14

11.6K 1.1K 49
                                    

Afif Ahwal Said

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Afif Ahwal Said

Ini sudah tiga hari semenjak tragedi pingsannya Zayba di halaman kampus. Dan, sudah tiga hari ini pula aku menunggu di sebuah cafe dekat butik tempat Zayba bekerja hingga petang. Kemana dia? Aku tak pernah melihatnya selama menunggu di cafe ini.

Mataku bergilir saat suara dentingan lonceng dari atas pintu cafe berbunyi. Dia.... bukankah dia temannya Zayba? Haruskah aku bertanya kepadanya? Tentang keberadaan Zayba yang tiga hari ini tidak masuk kerja.

Aku menghela napas dalam-dalam, mengumpulkan segala keberanian untuk menanyakan apa yang harus kutanyakan. Rileks, yah. Aku harus rileks. Oh, ayolah Ahwal. Kamu hanya bertanya saja, bukan mau mengajaknya menikah. Eh?

Langkah kakiku terasa berat tatkala jarakku dengan gadis berambut sepundak yang digerai itu semakin dekat. Astaga, mengapa aku senervous ini? Oke, tarik napas.. hembuskan..

Aku membasahi kerongkongan ku yang terasa kering saat jarak kami sudah dekat. "Ekhm, permisi," kataku pelan. Gadis bermata sipit itu, berbalik dan sempat kaget melihatku. Apa? Kenapa?

"Ng, saya mau nanya. Kamu kenal dengan Zayba, tidak?"

Gadis itu menggilir retinanya ke sisi kiri, "Zayba Shadha Rumaisa, yah?"

Aku mengangguk antusias, semoga saja aku tidak salah orang untuk menanyakan keadaan dan keberadaan Zayba selama tiga hari terakhir ini. Gadis bername tag Felicia Alexandria itu menyelipkan sejumput anak rambutnya ke belakang telinga, ia kemudian menunduk malu-malu? Huh, kenapa ia harus malu? Aku hanya bertanya keadaan Zayba kok.

"Zayba tunangannya Nazril?" kepalanya ia angkat, menampakkan binar matanya ketika melihatku. Senyumnya ikut bertengger, membuatku mengalihkan perhatian pada seisi cafe yang sedang ramai.

Astaga, bisa tidak perempuan ini tidak menyebutkan nama itu? Kan ada banyak pertanyaan yang menyangkut Zayba, kenapa harus soal pertunangannya dengan laki-laki yang sudah kuanggap saudara?

Aku menghembuskan napas berat, menatap ragu-ragu Felicia yang kini tersenyum samar. Apa dia sengaja membuatku cemburu?

Meski berat untuk mengakuinya, aku tetap mengangguk jua.

Perempuan bermata sipit itu, ber-oh ria, "Kenapa kamu nyariin dia? Kamu kenal dengan Zayba?"

Astagfirullah, aku bahkan menepuk jidat karena kepolosan gadis ini. Entah kepolosannya dibuat-buat, atau memang murni dari dirinya sendiri. Astagfirullah, aku kenapa jadi suudzon begini? Sabar.

"Bagaimana keadaan Zayba, kenapa tiga hari ini dia tidak datang ke butik? Apa ia sakit?" Kataku, dengan hati-hati. Ya Allah, semoga saja gadis ini tidak menjawab yang muluk-muluk lagi.

Felicia menjentikkan jarinya di udara, seakan teringat akan sesuatu yang penting. "Ah iya, aku lupa. Zayba tiga hari ini sedang sakit. Kata mba Hana, kami akan menjenguk besok setelah pelanggan tetap kami berkunjung,"

Setelah mengucapkan salam dan berpamitan serta berterima kasih pada Felicia, aku melangkah keluar dari cafe tersebut. Ya Allah, mengapa pesona gadis tadi membuatku keringat dingin? Aku bahkan baru menyadarinya saat keluar dari cafe. Ini juga, kenapa jantungku ikut memompa dua kali lebih cepat? Astagfirullah, ini tidak boleh terjadi.

-

Sudah lebih dari dua jam aku berdiri didepan pagar bercat hitam setinggi tiga meter ini, mendadak aku jadi gugup. Astagfirullah, apa aku urungkan saja niatku untuk menemuinya hari ini? Ah iya, sebaiknya aku kembali saja besok. Lagi pula, aku tidak membawa apa-apa untuk alasan menjenguk.

Baru akan berbalik, suara adzan membuatku menghentikan niatku untuk pulang. Sebaiknya, aku sholat ashar saja dulu. Meminta petunjukNya atas niat baikku untuk bersilaturahmi dengan nya, serta keluarganya. Semoga saja keberadaanku diterima.

Suara pintu yang terbuka kemudian tertutup kembali, menolehkan pandanganku pada sosok laki-laki yang berumur kira-kira 50 tahun. Biar ku tebak, itu pasti Aba nya Zayba. Kuputar tubuhku saat pandangan kami tak sengaja bertubrukan. Huh, jantungku kembali berdegup tak karuan. Apa seperti ini rasanya bertemu calon mertua? Masha Allah, aku merasakan ada kupu-kupu bertebaran di perut ku.

"Assalamualaikum, anak cari siapa yah?" suara berat calon mertua ku menyadarkan aku dari lamunanku. Aku seolah ditampar oleh kenyataan, bahwa Zayba adalah tunangannya Nazril. Ya Allah, mengapa rasanya sesakit ini?

"Eh, assalamualaikum Om. Perkenalkan, saya Ahwal. Teman SMA nya Zayba," kataku memperkenalkan diri, seraya mencium punggung tangannya. Meski sudah berusia senja, punggung tangan Aba nya Zayba tidak terasa ringkih seperti kebanyakan orang tua yang lainnya.

Aku tidak tau harus menyebutnya apa, tapi Abanya Zayba merangkul pundakku seraya berjalan menuju masjid. "Jadi kamu yang namanya Ahwal? Anak saya tiga hari ini ngurung diri di kamar gara-gara kamu," hatiku terasa ditikam timah panas mendengarnya, meski Abanya Zayba menyampaikannya dengan nada bercanda.

Ya Allah, berdosa kah aku membuat anak gadis orang merasa terpuruk seperti itu?

"Nak, kalau kamu serius dengan anak Aba, ajak orang tua kamu ke rumah,"

Aku menoleh, menatap Abanya Zayba dengan perasaan tidak percaya. Apa ini sebuah sinyal, kalau aku lamaran aku akan diterima nanti?

"Tapi Om, bukannya Zayba sudah tunangan dengan Nazril?" kataku, hati-hati. Bagaimanapun, fakta itu tetap mengusik pikiranku.

"Anak Aba berhak memilih. Aba hanya menyarankan,"

Sebelum kami berpisah di pelataran masjid, Abanya Zayba menepuk pundakku sekali, kemudian beliau masuk terlebih dahulu bersama beberapa rekannya. Masha Allah, terima kasih ya Allah, ternyata kesempatan terbuka lebar untukku. Aku begitu bahagia mendengarnya, aku bahkan tidak bisa menghalau air mataku untuk tidak jatuh. Ya Allah, terima kasih.

🌈🌈🌈

Syukron sudah membaca dan meninggalkan jejak💕

Baca juga cerita ku yang lain😊

27.Februari.2017®BlueAinn
→ Cerita ini tidak di revisi setelah ditulis, jangan heran kalau banyak typo dan membingungkan.

Aishtaqat Lak | [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang