Emily dan Earl duduk bersandar di bangku tak jauh dari rumah hantu. Lalu lalang orang sesekali memperhatikan mereka. Bagaimanapun ini pemandangan langka. Melihat Tuan putri Emily di taman hiburan. Ditambah lagi dia bersama dengan laki-laki. Sudah pasti akan menjadi berita utama besok.
"Jadi.. Kamu berhutang 1 hal padaku ya." Ucap Emily merasa menang. Earl menjawab dengan anggukan kecil. Perasaanya masih sangat buruk setelah keluar dari rumah hantu.
"Hei Earl. Kenapa kamu setakut itu pada rumah hantu? Badanmu bahkan lebih besar dariku. Kenapa nyalimu tak lebih baik dari anak TK?" Emily memandang Earl. Bukan.. bukan pandangan merendahkan, Tapi lebih ke... Iba? Emily yakin, pasti ada cerita dibalik ketakutan Earl.
Earl diam memandang Emily. Seperti menimbang-nimbang, apa yang ingin diucapkannya. "Emy.. kita butuh popcorn."
"Kenapa?" Emily mengerutkan kedua alisnya. Bingung.
"Karena ceritaku akan panjang. Dan kamu pasti butuh camilan sambil mendengarkanku." Earl tersenyum. Emily lega. Ketakutan Earl sudah berangsur hilang.
"Ahh ha ha.." Emily tertawa kecil. "Tapi Earl, aku lebih suka keripik kentang daripada popcorn."
"Terserahlah.." Earl ikut tertawa dengan canda Emily. Meski tawa itu terlihat dipaksakan. "Minta bodyguardmu untuk beli cemilan, dan minuman hangat ya." Pinta Earl
"Sure." Emily memberi kode pada salah satu bodyguardnya. Memberinya instruksi dan dengan segera orang itu berlalu pergi melaksanakan perintah dari tuannya.
Emily duduk mendekat ke arah Earl. Menopangkan sebelah tangannya disandaran kursi, menyamankan dirinya untuk mendengarkan 'kisah' Earl. "Ayo." Mendengarkan cerita orang memang selalu menarik kan?
Earl menghela nafas dalam. Matanya kembali sendu. "Ini kisah lama. Kejadian saat aku masih tahun pertama di sekolah menengah. Saat itu, ada acara gathering seluruh angkatan baru. Acara perkemahan 3 hari yang ditutup dengan kunjungan di taman bermain di hari terakhir."
Earl berhenti. Air mukanya tak terbaca. Emily tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Dia belum pernah melihat ekspresi Earl yang seperti itu. Dia bahkan belum mulai ke bagian sedihnya kan? Oh... seburuk apa pengalamanmu Earl?
"Hari itu... teman satu kelasku sudah sepakat untuk masuk wahana rumah hantu bersama-sama. Dan tentu saja aku juga harus ikut meski sebenarnya aku tidak ingin. Karena.... Aku tidak punya teman." DEG.... Emily terperanjat dengan apa yang baru saja didengarnya. Earl tidak punya teman? Satu pun? How does it feel?
"Aku masuk ke wahan itu dibarisan paling akhir. Semua anak-anak satu kelas begitu antusias. Mereka bergerombol entah berdua atau bertiga, namun tidak ada satupun yang mau mengajakku masuk bersama. Permainan terasa menyenangkan kalau itu dimainkan bersama teman kan? Karena aku tidak punya satu orangpun disisiku... Aku tidak merasa antusias sama sekali. Aku melakukannya hanya karena kewajibanku sebagai anggota kelas."
"Hei Earl,, bagaimana mungkin kamu tidak memiliki seorang teman? Kamu kan pangeran. Pasti banyak orang-orang yang mencoba mendekatimu kan? Meski mereka bermuka dua? Seperti orang-orang munafik yang selalu mencoba mendekatiku? Sekali-kali memanfaatkan mereka untuk menemanimu tidak akan menjadi masalah." Dada Emily serasa diremas-remas. Pancaran mata Earl terlihat sangat terluka. Sangat.... Kesepian.
"Tidak ada Emy. Tidak ada satupun orang yang berusaha mendekatiku. Dari kecil... aku selalu sendirian." Mata Emily tiba-tiba terasa sangat panas. Dia yang selalu dikelilingi oleh orang-orang yang peduli padanya pun kadang merasa sangat kesepian, Apalagi kalau dia harus benar-benar sendiri?
Tanpa bisa ditahan, tangan emily memegang pundak Earl. Menepuk-nepuknya pelan. Menenangkannya. Earl tersenyum kecil. Berterima kasih pada sikap Emily.
"Tuan putri, silahkan." Bodyguard yang tadi pergi membeli camilan sudah kembali yang memberikan 2 kantong makanan dan 2 cup minuman hangat.
"Terima kasih." Ucap Emily sopan, tak lupa dengan senyum profesionalnya.
"Ini." Emily memberikan masing-masing satu pada Earl. Dengan segera Earl meneguk cup berisi teh hangat yang diberikan oleh Emily. Lehernya terasa kering. Mengingat pengalaman buruk selalu membawa dampak yang tidak baik bagi tubuh.
Hening kembali menguasai mereka. Emily tetap setia menunggu Earl melanjutkan ceritanya.
"Waktu itu, saat aku sudah masuk ke rumah hantu. Aku berjalan cukup pelan. Sengaja membuat jarak dengan gerombolan anak-anak perempuan didepanku. Mereka berisik. Berteriak-teriak nggak jelas." Earl memijat pelipisnya. Air mukanya kembali keruh.
"Lalu aku merasa ada orang yang berjalan di belakangku. AKu tidak curiga sedikitpun. Aku pikir hanya pengunjung biasa. Namun tiba-tiba ada yang membekap mulutku. Dan satu orang lagi mengikat kedua tanganku dibelakang." Earl mengepalkan tangannya. Mencoba menghentikan tubuhnya yang mulai gemetar.
"Mereka menyeretku ke sebuah ruangan. Aku didudukan dikursi dan mereka mengikat tubuhku dan memasang lakban di mulutku. Aku mulai panik. Ini jelas kejahatan terencana. Mereka sudah menyiapkan semua yang mereka butuhkan." Earl menoleh pada Emily. Dia tidak menyangka Emily akan menggenggam tangannya.
"Tak perlu diteruskan kalau terlalu berat untuk bercerita Earl. Tanganmu gemetar." Emily mempererat pegangan tanganya. Mencoba menenangkan Earl.
"Tidak apa-apa. Aku tidak ingin besok ada tuan putri yang merengek karena penasaran." Earl tersenyum. Dipaksakan.
"Well,. aku memang lebih suka kalau kamu melanjutkan ceritanya." Emily mempererat genggaman tangannya. "Sebagai gantinya, aku akan terus menggenggam tanganmu. Aku baik hati kan?"
Earl menjawabnya dengan anggukan singkat. DIa bersiap melanjutkan ceritanya.
"Ruangan tempat mereka menyekapku sangat gelap. Hanya ada sedikit cahaya yang menerobos dari luar ruangan. Namun aku yakin ruangan ini masih bagian dari rumah hantu. Mereka menyeretku tidak jauh. Dan lagi, suara teriakan teman-temanku terdengar cukup dekat."
"Orang yang menyekapku ada dua. Mereka sedang berdiskusi entah apa dipojok ruangan. Badan mereka terlihat besar dan kekar. Tapi wajah mereka sama sekali tak bisa kukenali. Terlalu gelap. Aku meronta berusaha melepaskan ikatan ditangan dan badanku. Tapi tak membuahkan hasil. Ikatannya terlalu kuat. Aku berusaha meraih handphone yang ada disaku celanaku. Namun tidak berhasil. Lagipula... tidak ada siapapun yang bisa ku mintai tolong disana..." Lagi.. Emily tercekat dengan penuturan Earl. Kesendirian begitu kental berpendar dari nada bicara Earl.
"Aku berusaha membuat suara. Menendang apapun yang bisa kutendang. Berusaha berteriak namun yang keluar hanya gumaman karena mulutku tertutup. Kedua orang itu menjadi marah karena aku mencoba membuat masalah. Salah satu dari mereka mengambil sebuah kayu dan memukul badanku dengan sekuat tenaga. Aku jatuh tersungkur. Tubuhku terasa remuk. Dulu tubuhku sangat kecil. Kurus dan tidak terlatih. Satu hantaman seperti itu sudah membuatku seakan mati." Earl menghela nafas dalam. Mencoba mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan ceritanya.
"Dua orang penjahat itu berdebat setelah salah satu dari mereka memukulku. Aku tak begitu mendengar apa yang mereka perdebatkan. Yang tertangkap telingaku hanyalah bahwa mereka tak akan mampu menanggung resikonya kalau sampai aku terluka parah. Saat mendengarnya... Aku tersenyum kecut. Karena berarti.. mereka bukan penculik biasa yang mengincar anak-anak. Mereka jelas-jelas orang suruhan yang tahu benar siapa aku...."
"Mendengar hal itu... Aku... jadi sangat marah sekaligus... hancur. Aku lelah Emy. Setiap hari harus waspada. Setiap saat nyamanku terancam. Untuk apa gelar pangeran de Northen yang kusandang jika itu hanya mendatangkan bahaya untuk nyawaku?!" Earl terlihat emosional. Diremasnya tangan emily yang menggenggamnya.
Emily menarik Earl ke arahnya. Menyandarkan kepala Earl pada pundaknya dan mengelus dengan sayang. "Earl.. Tidak apa-apa kalau kamu ingin menangis. Aku akan jaga rahasia."
"Kau pikir aku secengeng itu hah?" Earl mendengus sebal. Namun tidak berusaha melepaskan diri dari Emily. Earl menghela nafas dalam. Menghirup aroma Emily yang terasa menenangkan baginya. "Emy... bau mu sangat manis..." Earl memejamkan mata. Hanyut pada aroma yang berpendar dari tubuh Emily.
"Hei. Kamu mau mengulangi kesalahan yang sama pangeran?!" Emily Mendorong Earl menjauh.
"Ah.. Maaf. Hanya saja... Kamu selalu... membuatku merasa nyaman Emy..." Mata Earl berkabut. Wajahnya memerah.
"Baiklah ku maafkan. Lagipula... Aku yang memelukmu lebih dulu." Emily membenarkan posisi duduknya. Oh god.. Aku hanya berusaha menenangkannya. Kenapa Earl bisa-bisanya mencari kesempatan hah?!
Earl mengangguk. "Mau dilanjutkan ceritanya?" Tanya Earl.
"Aku tidak akan memaksa. Terserah padamu saja." Emily mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Hari sudah semakin malam. Namun taman hiburan itu masih sangat ramai. Emily dan Earl pun masih menikmati waktu mereka disana.
"Setelah mendengar perdebatan kedua penjahat itu. Aku semakin keras meronta. Kemarahan memberiku tenaga yang luar biasa. Aku berhasil melepaskan ikatan tanganku meski seluruh pergelanaganku menjadi lecet dan berdarah. Aku bergegas melepaskan lakban yang membekap mulutku dan segera berteriak sekencang mungkin." Kemarahan tergambar jelas di kedua mata Earl. Emily masih belum mengerti, Mengapa seorang pangeran mengalami hal yang memilukan seperti ini? Aku juga seorang putri kan? Tapi, semut saja tidak berani menyakitiku. Lalu kenapa Earl mengalami semua hal mengerikan itu?!
"Kedua penjahat itu menjadi kalut. Mereka berusaha mengikat dan membekap mulutku lagi. Namun aku meronta, menendang sekuat tenaga. Mereka mulai kewalahan. Orang yang tadi memukulku kembali mengambil kayu. Dia orang yang tak mampu menahan emosi. Namun orang yang satunya menghentikannya. Dan kamu tahu Emily apa yang dia katakan?" Jeda. Earl terlihat tercekat. Menahan marah yang meluap-luap di dadanya.
"Orang itu berkata.. 'jangan gegabah! Ratu hanya menyuruh kita menculiknya! bukan membunuhnya!!' Dan seketika orang itu terperanjat dengan ucapannya sendiri. Dia kelepasan bicara." Emily menutup mulutnya dengan kedua tangan. Terkejut. Sangat terkejut. Ratu? Ratu Esme? Tapi kenapa?
"Aku tahu ibu tidak menyukaiku. Tapi aku tidak pernah menyangka kalau ibu akan melakukan hal seperti ini padaku..." Nada bicara Earl terdengar sangat getir. Emily tidak tahu harus merespon bagaimana. Dia terlalu terkejut dengan apa yang dikatakan Earl.
"Detik berikutnya, penjahat itu menghantam kepalaku dengan keras. Darah langsung mengucur membasahi mata dan pipiku. Kepala ku berdenyut-denyut. Rasanya sangat sakit. Namun aku berusaha mempertahankan kesadaranku. Aku harus meloloskan diri. Bagaimanapun caranya." Emily kembali mencengkeram tangan Earl. Kali ini untuk menenangkan hatinya sendiri.
"Aku berusaha meronta, berusaha melepaskan diriku yang masih terikat dengan kursi. Orang itu menjadi semakin kalap. Dia kembali mengayunkan kayu yang dipegangnya. Kali ini kakiku yang dihantam." Emily mengernyikan kedua matanya. Rasanya ikut sakit mendengar penuturan Earl. "Rasanya sangat nyeri. Kakiku serasa remuk. Seperti ada tulang yang patah."
"Aku merasa semakin pusing. Berusaha agar tetap sadar saja sudah sangat berat bagiku. Aku sudah tak mampu lagi meronta melepaskan diri." Jeda. Emily melihat Earl tersenyum tipis. "Lalu... Saat aku sudah berada diambang batas kesadaranku. Tiba-tiba pintu ruangan itu didobrak dari luar dengan sangat keras. Hal terakhir yang kulihat adalah, Dua orang guru yang berdiri diambang pintu dan ketua kelasku, Killian. Wajahnya dipenuhi rasa khawatir dan bajunya basah oleh keringat. Dan tanpa ragu dia menerobos masuk dan menyambut tanganku yang meminta pertolongan. Selanjutnya aku sudah tak sadarkan diri."
"Killian? Temanmu yang akan datang minggu depan itu?" Tanya Emily. Tanpa sadar Emily menghembuskan nafas lega. Akhirnya malam mencekam itu berakhir. Aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Earl saat itu...
"Ya. Sejak saat itu. Aku selalu membuntuti kemanapun Killian pergi." Earl tertawa kecil. Sinar matanya berubah bahagia. "Awalnya dia merasa risih dan sebal. Namun akhirnya dia menerima ku dan kami menjadi sangat akrab." Earl memandang Emily. Senyum masih menghiasi wajah tampannya.
"Lalu apa yang terjadi setelah itu?" Tanya Emily yang masih penasaran dengan kisah Earl.
"Saat aku sadar, aku sudah berada dirumah sakit. Kulihat ayah berdiri disamping ranjang. Wajahnya terlihat sangat khawatir. Niall menangis sesenggukan disampingku. Dan ibu..." Earl tertawa getir. "Ibu menggenggam tanganku dengan wajah yang bersimbah air mata. Hahh! Benar-benar akting yang mengagumkan." Earl mengatupkan rahangnya. Menahan kebencian yang meluap-luap didadanya.
Emily baru ingat, kalau ratu Esme bukan ibu kandung Earl. Dia adalah selir yang akhirnya naik tahta menjadi ratu setelah ibu kandung Earl meninggal. Namun fakta itu semakin lama semakin terlupakan. Karena keluarga kerajaan Northen terlihat seperti keluarga yang bahagia. Dari luarnya... Emily diam, menatap Earl dengan penuh rasa iba.
Earl menarik Emily. Dia kembali merebahkan kepalanya di pundak Emily. "Sebentar saja Emy. Aku tidak sedang mencari kesempatan. Aroma tubuhmu benar-benar bisa menenangkanku." Earl menghirup nafas dalam.
Emily membiarkan Earl. Ditepuk-tepuknya kepala Earl pelan. He looks like a puppy. "Kali ini saja."
"Emy." Earl bergumam pelan tanpa mengangkat kepalanya. Dia benar-benar merasa nyaman didekat Emily.
"Ya?"
"Tentang keterlibatan ibuku pada peristiwa penculikan itu... Tolong dirahasiakan ya." Earl kembali menghirup nafas dalam. Mencari ketenangan. "Tidak ada yang tahu fakta itu kecuali aku dan Killian. Ibu pun berpikir aku tidak tahu tentang hal itu. Ini hal yang berbahaya. Jika diketahui oleh orang yang salah... Northen bisa jatuh dalam peperangan."
"Lalu kenapa kamu mengatakan hal sepenting itu padaku Earl? Bisa saja aku menggunakan fakta itu untuk menyerang Northen kelak jika kita bermusuhan."
Earl bangkit. Ditatapnya Emily dalam. "Seperti kamu, aku juga tidak mudah percaya dengan orang lain Emy." Earl membelai pipi Emily dengan lembut. "Tapi jika itu kamu..." Tatapan mata Earl menjadi sangat lembut. Melelehkan siapa saja yang ditatapnya. "Aku percaya padamu Emy..."
Hati Emily berdesir. Rasa yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. Apa ini? Dadaku terasa sangat aneh....
******Batang, 9 Januari 2016
Love you all dear readers
jangan lupa vote dan komentarnya.
Edited 12 Mei 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince Academy
Teen FictionAku princess Emily, seorang putri dari kerajaan plenamory seperti cerita di novel-novel itu, AKU DIJODOHKAN!!! Tapi kisahku tak akan menjadi se klise novel-novel teenlit Karena pangeran yang di jodohkan denganku justru membantuku untuk menemukan cal...