1

26.2K 2.2K 28
                                    

Zayba Shadha Rumaisa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Zayba Shadha Rumaisa

Sudah tujuh tahun semenjak kepergian dua orang yang paling berharga di hidupku. Aku tinggal bersama Aba dan satu lagi kakak ku yang belum menikah. Satu persatu kakak ku meninggalkan rumah, dan ikut bersama dengan suami mereka.

Aku masih ingat, tujuh tahun yang lalu, tepat saat aku pulang dari tempat laknat itu.

"Oh, maaf aku tidak sengaja," laki-laki sholeh itu, tidak. Maksudku, laki-laki abnormal itu melepaskan genggamannya di tanganku dengan sedikit gugup.

Aku menatapnya lebih lama. Jika diperhatikan, dia itu tampan dan juga sholeh. Dan aku baru menyadarinya sekarang. Dia menghindari pacaran karena hal itu memang tidak dianjurkan dalam agama kami. Dia membatasi pertemanan dengan perempuan, karena ia tahu dosa apa yang akan ia dapatkan.

"Kamu, bisa pulang sendiri 'kan? Ini sudah jam delapan malam, Ibu pasti sudah mencariku. Assalamualaikum," katanya pelan.

Namun, belum tiga langkah, aku menarik lengannya. Membuatnya secara refleks memperpanjang diameter jarak diantara kami. "Gue...gue takut pulang sendiri," kataku lirih.

Aku menunduk, namun hanya beberapa detik karena ku lihat bayangannya menjauh dariku. Aku menatapnya tidak percaya, selain tidak normal, dia juga jahat. Ingat itu, jahat! Dia bahkan meninggalkan aku sendirian di tempat sepi seperti ini. Maksudku, beberapa rumah disekitar sini tertutup rapat dan aku tidak melihat siapapun ada diluar kecuali kami berdua dan kendaraan yang lalu lalang.

Sebagai pelampiasan kekesalan ku, aku menendang kerikil kecil yang secara kebetulan ada di depan hels yang ku pakai. Aku bahkan baru ingat kalau aku pakai hels, dan demi apapun itu, kakiku benar-benar sakit habis berlari menggunakan hels ini.

"Kamu, mau pulang kan?" Aku menatapnya kesal, saat tubuhnya berdiri didepan ku. Ih, apa-apaan dia? Dia bertanya kepadaku, tapi tatapannya berada jauh pada objek di belakang ku, tiang listrik. Seolah-olah tiang listrik itu adalah aku.

Aku tidak lantas menjawabnya, aku memilih berjalan melaluinya sampai aku kembali mendengar suaranya, aku menghentikan langkahku. "Aku sudah dapatkan taksi untukmu, lihat! Itu di sana, kamu tinggal berjalan beberapa meter dan kamu akan mendapatkannya. Maaf, aku tidak bisa mengantarmu. Assalamualaikum," jelasnya yang kubalas dengan senyum malu-malu, tanpa menoleh padanya yang sepertinya sudah berjalan menjauh. Hei, kenapa aku harus tersenyum? Pake acara malu, pula.

-

Tiba di rumah, aku berjalan mengendap memasuki kamarku yang ada di lantai dua. Hari sudah menunjukkan  pukul 21:15, sepertinya keluarga ku sudah sibuk dengan kegiatan mereka, yah apa lagi kalau bukan menggali ilmu agama lebih dalam lagi?

Setelah mengunci rapat pintu kamar ku, aku lantas menuju kamar mandi. Membersihkan diriku dari keringat dingin yang entah sejak kapan membanjiri tubuhku.

Aku membaringkan tubuhku diatas kasur sambil menerawang langit-langit kamarku. Di luar hujan turun dengan derasnya beberapa menit lalu. Bayangan laki-laki abnormal itu terngiang-ngiang di otakku. Melihat senyum malu-malunya di kelas, tak jarang membuat aku heran. Mengapa dia begitu tertutup? Selain karena agamanya, apa benar kalau dia itu tidak normal?

"Astaga! Umi!" Aku langsung mendudukkan tubuhku, menatap cemas pintu kamar ku sambil mempertajam pendengaranku kalau yang barusan teriak itu, adalah kak Aisyah. Kakak pertama ku. Dan, kenapa ia berteriak? Tidak biasanya ia mengeluarkan suara lantang, mengingat suara kak Aisyah cenderung seperti berbisik-bisik jika berbicara.

Aku baru ingat, tadi kak Aisyah menyebut Umi 'kan? Dengan perasaan campur aduk, aku berjalan dan membuka pintu kamar. Kulihat kak Naziya, kakak kedua ku juga melakukan hal yang sama. Kami saling melempar tatapan bertanya, hingga akhirnya aku dan ketiga kakak ku yang lain berbondong-bondong menuruni tangga dan menghampiri tempat kejadian perkara.

Di sana, aku melihat Aba menepuk-nepuk pipi Umi dengan tubuh Umi berada di pangkuannya. Sedangkan kak Aisyah, ia malah mengguncang tubuh Umi sambil menangis. Ada apa ini? Kenapa Umi bisa pingsan? Bukankah Umi tidak punya penyakit serius? Pertanyaan itu sangat ingin ku lontarkan kala itu, hanya saja lidahku terasa keluh untuk sekadar mengeluarkan suara.

Kaki ku terasa kaku dan menempel pada lantai yang kupijak, tepat setelah aku mendengar Aba berujar, "Innalillahi wainna ilaihi rojiun," aku membekap mulutku, tidak percaya. Secepat inikah Umi meninggalkan kami? Umi bahkan belum melihatku mendaftar kuliah.

Dan tepat setelah hari pemakaman Umi, aku mendapatkan kabar dari teman-temanku kalau laki-laki abnormal itu, mendapat beasiswa di Kairo. Ia lalu menitipkan sebuah buku kepada temanku, dan memberikannya padaku. Bodohnya aku, yang malah menangisi kepergiannnya. Entah kenapa, aku merasa kehilangan dua orang yang berpengaruh dalam hidupku di waktu bersamaan.

Sejak hari itu, aku terus mengacak keberadaannya. Entah itu lewat sosial media miliknya, atau dari teman-temannya di SMA. Tapi yang kudapat, nihil. Tak ada satupun yang tau keberadaannya di mana. Mengingat waktu SMA dulu, ia cenderung menyendiri dan tidak memiliki banyak teman. Dan semenjak hari itu pula, aku sadar kalau aku menaruh rasa kepadanya.

🌈🌈🌈

Syukron sudah baca dan meninggalkan jejak💕

27.Desember.2016®BlueAinn
→ Cerita ini tidak di revisi setelah ditulis, jangan heran kalau banyak typo dan membingungkan.

Aishtaqat Lak | [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang