20

11.8K 1.1K 50
                                    

Afif Ahwal Said

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Afif Ahwal Said

Zayba marah.

Aku mengetahui hal itu dari Nazril. Kemarin, tanpa sengaja kami bertemu di supermarket dekat rumahku. Saat itu, Nazril sedang menemani sepupunya membeli beberapa cemilan dan juga es krim. Lalu, kemudian kami berakhir berceloteh panjang lebar diparkiran supermarket. Aku pikir Nazril kecewa atau lebih parahnya dia marah sama aku, ternyata aku salah. Nazril tidak seburuk yang ku kira.

Nazril mengatakan kalau tiga hari yang lalu ia bertemu dengan Zayba didekat rumah temannya. Aku tidak tahu, teman mana yang dimaksud Nazril dan mengapa Zayba bisa sampai di sana. Sampai dia menyebutkan nama temannya, barulah otakku memutar memori tujuh tahun silam. Hari di mana untuk pertama kalinya aku bertatap wajah dengan gadis itu, berbicara sedikit lebih banyak, hingga akhirnya kami harus terpisah karena takdir.

Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang? Haruskah aku menemui Zayba? Tapi, bagaimana kalau dia menolak kehadiranku? Bagaimana kalau dia enggan menemuiku? Ya Allah..

"Ahwal, kapan kamu bawa calon kamu? Ini sudah hampir dua minggu," sayup-sayup aku mendengar suara Ibu dari luar kamar. Sengaja aku mengunci pintu, agar Ibu tidak lagi lancang memasuki ruang privacy ku.

Aku tidak bermaksud untuk durhaka kepada wanita yang telah melahirkanku, aku hanya merasa risih dengan tindakan Ibu yang tergesa-gesa.  Kemarin, saat aku pulang dari kampus, meja belajarku nampak acak-acakan. Dan sesuatu yang selalu kujaga selama hampir sembilan tahun, lenyap. Bukan aku mau menuduh Ibu. Tapi di rumah tak ada seorangpun yang sering masuk keluar dikamarku. Aku anak tunggal, Ayahku sedang meneruskan usaha kebun teh kakek di Bogor, dan beliau sangat jarang berada di rumah.

Ibu--atau siapapun orang yang menghilangkan barangku, membuatku tak bisa tidur nyenyak sejak kemarin. Ialah gelang milik Zayba, yang kala itu tak sengaja terjatuh saat jam pulang sekolah. Gelangnya putus, dan aku sering melihat Zayba mengenakan gelang tersebut. Kudengar dari Yumna, gelang itu pemberian dari kekasih Zayba saat di sekolah menengah pertama. Saat itu, hatiku benar-benar tercubit mengetahui fakta kalau Zayba masih menyimpan rasa pada mantan kekasihnya.

Tak heran, Zayba sejak masih SMA terkenal cantik dan menjadi incaran para kaum Adam--sampai sekarangpun, masih begitu. Bahkan sekarang terlihat lebih cantik dengan balutan busana muslimah yang tertutup--dan Zayba juga terlihat sangat terbuka dengan beberapa lawan jenisnya. Dulu dia juga sering bergaul dengan laki-laki, memakai pakaian minim, dan sering terlibat tawuran. Beruntung, dia cepat mendapatkan hidayah. Jika tidak, aku sudah tidak dapat menebak bagaimana Zayba sekarang. Pokoknya, Zayba pada masa SMA sangat berbeda dengan yang sekarang.

Aku berjalan lunglai menuju ranselku. Mengacak isinya untuk mencari barang yang sedang menangis meminta untuk di elus. Sebuah panggilan dari nomor yang tidak diketahui. Siapa?

"Assalamualaikum," sapaku setelah menggeser icon hijau dan panggilan tersambung.

Ku tatap layar ponselku, panggilannya masih tersambung. Tapi, kenapa hanya keheningan yang menyapaku?

Aishtaqat Lak | [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang