20

4K 882 110
                                    

Hal yang sangat ingin gue lakukan sekarang adalah membedah isi kepala cowok di hadapan gue ini. Pertanyaan tadi meluncur mulus dari bibir Kak Jeka. Dia mau memastikan gue nggak menaruh ekspektasi lebih ke dia, katanya? Ini cowok otak sama hatinya jalan nggak, sih?

"Yeriana, gue nggak ada intensi aneh-aneh nanya ginian. Mau mastiin doang."

Gue nggak peduli lagi dengan beberapa anak kampus yang mencuri lirikan. Apalagi kami berdua berdiri di tengah-tengah koridor. Terlihat drama banget, tapi cowok di depan gue ini lebih drama dengan otak sebiji semangkanya itu.

"Ya itu maksud gue tadi, lo nggak ngotak dulu, ya, sebelum ngomong? Lo bisa baca suasana nggak, sih, Kak?" Gue mulai menaikkan nada bicara, sedikit memalingkan wajah ketika ada dosen yang lewat dan memandang aneh kami berdua. Untung gue anak tahun pertama, bodoh amat kalau dosennya mengenal Kak Jeka.

Berusaha menahan keegoisan, gue memilih berpikir tenang. Gue nggak mempermasalahkan kalau memang dia mau mempertanyakan hal tersebut, tapi dengan catatanㅡjangan di saat pembicaraannya nggak ada korelasi dengan topik itu juga, dong!

Ini padahal ceritanya Kak Jeka mau menemani gue ke salon, dan gue pun lagi ingin memperbaiki suasana hati. Kak Jeka juga tahu dengan jelas kalau suasana hati gue sekarang itu seperti apa. Jadi, apa hubungannya dari dia yang tiba-tiba memegang tangan gue, lalu bertanya seperti itu? Maksudnya apa coba.

"Yeriana, gue seㅡ"

"Shh." Gue mengangkat tangan ke hadapan Kak Jeka. "Kalau lo masih mau ngobrolin ini, mending gue minta temenin Dodoy. Waktu gue terlalu berharga untuk ngeladenin pertanyaan absurd lo tadi, Kak."

Gue menarik napas pelan berusaha menahan diri.

Dia pun menangguk dan mengikuti gue dari belakang. Nggak ada niat mau menyejajari langkah. Gue meloloskan helaan beberapa kali. Sebenarnya ada banyak pilihan sekarang, dan salah satu pilihan rasional adalah gue seharusnya pergi. Seharusnya gue mencari teman lain atau pergi sendirian ke salon. Namun, lagi-lagi gue bertindak bodoh dengan memilih bersikap acuh atas perkataan Kak Jeka dan membiarkan dia menemani gue.

Antara gue yang mencoba bersikap dewasa atau gue memang dasarnya bego, gue nggak tahu mana bedanya.

"Sehabis nyalon, mau makan dulu atau langsung pulang?" Kak Jeka bertanya sesaat setelah mobil sudah berjalan.

"Pulang."

Gue bisa mendengar decakan lidah Kak Jeka. Menebak, dia pasti sedikit kesal, karena buktinya setelah itu Kak Jeka berkata, "Ya udah, terserah."

Sumpah serapah gue sudah di ujung bibir. Tinggal mengedepankan ego, gue bisa aja mengomeli Kak Jeka. Dia nggak punya hak untuk bersikap ketus di saat seperti ini, tapi gue terlanjur memilih untuk diam. Mendebatkan sikapnya tadi cuma akan membuat kepala gue pusing. Juga... Membuat gue semakin mempertanyakan, apa memang sebegitu cepatnya gue berekspektasi lebih ke dia?

"Ah elah, Ri. Masalah dia PHP apa enggak urusan nanti, yang penting lo sekarang dekat sama kating sekaliber Jeka. Nikmatin aja udah, jangan dipikirin banget."

"Lo nggak denger Jeka kayak nggak mau gitu lo berekspetasi lebih ke dia? Entar udah asik-asik pegang tangan, jalan berdua, bales-balesan pesan. Eh, tahunya cuma PHP. Dosa lo nggak berfaedah, dong? Nggak ada untungnya."

[1] STUNNING [New Version] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang