27

5.7K 955 260
                                    

"Gue nggak bisa makan pedas. Kan udah dibilangin juga!" Gue menepis tangan Kak Jeka yang hendak menyumpitkan lumpia basah ke mulut gue.

Kak Jeka berdecak, lalu memasukkan sumpitan lumpia basah level halilintar tersebut (karena saking pedasnya) ke mulutnya. Ini memang jajanan kesukaan Kak Jeka, banget. Gue pun baru tahu hari ini karena si kakak pacar mengajak gue makan bareng sepulang kuliah.

Nggak ada alasan gue untuk dianggap centil atau ganjen lagi karena sekarang gue punya Kak Jeka sebagai pacar. Jujur, kadang masih aneh kalau mengingat kejadian kemarin. Semenjak pulang dari acara jadian dadakan di mana oknum Yeriana menginjak gas meminta status, Kak Jeka selalu memastikan kembali hal tersebut ke gue. Dia nggak berhenti tersenyum. Pantas aja kerutan di matanya bertambah. Penuaan dini.

"Tapi ya, Ri. Setelah gue pikir-pikir..." Kak Jeka kembali dengan kecurigaannya. "Kita jadian bukan karena lo mau bales dendam, 'kan? Misalnya cuma mainin gue aja gitu?"

Helaan napas lolos dari bibir gue, bersamaan dengan rasa geram ke cowok bernama Jeka Alvaro yang duduk di samping gue ini. "Oh, jadi lo anggap gue nggak serius, Kak? Rasa malu yang kemarin gue kesampingkan itu sia-sia? Iya~?"

"B-bukan gitu. Eh, ini tempat terbuka. Gue lagi makan!" Kak Jeka berubah menjadi gugup total. Arah pandangannya berlari ke sana kemari melihat sekitar.

Sekarang gue lagi memajukan badan ke arah dia, lengkap dengan cengiran usil. Gerakan sumpit di tangan Kak Jeka pun terhenti. Iseng, tangan gue yang bebas meraih tangan Kak Jeka dan mengarahkan sumpit yang sudah penuh dengan lumpia basah tersebut ke mulutnya.

"Semoga lo keselek lumpia, ya, pacarku, karena masih aja curiga dan ngeraguin status unyu kita ini." Gue tersenyum penuh arti selagi memaksa Kak Jeka menelan lumpia basah tersebut.

Sontak kedua telinga Kak Jeka memerah. Entah karena serangan pedas dari jajanan kesukaannya itu, atau karena gue yang memanggilnya dengan sebutan 'pacarku' karena dia sendiri yang bilang suka dengan panggilan kepunyaan tersebut.

"Mesra-mesraan weh si eta mah jeung Aa' Jeka di tempat umum! Dilihatin orang. Zina, wahai manusia!"

Sudah persis seperti hantu, Kak Jimi entah dari mana, tiba-tiba datang memukul meja dan mengejutkan gue. Disusul dengan Kak Suga di belakangnya. Cowok berdua ini lebih baik jadian satu sama lain, soalnya nggak ada kemajuan dengan Egi dan Kak Wendy.

"Minum pelan-pelan, Jek. Mati kesedak lo entar. Nggak lucu, baru jadian sehari udah ko-et." Kak Suga mengedikkan dagu, praktis membuat gue berbalik dan mendapati Kak Jeka sedang minum sambil menepuk-nepuk dadanya. "Lo apain anak orang, Ri? Lo bales dendam sampai tuh anak bisa keselek?"

"Bales dendam apaan? Kak Busung emang, ya, mulutnya harus diinstal saringan." Gue mendelik cepat, sambil tangan gue menepuk-nepuk punggung Kak Jeka. "Salah lo sendiri masih curigaan ke gue. Kan gue jadinya kesel."

"Ya kalau lo keselnya kayak gini, gue makin percaya kalau lo emang beneran mau bales dendam ke gue," timpal Kak Jeka yang kini kembali meneguk air minum.

Gue hanya bisa memberikan cengiran, selagi Kak Jimi dan Kak Suga menempati bangku kayu di hadapan kami berdua.

"Ri, lo udah dapetin Jeka. Gue sama Egi kapan dijodohin?" Tiba-tiba Kak Jimi merengut ke arah gue. Nggak gemas, gumoh yang ada.

Gue berdecak pelan, memperbaiki rambut gue sejenak dan melipat tangan di depan dada. "Gini ya, Kak Jim. Gimana Egi nggak jaga jarak dari lo, kalau lo tanya dia sendirian di kost dan jawabannya iya, lo malah bilang, gue temenin deh. Anak orang mana yang nggak anggep lo maniak?"

"Sama ini juga, Jim..." Kak Jeka yang sedang mengunyah, ikut menimpali. "Lo coba belajar senyum depan cermin. Tampang mesum lo kalau senyum kentara amat."

[1] STUNNING [New Version] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang