Epilog

16.8K 1.1K 42
                                    

Afif Ahwal Said

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Afif Ahwal Said

Setelah mendapat lampu hijau dari Ibu, yang artinya maju. Aku langsung menemui wali Zayba. Bukan apa-apa, kalau aku menunggu lebih lama lagi, bisa saja banyak yang menjadi faktor penghalang. Belum lagi dengan masalah Nazril yang sampai sekarang masih gencar meraih perhatian Zayba. Kudengar dari Zayba pula, kemarin mantan kekasihnya waktu SMP kembali dan katanya akan merebut hati Zayba kembali.

Huh, menyebutnya mantan saja, membuatku mau muntah. Apalagi mendengar kegigihannya yang ingin mendapatkan Zayba kembali. Tidak akan ku biarkan.

Aku menutup jendela kamarku, setelah mendengar suara pintu yang berdecit. Ibu menghampiriku dengan membawa segelas air putih. Ada apa ini? Kenapa aku merasa kalau gerak-gerik Ibu sedikit mencurigakan? Astagfirullah. Entah sudah berapa kali aku seudzon sama Ibu, dua hari ini.

"Kenapa Bu?"

Ibu duduk di pinggiran kasur, setelah aku menerima gelas yang beliau sodorkan kepadaku. "Kamu yakin, kalau gadis yang datang tadi pagi itu, gadis yang kamu maksud ingin kamu khitbah?" aku mengangguk yakin. Memangnya, apa lagi yang harus aku pikirkan dua kali kalau hati dan pikiranku sudah sinkron terhadap gadis berparas cantik itu?

Hening selama beberapa saat. Ibu hanya memandangku sekilas, kemudian menunduk. Kemudian aku berjalan mendekati beliau. Duduk disisinya, sembari memijat bahu beliau. "Ibu, aku sudah yakin sama pilihanku. Kalau Ibu merestui, in shaa Allah aku akan menemui walinya Zayba hari ini juga. Aku sudah siap Bu, aku gak ingin orang lain mendahuluiku mendapatkan gadis itu. Dia...dia berbeda Bu, dari gadis yang lain. Aku yakin, Ibu pasti akan suka dengan Zayba."

Ibu meraih tanganku yang memijat bahunya. Meremasnya pelan, dan kembali menatapku dengan wajah sendunya. "Ibu bukannya tidak yakin. Hanya saja, tiba-tiba Ibu merasa takut ditinggal kamu. Kalau kamu sudah menikah, kamu akan meninggalkan rumah. Sementara anak Ibu hanya kamu, dan Ayah juga pulangnya gak sering,"

Oh, jadi ini alasan Ibu meragukan Zayba dan lebih memilih aku menikah dengan Yumna? Rumahnya Zayba kan, jauh. Sementara rumah Yumna, dekat dari kompleks. Jadinya aku bisa sering-sering bertemu Ibu. Tapi, itu semua kan bisa diatur. Aku bisa saja membeli atau mengontrak rumah di sekitar kompleksnya Ibu. Lagi pula, setelah menikah nanti aku akan mengajak Zayba untuk tinggal di rumah Ibu selama sebulan, sampai aku mendapat kontrakan.

Tapi, mengapa aku malah membicarakan pernikahan? Mengkhitbah Zayba saja belum.

"Janji ya, kamu bakal tinggal dirumah ini selama sebulan?" Ibu meletakkan telapak tangannya diatas punggung tanganku. Memberi gestur abstrak melalui ibu jarinya.

Aku mengangguk. "Iya Bu, aku janji. Sekarang, Ibu tinggal do'akan aku supaya lancar mengkhitbah Zayba. Semoga aku lansung mendapatkan restu, dan menikah secepatnya," ujarku mantap. Aku benar-benar berharap kalau hari ini akan berjalan dengan lancar.

Ibu mengangguk. "Pasti nak. Ibu pasti do'akan yang terbaik untuk kamu."

-

Bismillah. Ini kedua kalinya aku menemui wali Zayba dengan tujuan yang sama pada awalnya.

Aishtaqat Lak | [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang