15

11.7K 1.1K 53
                                    

Zayba Shadha Rumaisa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Zayba Shadha Rumaisa

Hari ini aku sudah kembali bekerja, aku cukup heran dengan diriku sendiri. Mengapa aku bisa sealay kemarin? Rasa-rasanya hidupku sudah seperti drama. Nangis berhari hanya karena seorang ikhwan. Astagfirullah, bodohnya diriku yang merendahkan martabat seorang perempuan.

Tidak seharusnya seorang perempuan mencontohkan sikapku kemarin.

"Selamat pagi,"

Perhatianku pada pantulan wajahku di layar smartphone, teralihkan saat seorang berambut sebahu terlihat melepaskan tasnya yang ia gantung dipundaknya. Gadis itu terlihat sangat bersemangat. Hal tak wajar yang biasa ia tampakkan, biasanya ia akan terlihat biasa-biasa saja jika baru datang. Hal ini baru dua kali aku dapati, pertama saat ia menceritakan jika dirinya bertemu seorang laki-laki yang berwujud malaikat. Mungkinkah, dia kembali bertemu dengannya?

"Ceria banget mukanya. Ada apa?"

Gadis itu menoleh, menatapku dengan binar mata yang tak dapat kuartikan. Ada apa? Tak lama setelahnya, aku melihat ia menarik napas panjang lalu menarik senyum simpulnya. "Tidak apa-apa kok," katanya pelan.

Kemudian, hening selama beberapa jam. Sejak tadi aku tidak mendengar celotehan Felicia. Gadis itu tiba-tiba berubah jadi introvert, gak biasanya.

"Feli, kamu kenapa?" kataku seraya menempatkan telapak tanganku pada bahunya.

Feli yang semula menatap kosong cafe yang ada diseberang jalan, mengangkat wajahnya dan menatapku intens. "Zay, dia tidak datang," ujar Feli dengan suara lemah.

Siapa?

Aku mengikuti arah pandangan Felicia, mencari-cari sosok yang sekiranya dapat aku tafsir sebagai malaikat yang disebutkan oleh Feli. Nihil, kemampuanku tak sejauh itu untuk membaca pikiran seseorang. Memangnya, siapa malaikat itu? Mampu mengubah seorang gadis riang nan cerewet menjadi orang lain dalam sekejap mata.

"Feli, aku tau kamu lagi sedih. Tapi, saat ini kita sedang bekerja. Para pelanggan membutuhkan kita untuk melayani pesanan mereka. Kalau kamu cemberut, pelanggan akan lari. Senyum dong, wajah kamu jelek kalau manyun gitu,"

Entah karena mendengar perkataanku, Feli terkekeh dan kembali mengulas senyumnya. Dengan gaya dramatis, Feli beranjak dari duduknya dan mulai menata ulang pakaian, dalam patung pajangan. Aku kembali menoleh, menghadap cafe yang semula diperhatikan oleh Feli. Namun, sepasang mata yang menatap ke arahku  membuat kakiku terasa sulit untuk digerakkan. Tatapannya seolah mengehentikan kinerja otakku yang akan mengirim impuls pergerakan pada tubuhku.

Kenapa? Dan sejak kapan laki-laki itu berada di sana? 

"Lihatin siapa Zay?"

Ku uraikan tatapanku pada laki-laki di sana, aku tidak ingin Feli curiga. Lagipula, untuk apa aku merasa khawatir kalau Feli curiga? Toh laki-laki di sana juga bukan siapa-siapaku. Dia hanya sosok masa lalu, yang tak ingin ku ingat lagi. Cukup sudah aku memikirkan tentang laki-laki itu. Bahkan untuk menyebut namanya saja, aku sudah tidak sudi. Eh? Astagfirullah, akhir-akhir ini aku merasa terlalu berbangga diri. Memangnya, siapa aku ini yang pantas menyombongkan diri?

"Bukan siapa-siapa kok," jawabku, kemudian kembali kebelakang meja kasir.

Feli menyusulku dan berdiri tepat didepanku dengan sikutnya bertumpu pada meja kasir. "Zay, kamu kenal sama laki-laki yang duduk di cafe itu?" ekor mataku ikut melirik objek yang dimaksud Feli.

Aku menggeleng lemah. Bukan aku mau berbohong pada Feli, hanya saja aku sedang berusaha untuk bersikap normal seperti saat kami masih SMA. Dimana aku sama sekali tidak punya perasaan lebih dari sekadar teman kelas biasa.

"Tapi dia bilang, kalau dia kenal sama kamu. Kemarin dia tanyain kabar kamu sama aku," jelas Feli yang kubalas dengan pandangan kosong pada meja cafe yang didudukinya diseberang sana.

Dan, apa katanya? Laki-laki itu menanyakan kabarku? Kenapa dia mendadak kurang kerjaan? Dia lupa apa, kalau dia sudah dijodohkan dengan Yumna? Wanita yang selalu ada disampingnya sejak zaman SMA. Tak heran jika mereka berdua dijodohkan, ternyata do'a teman kelasku dulu terkabul juga.

"Masa sih? Kurang kerjaan banget," kataku lalu beranjak menuju toilet. Aku lupa, sebelum berangkat tadi pagi, aku tidak dhuha dulu.

-

Pukul lima sore, aku sudah berdiri di depan butik. Kak Aisyah tadi mengirimkanku pesan dan menyuruhku untuk menunggunya. Kembali aku melirik cafe diseberang sana. Semakin ramai oleh remaja yang akan menghabiskan malam Ahad-nya dengan sahabat mereka. Lalu, aku memusatkan perhatianku pada meja yang tadi di duduki laki-laki itu. Astagfirullah, kenapa aku jadi labil begini? Kan sudah ku katakan tadi, aku tidak ada perasaan apa-apa lagi dengannya.

Jazz putih berhenti tepat didepanku,  Masha Allah, sejahtera sekali hidup kakakku ini menikah dengan laki-laki irit bicara itu. Rasanya baru kemarin beliau menjemputku dengan mobil sedan Avanzanya, sekarang malah jazz putih yang penggambarannya wanita banget.

"Mobil baru nih ye," ledekku saat baru mendudukkan diri dalam mobil. Bahkan beberapa plastik yang membungkuk dalam mobil, belum terlepas.

"Assalamualaikum, kamu nunggunya lama yah?"

Aku meringis mendengar salam kak Aisyah. Saking keponya aku dengan mobil ini, sampai lupa dengan sunnah Rasulullah sallallahu alaihi wasallam.

"Wa'alaikum salam, nggak juga kok. Aku baru keluar tadi,"

Perjalanan menuju rumah kak Aisyah begitu hening. Aku yang merasa masih kurang enak badan, memilih untuk tidur. Sementara kak Aisyah, entahlah. Aku tak dapat membaca pikiran seseorang.

Aku mengerjap saat deru mesin mobil tak lagi terdengar. Apa sudah sampai? Mataku berkelana menyapu bersih kawasan yang asing bagiku. Ini dimana? Kenapa mendadak aku berada di sini? Lalu pandanganku bergilir pada sisi kanan. Kak Aisyah, diamana dia?

Astagfirullah, ini aku dimana? Bagaimana kalau aku diculik? Bagaimana kalau kak Aisyah kena begal?

Astaga Zayba, kamu makin aneh aja semenjak abis demam!

Saat hendak menarik tuas mobil, aku melihat dari kaca jendela kak Aisyah sedang berbicara dengan seseorang yang membelakangiku. Meskipun aku tak melihat wajahnya, tapi dapat aku tebak siapa pemilik punggung yang di lapisi baju koko itu. Tapi, kenapa kak Aisyah menemuinya? Apa kak Aisyah tau kalau dialah penyebab aku gak masuk kerja selama beberapa hari? Astaga, jangan sampai itu terjadi!

Aku melangkah keluar hendak menyusul kak Aisyah. Namun langkahku terhenti saat pergerakan laki-laki didepanku yang hendak berbalik. Dengan tikungan tajam, aku memutar tubuhku terlebih dahulu sebelum laki-laki yang enggan kusebutkan namanya itu melihatku.

Kupercepat langkahku menuju mobil untuk menyembunyikan wajahku. Namun tinggal selangkah menuju jazz kak Aisyah, kakakku itu sudah terlebih dahulu memanggil namaku!

Subhanallah, walhamdulillah, wala ilaha illallah, wallahu akbar!

Terpujilah wahai engkau, kakakku tersayang!

🌈🌈🌈

Syukron sudah membaca dan meninggalkan jejak💕

Baca juga cerita ku yang lain😊

19.Maret.2017®BlueAinn
→ Cerita ini tidak di revisi setelah ditulis, jangan heran kalau banyak typo dan membingungkan.

Aishtaqat Lak | [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang