7

6.1K 1.1K 94
                                    

Sebenarnya gue bukan pribadi yang gampang mengeluh menghadapi sesuatu. Pilihan adalah pilihan, ketika lo telah memilih sesuatu, seberat apapun pilihan yang harus lo jalani, ya jangan mengeluh. Itu resiko.

Tapi seriusan, ini baru satu minggu kuliah kenapa gue sudah mengeluh mulu, sih. Mau pulang ke rumah aja rasanya.

Aktivitas akademik perkuliahan benar-benar menguras tenaga gue. Awalnya seperti cerita Bule Topoki yang berkuliah di kota sana, kelas setiap mata kuliah pasti diadakan di kelas-kelas gedung fakultas yang bersangkutan, kecuali mata kuliah umum dan pilihan. Tapi kenapa kampus gue beda sendiri, dah? Dalam satu hari, gue rasanya mencicipi semua gedung kuliah di kampus ini.

Pagi hari gue kelas di Gedung Timur, lalu dua jam kemudian pindah ke Gedung Barat, setelah istirahat makan siang pun gus berkuliah di gedung yang terletak di tengah-tengah koordinat kampus. Apa gue harus berkeringat dan memorsir lemak-lemak di perut gue? Ini namanya program pembengkakan betis.

Lesu, capek, dan otak pun nggak kalah mumet. Jadwal kuliah tahun pertama membuat gue ingin berteriak ke Papa minta segera dijodohkan dengan anak koleganya yang keturunan Brunei. Bayangkan! Kuliah dimulai jam tujuh pagi sampai sore. Dan yang bikin kesal adalah kuliah di jam 7-9, lalu dilanjutkan jam 9-11, kemudian kosong hingga jam 3 sore. Nanti akan disambung lagi jam 3-5 sore.

Jam 11 sampai jam 3 sorenya kelamaan nunggu. Bayangin, itu kosong empat jam! Maaf-maaf aja, gue bukan tim kuat menunggu meski jodoh gue yang sudah gue tunggu-tunggu selama belasan tahun belum kunjung datang.

Anak-anak satu fakultas gue pun ada yang pulang dulu ke kost atau rumah mereka selama jam kosong tersebut. Tapi, gue adalah jenis mahasiswa mager yang kalau sudah menyentuh kasur, jangan harap gue mau bergerak lagi untuk sekadar pakai sepatu dan menghentikan angkot menuju kampus. Alternatif menghabiskan waktu dengan jalan-jalan keluar area kampus atau ke pusat perbelanjaan pun juga gue hindari. Yang ada kalau ke mall, gue malah betah dan berakhir goyang-goyang badan di Danz Base atau Pump It buat menghabiskan saldo di dalam kartu Game Master.

Sebelumnya gue sempat curhat ke Abang tentang masalah ini, yang sejatinya bukan masalah kritis sampai Bang Vi harus menghubungi Mama dan mendiskusikannya bertiga bersama gue.

"Ma, si Adek kalau punya jam kosong 4 jam, gimana ngatasinnya biar nggak bosen? Kan bahaya kalau tahu-tahu karena nggak kuat nahan bosen, tuh anak beneran minta dikawinin aja dan nggak mau kuliah."

'Dikawinin'. Dikira gue ayam sabung? Benar, otak sama dengkul Abang saling bertukar posisi.

Mama pun memberikan solusi dengan menyuruh gue mulai menjalin pertemanan. Mencari teman dekat yang sekiranya bisa gue ajak mengobrol atau belajar bareng selama jam kosong (yang kedua jangan harap, boro-boro belajar saat jam kosong, di akhir pekan aja gue memilih maraton drama daripada buka PURCELL).

Dan gue mulai mencari anak-anak fakultas yang sekiranya bisa dijadikan teman sepergembelan gue ketika jam kosong. Akhirnya pilihan gue jatuh kepada Mark karena memenuhi standar gue, yaitu dia T-A-M-P-A-N.

Lumayan empat jam memandangi wajah bule lokal tersebut. Seenggaknya jiwa di dalam diri gue kenyang dengan cuma menatap wajah Mark.

Ya, ini gue sedang membicarakan Mark yang minggu lalu meminjamkan gue buku laknatㅡuhm maksudnya PURCELL. Ini juga Mark yang ternyata benar-benar gebetan Karine. Padahal gue berharapnya bukan. Dan setelah tahu ternyata benar, gue sempat merasa dunia nggak adil karena menyatukan Mark dengan ampasan bumbu cilok seperti Karine.

I love you, Rine. You're my favorite bumbu cilok.

Awalnya setelah kejadian buku PURCELL itu, gue mulai kepoin Mark. Sempat ragu, sih, karena Karine cuma cerita, nggak pernah menunjukkan foto Mark ke Bule Topoki. Bisa aja, 'kan, Karine mengada-ada cerita tentang dia yang punya gebetan supaya nggak terlihat mengenaskan.

[1] STUNNING [New Version] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang