4

15.6K 1.5K 37
                                    

Afif Ahwal Said

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Afif Ahwal Said

Sore ini, selepas dari kampus, aku kembali mengajar beberapa anak-anak untuk mengaji. Berhubung disamping rumah orang tua ku, ada rumah kosong yang siap untuk di kontrakkan.

Setelah azhar, beberapa anak-anak muridku akan berkumpul di rumah tersebut. Sebenarnya ibu sudah menyuruhku untuk membeli saja rumah itu, hanya saja aku belum memiliki cukup uang untuk membeli sebuah rumah di tahun sekarang. Mengingat harga lahan di Indonesia makin bertambah setiap harinya. Nantilah, pasti aku akan membeli rumah minimalis berlantai satu ini, jika aku sudah mendapatkan gaji setahun.

"Ustadz, bacain cerita dong!" waduh, gimana ya? Aku sendiri tidak pandai menyampaikan cerita pada anak-anak. Selain karena rasa ingin tahu mereka yang sangat tinggi, aku juga tidak ada bahan untuk diceritakan.

"Wah, maaf yah Zafran. Ustadz gak ada bahan buat cerita," aku ku, jujur.

"Yah,ustadz gak seru ih!" anak-anak yang lain ikut menganggapi. Kulihat wajah ceria mereka kian menyurut, seiring dengan kening mereka yang ditekuk dalam.

"Hm, bagaimana kalau ustadz kasih kalian renungan, saja?" aku mencoba untuk bernegosiasi sedikit dengan mereka. Dan tak lama setelah mereka saling melempar pandangan, akhirnya mereka mengangguk pelan.

"Kalian pernah tidak, memperhatikan ketika ayam direbus, ikan digoreng atau kambing di panggang?" mereka kembali mengangguk mendengar pertanyaan ku. "Lalu, kalian pernah tidak, membayangkan jika yang dipanggang itu diri kita sendiri? Panas bukan? Nah, seperti itulah ganjaran bagi setiap pendosa. Terlebih dengan perempuan yang tidak menggunakan kerudung jika keluar rumah, ish..ish..ish.." aku menggeleng-gelengkan kepalaku, supaya terkesan lebih dramatis. Kulihat anak-anak ini saling bergidik ngeri.

"Untung aku bukan perempuan," sahut Azka, anak laki-laki bertubuh besar itu mengelus dadanya sambil membanggakan dirinya.

"Iya, aku juga," semprot Naufal yang tak mau kalah.

"Yaaaa, mampus kamu Naila. Kamu perempuan, kamu juga gak pernah pake kerudung kalau keluar rumah," Latif, salah satu murid laki-laki yang hobinya pake topi itu, menakut-nakuti temannya yang saat ini wajahnya sudah terlihat pucat pasi.

"Eh, kalian para laki-laki jangan berbangga diri. Para laki-laki juga memiliki batasan aurat. Yang jika sampai terlihat, maka akan bernasib sama dengan ayam yang direbus, atau ikan yang digoreng itu." Jelasku, membuat wajah pucat Naila kian mereda.

"Ustadz! Aurat itu apa?" pertanyaan spontan dari Rara, membuat beberapa anak yang lain tertawa terbahak-bahak.

"Aurat itu, bagian dari tubuh yang tidak boleh terlihat. Seperti perempuan, perempuan itu auratnya rambut, dada, tangan, dan juga kaki. Semuanya itu harus ditutupi dengan pakaian longgar, kalau pakai pakaian yang sempit, yah sama saja dong? Auratnya tetap nampak. Masa mau kalah sama ayam? Ayam saja, kalau kita mau lihat pahanya, dia harus mati dulu. Sama saja dengan istilah, langkahi dulu mayatku. Sedangkan laki, laki-laki itu batasan auratnya dari pusar sampai lutut. Paham, Rara?" Jelasku panjang lebar. Semoga saja anak-anak ini mengerti.

Gadis kecil itu mengangguk mengiyakan, tak lupa pula ia melemparkan senyumnya. Astagfirullah, senyumnya mengingatkan aku pada dirinya yang entah di mana.

"Ada lagi yang mau bertanya?" kutatap satu persatu wajah murid-murid ku, kemudian salah satu dari mereka mengacungkan tangannya, "Yah, apa pertanyaan kamu, Latif?"

Anak itu, membenarkan letak pecinya sebelum berujar, "ustadz, ini udah jam lima. Kita gak pulang nih?" Hampir saja aku tertawa mendengar pertanyaan polos dari anak berusia delapan tahun itu.

"Hehehe, maaf ustadz hampir lupa. Terima kasih, Latif sudah mengingatkan," aku melempar senyum pada anak itu, "baiklah. Sebelum kita, menutup majelis ini, ada baiknya kalau kita bershalawat dulu kepada nabi junjungan kita, nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam," lanjut ku.

"Ya nabi salam, alaika. Ya rasul salam, alaika. Ya habib salam, alaika. Sholawatullah, alaika," meskipun suaraku tidak semerdu suara penyanyi papan atas, anak-anak ini tetap saja mengikuti ku. Sampai saat selesai bershalawat, satu persatu dari mereka mencium punggung tanganku.

Setelah merapikan kembali meja yang tadi mereka gunakan untuk mengaji serta membersihkan ruangan, aku mengunci pintu dan hendak pulang. Ketika pandanganku melihat salah satu santri ku yang masih berdiri di depan pagar rumah ini.

"Rara kenapa belum pulang?" aku menyetuh pundaknya, ia lantas menoleh dan menatapku dengan mata berkaca-kaca.

"Ustadz, Ibunya Rara belum datang. Rara takut ustadz," ia berhambur ke pelukanku, lalu menangis histeris.

Aku hanya bisa mengelus punggung kecilnya, berharap dapat meredam tangisnya. "Rara tenang yah, bentar lagi pasti Ibunya Rara bakal datang. Udah yah?" ia melepaskan pelukannya, dan kembali menatapku. Air matanya masih bercucuran, membasahi pipi tembem nya.

"Pak ustadz, Rara lapar. Beliin bakso dong," aku terkekeh mendengar permintaannya. Oh, rupanya ia lapar dan ingin cepat-cepat pulang toh?

Langsung saja aku membawanya ke sisi jalan yang sebelah, di sana ada penjual bakso yang sedang menonton pertandingan futsal di gor.

Rara melahap baksonya sambil tersenyum dan mengangguk, seolah bakso yang dimakannya meloncat-loncat di dalam mulutnya. Anak ini, jika dilihat-lihat ia terlihat sangat mirip dengan gadis yang ku cintai. Matanya, senyumnya, bahkan kebiasaan mereka saat makan pun, sama. Tunggu, apa jangan-jangan Rara ini anaknya? Secara, mereka hampir mirip dari segi fisik. Ya Allah, jika memang benar, haruskah hamba mengikhlaskannya?

Tepat saat Rara menghabiskan baksonya, sebuah mobil sedan hitam berhenti di seberang jalan. Tepatnya di tempat mengaji tadi. "Itu, Ibunya Rara!" Seru Rara, saat melihat seorang wanita berpakaian syar'i turun dari mobil.

Aku menuntunnya menyebrang jalan, dan menghampiri wanita yang saat ini tengah membelakangi kami itu. Saat sudah berada di belakangnya, aku berdiri kaku ditempat ku. Takut-takut kalau yang kulihat adalah benar dirinya.

Pelan tapi pasti, wanita berjilbab hitam yang senada dengan dressnya itu, berbalik tepat setelah Rara memanggilnya. "Ibu!"

Jantungku hampir saja berhenti berdetak, astaga. Ini sungguh mustahil, wajah mereka terlihat begitu mirip.

"Maaf yah sayang, Ibu terlambat jemput kamu. Soalnya tadi ibu jemput bunda Zayba dulu,"

Zayba? Apa yang wanita ini maksud adalah, Zayba Shadha Rumaisa? Zayba ku?

🌈🌈🌈


Baca juga cerita ku yang lain.
Syukron💕

29.Desember.2016®BlueAinn
→ Cerita ini tidak di revisi setelah ditulis, jangan heran kalau banyak typo dan membingungkan.

Aishtaqat Lak | [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang