10

12K 1.1K 16
                                    

Afif Ahwal Said

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Afif Ahwal Said

Aku sengaja mengosongkan jadwal mengajarku hari ini. Aku ingin bertemu dengannya, aku ingin melihat sosoknya dengan jelas.

Pagi ini, setelah sarapan aku langsung bergegas menuju tempat kerjanya. Kemarin Nazril memberitahu ku alamatnya. Tidak mudah untuk mendapatkan alamat ini. Nazril terus melempariku pertanyaan menyelidik, yang tentu saja ku balas dengan alibi lain tanpa ada unsur kebohongan didalamnya.

Aku memarkirkan motorku pada sebuah masjid di pinggir jalan yang letaknya tak jauh dari butik tempat ia bekerja. Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Butiknya sudah lama di buka, tapi aku belum melihat dirinya. Apa ia terlambat? Sepertinya tidak, mengingat ia tidak pernah memiliki riwayat terlambat selama SMA.

Hari sudah semakin siang, ayat demi ayat telah ku baca. Lembar demi lembar firmanNya telah menemaniku menahan kantuk selama menunggunya. Mungkin saja ia tidak datang hari ini karena sakit. Hm, lebih baik aku datang kembali besok.

Aku baru saja akan menghidupkan mesin motorku, adzam sudah berkumandang. Ku urungkan niatku untuk kembali kerumah, salah satu kewajibanku harus ku penuhi tepat pada waktunya.

-

"Assalamualaikum," aku melangkah masuk kedalam rumah dengan mengalungkan sajadah ku, sambil terus berjalan menuju kamarku.

Hari ini aku benar-benar lelah. Sepulang dari tempat kerjanya Zayba, aku memutuskan untuk mencarinya dirumahnya. Tapi yang kudapat, tetangga mereka mengatakan kalau anak dari pemilik rumah itu akan di lamar malam ini. Secepat itukah Nazril melangkah? Aku kalah tanding dengannya.

"Wa'alaikum salam. Dari mana saja? Kok baru pulang? Dari tadi Mamanya Yumna ke sini loh, nyariin kamu" tak ku hiraukan perkataan Ibu, aku langsung masuk ke kamar dan membaringkan tubuhku sejenak.

Ya Allah, padahal aku baru saja mencarinya. Tapi ternyata aku kalah cepat dengan rekan kerjaku sendiri. Aku bukannya egois atau berharap menghancurkan lamarannya Nazril, hanya saja aku berharap semoga Zayba menolak lamaran Nazril dan tetap menungguku.

Harusnya, saat tiba di Indonesia beberapa bulan yang lalu, aku sudah menemuinya terlebih dahulu. Harusnya dulu aku bertanya pada tetangganya, waktu itu.

Setibanya di bandara Soekarno-Hatta, yang pertama terlintas dipikiranku adalah, menemui Zayba dan menanyakan padanya apakah ia sudah menikah atau belum.

Tanpa harus banyak membuang-buang waktu lagi, aku langsung menyetop taksi dan membiarkan Ayah dan Ibuku pulang terlebih dahulu membawa barang-barangku. Rasa bahagia dihatiku begitu menggebu-gebu. Hari ini, kami tidak lagi dipisahkan dalam jarak yang begitu jauh. Kini kami sudah berpijak pada tanah yang sama, berlindung dibawah langit yang sama, serta menghirup oksigen dari kota yang sama. Aku terlalu bahagia sampai aku lupa memberitahu sopir taksinya alamat yang akan aku tuju.

Butuh waktu kurang lebih sejam dari bandara ke rumahnya. Dan disinilah aku. Berdiri dari balik pohon yang masih kecil sambil menghadap ke arah rumahnya. Rumahnya masih sama seperti dulu, masih terlihat asri dengan beberapa tumbuhan merambat di pagarnya, serta taman-taman kecil yang dipenuhi dengan berbagai jenis bunga, juga terdapat air mancur ditengah-tengahnya. Bahkan, melihat rumahnya saja aku sudah tersenyum malu. Bagaimana jika aku melihatnya? Melihat wajahnya yang begitu mempesona tanpa polesan make up.  Astagfirullah, lagi-lagi aku melakukan zina dengan pikiranku.

Jantungku berdebar saat aku melihat seseorang keluar dari rumah tersebut. Seorang perempuan dengan pakaian tertutup. Diakah?

Aku menyipitkan mataku untuk memperjelas penglihatan ku. Ah, ternyata bukan dia. Wajah mereka terlihat berbeda. Lagi pula, setahuku Zayba tidak memiliki saudara. Aku pernah melihat biodatanya, dia tidak menuliskan jumlah saudaranya. Apa jangan-jangan, Zayba sudah pindah?

Aku memutuskan untuk bertanya pada salah seorang ibu-ibu yang tengah menyapu halaman rumahnya. "Bu, perempuan yang tadi masuk itu...tidak. Maksudku, apakah perempuan yang tadi pemilik rumah itu?" Aku menunjuk rumah yang ku yakini adalah rumah Zayba.

"Iya benar, mas. Memangnya kenapa?"

"Tidak apa-apa bu. Makasih yah. Assalamualaikum,"

"Wa'alaikumsalam,"

Jadi dugaan ku benar, kalau Zayba sudah pindah rumah?

Kenangan masa laluku terpecah berai saat aku mendengar suara guntur yang menggelegar di keheningan malam, aku melangkah keluar dari kamarku untuk melihat langit diluar. Berhubung karena aku tinggal di perumahan, dan rumahku juga tidak berlantai dua, jadinya aku tidak memiliki jendela dikamarku.

Diluar tidak hujan, tapi guntur dan kilat seolah bersaing menemani malam tanpa purnama kali ini. Ya Allah, bagaimana kabar lamaran Nazril? Hatiku tidak berhenti berdebar maraton sebelum aku mengetahui hasilnya. Haruskah aku kembali ke rumahnya? Sepertinya tidak. Hari sudah malam, lagi pula aku takut dengan suara guntur.

Aku kembali melangkah menuju kamarku. Mengacak-acak rambutku yang sepertinya sudah dipenuhi oleh ketombe gara-gara aku tidak keramas dua hari ini, ditambah dengan panas-panasan tadi siang.

"Ahwal? Ini ada telpon dari Yumna!" Aku menghentikan langkahku saat Ibu dengan antusiasnya memberikan gagang telepon padaku. Astaga, skenario macam apa lagi yang Ibuku dan Mamanya Yumna buat?

Kutatap Ibuku lamat-lamat, seolah mentransfer rasa lelahku padanya. Bukannya aku ingin jadi anak durhaka. Hanya saja, semoga dengan aku mentransferkan rasa lelahku pada Ibu, beliau akan merasa lelah dengan segala skenarionya dan membiarkan aku dan Yumna bebas dari perjodohan, kemudian kami akan memperkenalkan pilihan kami sendiri.

Tapi, apa aku masih punya pilihan ku sendiri? Bukannya malam ini pilihanku telah dilamar oleh seseorang yang sudah kuanggap sahabat? Seseorang yang sudah kuanggap sebagai saudaraku sendiri.

"Bu, Ahwal capek. Aku mau tidur, boleh?" Kutatap wajah sendu Ibu ku yang tidak lagi semuda dulu. Oke, aku tau kalau aku paling lemah jika sudah melihat tatapan iba dari seorang Ibu.

🌈🌈🌈

Syukron udah mau baca dan meninggalkan jejak💕

7.Januari.2017®BlueAinn
→ Cerita ini tidak di revisi setelah ditulis, jangan heran kalau banyak typo dan membingungkan.

Aishtaqat Lak | [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang