"Lihat aku Emily." Wajah Earl semakin dekat. Sebenarnya apa yang sedang dia coba lakukan?!
"Emily." Earl berkata pelan. Lebih serupa desahan. Namun cukup jelas bagi Emily karena mereka begitu dekat.
"Apa yang kamu rasakan sekarang?" Tanya Earl masih dengan nada rendah. Matanya seakan berkabut.
"Yang aku rasakan?" Ucap Emily tak kalah pelan. "Aku.... ingin sekali menamparmu Earl!!" Emily tersenyum sinis. Kilat matanya berubah berbahaya.
"Oh.. Emy!! Perempuan seharusnya sudah salah tingkah diperlakukan seperti itu! Setidaknya... Apa kamu sama sekali tidak berdebar-debar?!" Earl terperanjat mundur dari duduknya. Dia tidak menyangka akan mendapat respon seeperti itu. Meski dia bukanlah playboy atau sejenisnya. Tapi Earl cukup percaya diri dengan wajahnya. Dia cukup yakin bisa menaklukan gadis manapun yang dia inginkan.
"Kalau memang aku sama dengan perempuan kebanyakan yang akan luluh dengan hal-hal seperti itu, Ayah tidak akan repot-repot mencarikanku jodoh sampai ke Northen kan?" Jawab Emily sinis. Oh come on. You pissed me off Earl.
"Hemm, benar juga. Tapi Emily, jatuh cinta itu bukan hal yang buruk. Percayalah." Kata Earl yang sudah kembali ke kepribadiannya yang biasa.
Emily masih setia dengan pandangan menusuknya. "Prince de Northen. Aku tidak suka dengan sikapmu hari ini. Tolong jangan diulangi lagi." Ucap Emily dengan sangat formal. "Apapun perasaanku adalah urusan pribadiku. Dan perlu kuingatkan. Kita! belum cukup dekat sampai kamu boleh dengan bebas memegangku. Jadi tolong jangan melewati batas!" Emily berkata dingin. Sangat dingin sampai ruangan itu serasa membeku.
Earl diam tak bereaksi. Matanya terus mengamati ekspresi Emily seakan menunggu untuk emily tertawa dan mengatakan kalau dia sedang bercanda. Namun... Tawa itu tak pernah muncul. Ekspresi Emily tak berubah. Begitu dingin.
"Hahhh....." Earl menghela nafas berat dan beranjak bangun dari duduknya. "Maaf. Mungkin aku memang kelewatan hari ini. Aku hanya bermaksud bercanda. Kamu kelihatan lelah Emy." Sunyi. Emily hanya berdiri mematung membelakangi Earl. Namun siluet dirinya begitu dingin. Baru kali ini Earl melihat sisi Emily yang seperti ini. Biasanya Emily sangat hangat dan bersahabat.
"Aku pergi dulu Emy." Earl keluar dari ruang kerja Emily dengan wajah sendu. Dia benar-benar tak berpikir Emily akan bereaksi seperti itu. Dia biasanya selalu ceria dan suka bercanda. Atau paling tidak, dia akan berteriak maha melampiaskan apa saja yang ada dihatinya. Bukan diam membeku seperti ini. Apa dia terlalu lelah dengan pekerjaannya?
.......
"Ahhhhh..!!!!" Emily menenggelamkan dirinya di sofa. Perasaannya benar-benar berantakan. Wajahnya memerah dengan sempurna. Dia tak habis pikir dengan pangeran Northen yang satu itu. Apa yang ada dipikirannya sampai dia melakukan hal memalukan seperti itu.
"Earl de Northen. Kau benar-benar dalam masalah besar sekarang!! Kamu pikir aku akan melepaskanmu begitu saja setelah apa yang kau lakukan hah!!" Emily menumpahkan amarahnya pada sofa yang tadi di duduki oleh Earl. Hatinya masih berdegub dengan sangat keras. Bayangan saat Earl memegang pipinya dan menatapnya dengan tatapan penuh kelembutan kembali terlintas dipikirannya. Pipinya kembali memerah dengan sempurna.
"Earl!! you Jerk!!" Emily menutup wajahnya dengan bantal kursi. Dia berusaha menekan perasaannya sekuat mungkin. Earl benar. Perempuan akan berdebar-debar jika diperlakukan seperti itu. Dan Emily bukan pengecualian.
"Putri Emily?" Elina masuk bersama pelayan yang membawa teh dan camilan. "Apa pangeran Earl sudah pergi?" Emily hanya menjawabnya dengan anggukan. Dia sedang sibuk memperbaiki ekspresinya. Emily tidak ingin ada orang yang melihat sisi lemahnya seperti ini. Dia harus tetap menjaga image nya dengan sempurna.
"Lalu bagaimana dengan teh dan camilannya?" Tanya Elina sopan.
Emily tersenyum tipis. Dia menulis note pada secarik kertas kecil. "Kirimkan teh dan camilan ke kamar pangeran Earl. Dan sampaikan note ini padanya." Tutur Emily penuh senyum. Sepertinya dia sudah kembali pada dirinya yang biasanya.
*******
Earl duduk di dekat jendela di kamarnya. Dia memegang secangkir teh yang baru saja diantarkan oleh Elina. Wajahnya dipenuhi kelegaan. DItatapnya lagi secarik kertas yang dikirimkan Emily padanya.
"You will die." Sebaris kalimat yang seharusnya menjadi ancaman. Namun justru mengembangkan senyum dibibir Earl.
"Untunglah dia sudah kembali normal. Apa tadi aku memang kelewatan?" Earl tahu Emily berbeda dengan gadis lain. Dia dibesarkan dengan pendidikan yang ketat. Sama seperti dirinya. Mengemban ego, kebanggaan dan beban sekaligus. Sama dengan dirinya. Namun... Dia tumbuh menjadi putri yang begitu murni, penuh cinta, ceria, punya karakter yang kuat... sangat.... Berbeda dengan dirinya.
Earl menggelengkan kepalanya. Berusaha mengusir apa yang sedang dipikirkannya. "Ah.. Aku belum menelepon Carissa." Earl menyambar Handphone nya yang tergeletak diatas meja. Lalu berbaring di sofa. Menunggu telefonnya tersambung dengan kekasihnya.
-Honey- terdengar suara disambungan telefon Earl.
![](https://img.wattpad.com/cover/9702991-288-k947148.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince Academy
Teen FictionAku princess Emily, seorang putri dari kerajaan plenamory seperti cerita di novel-novel itu, AKU DIJODOHKAN!!! Tapi kisahku tak akan menjadi se klise novel-novel teenlit Karena pangeran yang di jodohkan denganku justru membantuku untuk menemukan cal...