2

8.2K 1.2K 115
                                    

Yeriana Kim itu cewek yang bagaimana, sih?

Kalau kata teman-teman, gue itu moody, keras kepala, dan suka bertindak bar-bar ketika sudah menyangkut masalah privasi. Hm, gue akui semua hal tersebut benar. Lagi pula orang-orang bilang masa SMA adalah masa di mana para remaja mulai mencoba untuk rebel; memberontak, mengutamakan hasrat dan rasa ingin tahunya. Seperti gue, tentu aja.

Saat SMA, gue sama seperti anak-anak lainnya yang memiliki pertemanan circle. Gue lebih banyak menghabiskan waktu dengan mereka. Gue adalah tipe orang yang malas menjalin pertemanan. Gue cukup mengenal anak-anak kelas serta beberapa teman satu ekstrakurikuler dan tempat les. Gue nggak terlalu peduli untuk harus mengenal anak-anak kelas lainnya seperti siapa centeng SMA gue, siapa primadona satu sekolahan, dan siapa si murid cupu yang ternyata juara kelas. Tapi kalau untuk urusan cowok ganteng, gue akui itu sudah rutinitas gue dan Bule Topoki untuk dijadikan topik pembicaraan.

Seperti saat ini.

Tinggal tiga hari lagi gue bisa menikmati indahnya ibu kota, menikmati kota yang gue tempati sejak kecil meski ada beberapa tahun tinggal di negara kelahiran Papa. Tinggal tiga hari lagi gue menikmati peran sebagai anak baik nan polos ala siswa SMA.

Gue, Karine, Danna, dan Oza dari tadi sudah keliling PIM untuk cuci mata. Oh iya lupa, gue dan lainnya juga bareng Hina. Itu loh, yangㅡ

"Ih! Lo menghina gue mulu."

Eh, bukan! Tapiㅡ

"Iih lo dasar, nama udah Hina hidup lo juga hina."

Nggak juga! Kita sayang Hina.

Perkumpulan sesat ini sering disebut Bule Topoki karena selain gue, mereka adalah para pecinta K-Pop garis halus, besar, miring, tebal, dan garis bawah. Selain membicarakan cogan, di sela-sela juga suka membahas tentang Second Male Lead Syndrome di drama Korea yang kita ikuti, atau fangilring idol favorit masing-masing yang habis comeback. Dikarenakan mereka sehari-harinya sudah terbiasa dengan Korea dan serba-serbinya, ada aja momen bego yang mereka lakukan meski sekadar mencampuradukkan bahasa.

"Ih, dasar nappeun."

"Michin nih kebanyakan micin."

"Babo lo!"

"Ewh, pyeontae banget."

Bikin malu? Asli.

Sekarang gue dan Bule Topoki sedang keliling PIM sekalianㅡkata merekaㅡmemuaskan diri untuk jalan-jalan dengan gue. Padahal ada udang di balik batu, ada selingkuhan di balik selimut. Mereka pastinya meminta traktiran atas perayaan gue yang akan pindah ke Bandung.

Hina dan Karine akan kuliah di Jakarta. Mereka satu kampus, sedangkan Danna beda sendiri di Tangerang. Dia lolos di salah satu kampus swasta yang banyak artisnya. Kampus yang mahasiswanya kebanyakan lulus jadi selebriti. Danna pernah cerita kalau dia mau jadi model. Kalau kata Hina, sih, "Itu loh model iklan obat pilek yang tayang kalau adzan Maghrib doang".

Sedangkan Oza memutuskan untuk mengikuti saran orangtuanya yang meminta dia menyusul sudara laki-lakinya di Singapura. Oza akan pindah minggu depan, jadi masih ada waktu untuk berkumpul ria bareng yang lainnya. Nggak seperti gue. Alhasil, kami menghabiskan waktu bersama sepuasnya dengan berkeliling PIM. Kemudian mencari satu titik untuk dijadikan tempat ngobrol meski cuma memesan minuman dan camilan kecil. Memang sering seperti itu, 'kan? Makannya limabelas menit, tapi ngobrolnya bisa sampai tiga jam.

"Nanti lo mau masuk jurusan apa emang, Ri?" Danna bertanya. Tangannya mengaduk-aduk frappucino, lalu menyeruput ujung sedotannya.

Gue menggelengkan kepala pelan. Masih bingung karena gue pun belum ada terpikirkan sama sekali. "Nggak tahu. Salah milih fakultas, nih."

Hina ikut manggut-manggut sambil menyeruput minumannya. "Bener, tuh! Coba lo masuk Bisnis & Manajemen, mungkin lo nggak akan kerasa diazab banget."

Mulut Hina memang hina ya, kawan-kawan.

"Ke mana badan dibawa aja, deh. Gue pasrah banget untuk yang satu ini. Syukur-syukur bisa survive." Gue tersenyum kecut. Nggak sengaja bersitatap dengan beberapa cowok yang lewat meski mereka membawa gandengan masing-masing. Bukan mengerling genit, gue menatap galak karena bisa-bisanya itu mata jelalatan.

"Entar susah cari kerja kalau lo nggak niat gini." Karine berujar bijak, padahal biasanya sesat.

Gue berdecak malas, memilih untuk memikirkan jalan pintas dan gampang. "Tinggal nikahin cowok tajir, aman hidup gue."

"Om-om tajir tuh banyak. Lempar kode sekilas aja pasti langsung dapet. Nggak butuh kuliah deh lo, asal poles sana-sini dan permak dada sama bokong doang," celetuk Danna yang mulutnya memang nomor satu. Suka kelupaan pakai saringan kalau berbicara.

Sebelum gue berinisiatif menyumpal mulut Danna dengan tisu makan, Hina langsung menepuk pundak Danna. Bibirnya mengerucut ke depan. "Omongan Danna nggak boleh gitu. Masih 17 tahun juga," timpal Hina pencitraan.

"Hah... tapi Yeriana keeenakan jauh dari ortu. Bebas bisa keluyuran ngalong. Nggak ada yang mantau mau ini itu." Danna berkomentar lagi. Matanya menerawang seolah hidupnya nggak semenarik gue. Padahal kalau bisa, gue rela Danna menggantikan posisi ini.

"Gue masih anak baik-baik, tolong ya. Kelakuan masih batas wajar." Gue mendelikkan mata nggak setuju.

Serius, deh. Gue paling malam main sampai jam delapan. Itu pun biasanya kelamaan di jalan karena Abang suka mampir dulu ke rumah temannya setelah menjemput gue. Kalau memang kemalaman dan belum dijemput, gue biasanya menginap di rumah salah satu Bule Topoki. Gue gampang masuk angin masalahnya.

"Bahan gosipan banyak, diajakin cabut ayo, tapi kalau diajak keluyuran malem, gue masih mikir kalau nggak mau dicoret dari KK." Karine membela, memang sepertinya sudah berubah dewasa. Padahal dulu yang paling suka mengajak gue dan lainnya kabur untuk melihat gebetannya street racing. Gue, sih, selalu menolak ikut. Lebih baik bobok cantik di rumah sambil maskeran.

"Kalau mau jadi cabe harus yang berkualitas ya, Ri." Oza yang sejak tadi berkutat pada layar ponselnya, bersuara memberikan nasihat yang menggetarkan hati gue.

"Aduh, nasihat lo emang paling bijak. Hate you, missy."

"Love you too, sissy."

Obrolan pun terus berlanjut ke beragam topik. Mulai dari membicarakan gebetan baru Karine, si anak SMA tetangga, sampai membicarakanㅡ

"Eh, lo kalau udah di Bandung cari pacar coba. Betah lo ngejomblo dari rahim?"

Iya, gue tahu kalau gue sudah berstatus single sejak lahir. Tapi itu karena prinsip. Prinsip! Gue sudah lelah diberi harapan tinggi-tinggi, nggak mau lagi. Kenapa? Jangan dibahas, kelebihan beban.

Selanjutnya sesi detik-detik bersama Bule Topoki berakhir di rumah gue. Mereka menangis bombay sambil saling mengumbar aib dan janji akan sering menghubungi gue. Berasa gue akan pindah ke mana aja coba, padahal terpisah jarak dua jam doang. Mereka juga janji akan main ke Bandung untuk mengunjungi gue, sekalian berburu akang kasep katanya.

Halah, jauh-jauh mengidolakan artis Korea, tetap aja seleranya lokal.

Nggak terasa pertemanan gue dengan mereka sudah seerat ini. Berbagai kisah SMA gue yang sebenarnya biasa aja, nggak banyak momen menggemparkan, tapi membekas di hati akhirnya menutup buku. Sekarang saatnya gue menjejakkan kaki ke tingkat kehidupan yang lebih serius, penuh tanggung jawab, dituntut mandiri, dan pastinya lebih baik lagi.

Bahasa gue sok dewasa banget, ya? Gue itu memang paling jago kalau soal urusan pencitraan seperti ini. Namun tetap, di antara itu semua ada satu hal yang membuat gue nggak sabar untuk benar-benar menyudahi masa putih abu-abu ini, yaitu gue bisa bebas melakukan berbagai hal tanpa takut harus dilabeli sebagai anak kecil lagi. Nggak munafik ya, 'kan?

[1] STUNNING [New Version] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang