Aku memarkirkan sepeda motor ku di parkiran khusus para dosen. Sebenarnya, aku merasa belum pantas menjadi dosen. Selain karena usia ku yang jauh lebih muda dari dosen yang lain, juga ilmu yang kudapat belum sebanding dengan mereka, para dosen senior.

"Assalamualaikum, pak," aku mengangguk seraya melempar senyum pada salah satu mahasiswi ku, yang semenjak pertemuan pertama kami, dia yang paling aktif bertanya.

"Wa'alaikumsalam, Leya," perempuan berpakaian longgar dan berbalut pashmina itu tersenyum, kemudian berlalu begitu saja. Ku lihat, ia menangkup kedua pipinya sementara kepalanya ia gelengkan.

Oh iya, aku baru sadar. Semenjak tujuh tahun terakhir, aku merasa ada yang berbeda dari diriku. Aku merasa tidak lagi mengurangi pergaulan dengan siapapun, asalkan itu positif. Aku bukan lagi Ahwal si laki-laki abnormal. Karena memang, dari awal aku merasa normal. Hanya saja, berkat candaan seorang gadis, teman kelas ku jadi membesar-besarkan julukan itu.

"Lihat! Ahwal itu gak normal! Masa pegang tangan gue aja, dia gak berani!" Teriaknya kala itu, aku hanya bisa menunduk. Bukan aku tidak ingin membantahnya, tapi apa yang diucapkannya memang benar. Aku tidak berani memegang tangannya. Selain karena tidak terbiasa dengan sentuhan perempuan--tentu saja ibu ku sebagai pengecualian--, aku juga tidak ingin berbuat dosa. Lebay memang, untuk ukuran anak SMA yang tidak mengenal perempuan.

"Gak mungkinlah! Mana mungkin Ahwal gak normal! Toh, dia kan dekat dengan Yumna," sahut Farel--yang saat itu menjabat sebagai ketua kelas.

"Halah, kedekatan mereka itu hanya settingan!" Teriak temanku yang lain.

Saat itu, memang hanya Yumna teman dekatku. Aku dan dia sering berbagi ilmu agama yang kami tahu. Selain itu, dia partner sholat dhuha ku yang tidak pernah absen menemaniku ke masjid untuk melakukan ibadah sunnah itu.

Tapi, tidak lebih dari itu, kami hanya sekedar teman. Saat jam istirahat berlangsung--setelah menemaniku sholat dhuha--, ia langsung berbaur dengan teman-temannya yang lain. Dan aku kembali menyendiri, duduk tafakur di kelas di temani suasana rusuh di kelas.

Zayba Shadha Rumaisa.
Gadis itu, sejak awal sudah menyita perhatian ku. Gadis yang memberikan aku julukan abnormal dan bersifat permanen selama aku bersekolah di sana. Aku suka dengan julukannya, sebab tak ada gadis lain yang mendekati ku selain Yumna.

Sampai pada akhirnya, aku mendapatkan kabar kalau Yumna akan pindah sekolah. Bukan hanya pindah sekolah, ia dan keluarganya juga akan pindah ke Samarinda. Saat itu, aku merasa sedih. Satu-satunya orang yang percaya kalau aku normal, akhirnya harus pergi dan membuatku harus menunggu entah sampai kapan.

Hingga pada suatu hari, aku tersadar akan sesuatu. Rupanya selama ini yang aku tunggu, bukan Yumna. Melainkan gadis lain yang saat itu belum menjemput hidayahnya.

"Ahwal?" Aku tersadar dari lumananku sembilan tahun silam, saat Pak Kuntoro--dosen senior di kampus ini melambaikan tangannya di depan wajahku.

"Astagfirullah, maaf pak. Tadi saya melamun," kataku jujur sembari menggaruk tengkuk ku. "Tadi, bapak ngomong apa yah?" lanjut ku yang hanya dibalas gelengan oleh Pak Kuntoro.

Beliau menepuk pundakku, kemudian tersenyum, "ada perempuan cantik yang menunggumu di depan. Dari tadi dia nelpon di hape kamu, tapi gak kamu angkat. Temuin dia gih, kasihan dia udah nunggu lama," jelas Pak Kuntoro, langsung saja aku berjalan keluar dari ruangan dosen dan mencari sosoknya.

Ah, ya. Itu dia, gadis cantik yang sempat pergi dari hidupku. Rencana Allah memang tidak ada yang tau. Gadis itu meninggalkan aku saat masih duduk di kelas sebelas, dan akhirnya kami kembali dipertemukan di kampus yang sama saat aku kuliah di Kairo dulu.

"Yumna? Kamu udah lama nunggunya?" Aku berjalan kearahnya, yang saat ini berdiri di dekat jendela sambil memandang kebawah. Melihat aktifitas para mahasiswa di waktu dhuzur seperti ini.

Ia menoleh, dan tak lupa pula ia menebarkan senyumnya. "Assalamualaikum, Afif Ahwal Said," sapanya ramah. Sudah menjadi ciri khas wanita berhijab syar'i ini, jika menyebutkan nama lawan bicaranya, pasti menggunakan nama lengkap.

Aku kembali menggaruk tengkuk ku, menyadari kesalahan ku "Wa'alaikumsalam, Yumna," aku melempar senyum canggung. Entah kenapa, aku merasa canggung dengan suasana ini. Apa karena sekarang kami berada di kampus? Atau karena beberapa mahasiswi yang lewat melempari kami dengan candaan berupa, "cie, cie.."

"Ada apa kemari?" Saat ini kami berjalan menuruni tangga dan berniat menuju masjid untuk melaksanakan shalat dhuzur.

"Yah, biasalah. Mama nyuruh aku buat ajakin calon suami ku makan siang," katanya, sambil cemberut.

Yah, orang tua kami memang sengaja menjodohkan kami. Tapi, asalkan kalian tahu saja, aku belum pernah sekalipun melamar Yumna. Belum pernah sekalipun aku menemui orang tuanya dan memintanya untuk ku. Hanya saja, Ibuku dan Mamanya terlalu ngotot untuk menjodohkan kami, padahal aku tau kalau saat ini Yumna sedang menaruh hati pada salah satu mahasiswa ku di jurusan ilmu hadits.

"Oh iya, Afif Ahwal Said, kamu sudah temukan gadis yang kamu maksud itu? Ini sudah tujuh tahun loh, semenjak kamu ke Kairo," aku tau kemana arah pembicaraan Yumna, tapi aku terlalu malas untuk membahasanya saat ini.

Memang, aku pernah bercerita pada Yumna tentang seseorang yang aku suka saat pertemuan pertama kami di Kairo. Awalnya aku ragu untuk menceritakannya pada orang lain, tapi aku butuh seseorang untuk mendengar pengakuanku. Saat bercerita dengan Yumna, aku sama sekali tidak pernah menyebutkan namanya. Biarlah menjadi rahasiaku sendiri.

"Belum Yumna. Aku bahkan tidak menemukannya dirumahnya yang dulu. Mungkin dia sudah pindah, atau mungkin dia sudah menikah dan ikut dengan suaminya," sebenarnya aku tidak tega mengatakannya. Tapi, cepat atau lambat pasti gadis itu akan menikah dan ikut bersama suaminya. Hal itu sudah menjadi buah pikiranku beberapa bulan yang lalu semenjak aku menginjakkan kakiku kembali dinegeri ini.

Meskipun dia benar sudah menikah, tak apa. Aku akan mencoba ikhlas, setidaknya aku harus bertemu dengannya sekali dan berterima kasih pada suaminya karena telah menjaganya.

"Sabar yah, aku yakin kamu pasti akan bertemu dengannya cepat atau lambat," ujar Yumna sebelum kami berpisah dan memasuki masjid.

🌈🌈🌈

Syukron sudah baca dan meninggalkan jejak💕

27.Desember.2016®BlueAinn
→ Cerita ini tidak di revisi setelah ditulis, jangan heran kalau banyak typo.

Aishtaqat Lak | [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang