3

16.8K 1.6K 15
                                    

Zayba Shadha Rumaisa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Zayba Shadha Rumaisa

Pelanggan butik kali ini cukup ramai. Aku sampai kewalahan melayani pembeli, beruntung ada Leya di sini. Mahasiswi magang itu, tampak sangat lelah setelah melayani beberapa pelanggan yang rempong.

Yah, tau sendirilah. Kami para wanita pasti banyak maunya, dan kami juga tidak luput dari yang namanya fashion. Bukan hanya itu, para wanita yang mengerti fashion pasti akan memiliki banyak komentar tentang desain yang di buat. Entah itu karena bahannya, atau dari segi tampilannya yang tidak memuaskan.

"Zayba?" Aku sontak menoleh, dan menemukan Nazril di sana. Huh, ayolah! Dia hanya Nazril, laki-laki yang seumuran dengan kak Maryam. Yang akhir-akhir ini sering mengejar ku.

"Ada apa?" Tanya ku ketus. Jujur saja, aku sangat tidak suka dengan sikapnya itu. Dia selalu bersikap protektif kepadaku, padahal kami tidak memiliki hubungan apa-apa. Kami hanya kebetulan bertemu di rumah sakit, saat aku membawakan map berisi identitas pasien kepada kak Maryam yang ternyata adalah identitas milik nenek nya yang saat itu kondisinya ditangani oleh kak Maryam.

Semenjak hari itu, dia bersikap sangat lancang dengan sering mengunjungi rumah ku dan beralasan ingin mendiskusikan kesehatan neneknya dengan kak Maryam. Padahal apa? Ujung-ujungnya pasti dia akan menanyakan keadaanku, bagaimana pekerjaanku, apakah aku sudah makan atau belum, sudah sholat belum, ngajinya sudah sampai mana, hafalannya bertambah belum, dan lain-lain sebagainya.

Dia bersikap seolah-olah aku adalah istri yang ditinggal jauh oleh suaminya, kemudian mencari tau keadaanku melalui kakakku.

"Kamu sudah makan belum? Aku bawakan makan siang untuk mu," katanya lalu mengangkat tinggi-tinggi bukusan makanan dari salah satu restoran junk food.

"Aku tidak lapar," kataku, berbohong. Bukan apa-apa, hanya saja jika aku menerima pemberian darinya, itu sama saja kalau aku memberinya harapan semu. Dan aku tidak mau hal itu, terkadang aku merasa kasihan dengannya yang sudah repot-repot mengantar jemputku ditengah-tengah aktivitas mengajarnya yang sibuk. Tapi, itukan bukan keinginan ku.

"Ayolah, aku tau kamu lapar," katanya, memelas. Meskipun nadanya terdengar memelas, bau protektifnya tetap menyebar.

"Tau apa kamu?" Aku melangkah menjauh darinya, dan memilih melayani pelanggan.

"Assalamualaikum, selamat datang di-" perkataan ku terputus saat Nazril dengan lancangnya menjabat tangan pelanggan ku. Hei, apa-apaan dia!

"Assalamualaikum, tante," tante? Oh, jadi ini keluarganya Nazril?

"Tante mau cariin baju pengantin buat Yumna yah?" Yumna? Kok aku merasa tidak asing dengan namanya?

"Ah, iya nih Zril. Kamu kesini ngapain? Mau fitting baju juga?" Kulihat, Nazril terkekeh mendengar candaan dari pelanggan ku yang satu ini.

"Biar saya bantu bu. Ibu mau cari baju pengantin yang bagaimana?" Kataku, seraya mengajak wanita paruh baya ini mengelilingi butik.

"Hm, ibu mau liat-liat dulu. Soalnya, pengantin laki-lakinya belum datang melamar,"

Lah?

Setelah menemani wanita paruh baya tadi berkeliling, aku kembali ke meja kasir. Disana, aku melihat kantung yang berisi makanan junk food itu ditinggal oleh pemiliknya dengan secarik kertas dibawahnya.

Kamu makan yah, aku gak mau kalau kamu sakit. Yah, walaupun aku tau junk food gak baik untuk kesehatan kalau di konsumsi terlalu sering. Ini hanya sekali, besok-besok aku akan bawakan kamu makan siang buatanku sendiri.

Tertanda, Nazril.
Calon imam mu.❤

Ih, apa-apaan dia? Jangan ingatkan aku dengan kata 'besok-besok' yang ia tulis. Itu tandanya, ia akan kembali besok dan besoknya lagi. Ya Allah..

-

"Assalamualaikum,"

Aku membuka pintu perlahan, dan tepat sesuai dugaan ku. Nazril kembali ke rumah ku. Ia terlihat begitu antusias menganggapi cerita Aba, entah topik apa yang mereka bahas malam ini.

"Eh, Zayba? Baru pulang? Kok gak beri salam?" Aba menatapku bingung yang langsung mencium punggung tangannya.

"Aba aja yang keseriusan ngobrolnya. Sampai gak dengar salam Zayba," kataku.

"Assalamualaikum, Zayba" aku memutar bola mataku, malas. Ya Allah, kenapa makhluk ini masih betah saja ke rumahku? Padahal aku sudah beberapa kali mengusirnya.

"Aba, Zayba ke atas yah. Zayba capek," bukannya aku tidak mau membalas salam dari Nazril, aku balas kok. Tapi hanya diriku dan Allah saja yang mendengar.

"Gak temenin nak Nazril dulu? Kasihan loh, dia udah nunggu kamu dari tadi," perkataan Aba menghentikan langkahku yang hampir berbelok menuju tangga.

"Memangnya, yang suruh dia ke sini siapa?"

"Zayba!" Terkaget aku mendengar bentakan Aba, kututup mataku rapat-rapat untuk meredakan emosiku yang hampir bergejolak.

"Gak usah Aba, aku juga udah mau pulang kok, assalamualaikum," terdengar ia beringsut dari sofa, sekilas aku melirik dia yang saat ini tengah mencium punggung tangan Aba. Dan, sejak kapan ia mengganti panggilan Om jadi Aba untuk memanggil ayahku?

"Zayba, aku pamit yah. Assalamualaikum," ujarnya.

"Wa'alaikum salam," jawabku, saat ku rasa ia sudah keluar dari rumahku.

Sebelum Aba menghakimi ku tentang sikapku tadi, aku langsung berlari menuju kamar dan membersihkan tubuhku dari keringat yang terasa begitu lengket.

🌈🌈🌈

Syukron sudah baca dan tinggalkan jejak💕

28.Desember.2016®BlueAinn
→ Cerita ini tidak di revisi setelah ditulis, jangan heran kalau banyak typo dan membingungkan.

Aishtaqat Lak | [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang