Past 6: Berpisah

95 8 1
                                    

Imagine all the people,sharin' all the world...

3 minggu kami jalani bersama. Dengan seseorang sementara bersamaku,Paul. Kami menghabiskan waktu bersama.

Sebenarnya,aku tidak melanjutkan sekolahku. Jadi tidak keberatan kalau aku bolos sekolah,kan?

Kami bermain bersama,mengobrol bersama,dan lainnya.

Aku teringat akan rencana ayah untuk mengajariku bermain musik. Apakah itu ide yang bagus?

"Paul,memang musik itu seru,ya?" Tanyaku kepada Paul yang sedang asyik bermain lego (?)

"Kan sudah kubilang. Musiklah yang mengerti perasaanmu. Ketika kau sedih,putarlah lagu senang,pasti kau terhibur. Mungkin lagu Elvis akan lebih bagus karena lagunya ada yang senang dan sedih." Kata Paul.

"Kau tidak bilang itu." Kataku.

"Begitukah?" Tanyanya meyakinkan.

"Ya. Tapi,bisa kau ajari aku bermusik?"

"Ewww.. Aku tidak bisa bermain alat musik."

"Tapi kau mengerti tentang pemusik,kan?"

"Ya."

"Ajari aku itu saja." Kataku.

"Kita bisa mengambil contoh lagu klasik dan lagu barok saja?"

"Kenapa? Aku tidak suka musik itu. Lagipula,aku tidak bisa bermain piano. "

"Itulah awal dari bermusik. Lagipula,ayahmu kan bisa mengajarimu. Aku juga tidak begitu tertarik dengan musik. Tapi setelah ia menjelaskan tentang sejarah dan perjalanan hidup serta kekurangan fisik atau yang lain dari pemusik klasik itu,aku jadi mengerti apa arti musik sebenarnya dan kegunaannya."

"Hmmm.. Begitu. Baiklah."

Kemudian,saat kami berseru seru dengan mempelajari musik,ada suara klakson mobil yang melintas di depan rumah kami. Sepertinya itu adalah suara mobil ayah Paul.

"Lihat,siapa yang sekarang akan berpisah?" Kata ibu yang menghampiri kami.

Kemudian kami pun turun,disusul ibu yang berjalan di belakang kami sambil memegang pundak kami.

"Paul,bibi akan merindukanmu. Datanglah lagi,ya! Kasihan sekali John. Ia sendirian tanpamu." Kata ibu sambil menuruni tangga.

"Iya,bi. Terima kasih karena bibi juga sudah merawatku sementara." Jawab Paul dengan senyum manisnya.

Awww.. Senyumnya memang manis,tapi hatinya lebih manis karena ia baik sekali.

Kemudian,terlihatlah pria bertubuh tinggi itu berdiri di ambang pintu masuk rumah bersama ayahku yang kuyakini ia adalah ayah Paul.

"Paul,jaga dirimu. Mungkin kita akan bertemu dalam waktu yang lama. Tapi Tuhan memberi takdir untuk mempertemukan dan mempersatukan kami kembali. Jangan lupakan aku,Paul." Kataku sambil menahan tangisan.

"Terima kasih juga kau telah menjadi kakakku. Sungguh,aku tidak pernah mengobrol panjang lebar dengan orang lain. Tapi lubuk hatiku mendorongku untuk berbicara kepadamu. Kaulah pelindungku sejak saat itu. Maafkan aku ketika aku berlari menghindarimu saat kau menolongku. Aku saat itu merasakan ketakutan karena kau hampir terpukul anak perempuan itu. Keberanianku mulai tampak pada saat itu karena kau adalah satu satunya orang yang baik kepadaku." Kata Paul sambil menangis.

"Air mata tidak cocok untuk laki laki pemberani sepertimu. Jadilah berani,Paul! Aku tidak akan melupakanmu." Kataku yang sudah terlanjur mengeluarkan setetes air mata kepedihan sambil memeluk Paul.

"Ohhhh.. Akhir yang malang. Tenanglah,ayah akan mengajakmu kesini lagi suatu saat ketika ayah tidak sibuk." Kata ayah Paul.

"Lihat,mereka terlihat sangat akrab sekali. Seperti perangko dan amplop,tidak bisa dipisahkan." Rayu ibuku.

"Baiklah,Paul. Ayo kita pergi!" Ajak ayah Paul.

Paul pun enggan enggan untuk melepaskan pelukan kami. Tapi akhirnya terlepas juga karena aku menyuruhnya.

"Sampai jumpa,Paul! Hati hati di sana!" Teriakku saat Paul melangkah masuk ke mobil. Saat itu hujan,jadi aku tidak bisa berkata panjang lebar padanya karena takut ia sakit. Mungkin ini terakhir kalinya aku berbicara panjang lebar.

"Ayo,John! Kita masuk. Diluar hujan dan hawanya dingin. Nanti kau sakit." Kata ayah.

"Baiklah,ayah." Kataku yang masih berdiri mematung sambil melambaikan tangan kepada Paul yang sudah berangkat.

Saat aku masuk,aku ingin menceritakan kalau aku ingin sekali bermain alat musik karena Paul membuatku tertarik dengan musik. Tapi,mereka membuatku semakin rindu dengan Paul.

"John,sepertinya kau terpaksa sekali meninggalkannya. Bukankah kau penyendiri?" Tanya ibu.

"Tidak selamanya manusia menjadi penyendiri. Tidak selamanya penyendiri itu hidup bahagia. Tidak selamanya hidup bahagia hanya dengan ditemani angin dan suara sunyi. Tidak selamanya ditemani angin dan suara sunyi tanpa teman. Tidak selamanya teman akan membuat senyum kepadaku. Tidak selamanya senyum itu menjadi senyum palsu jika sendirian" Kataku yang sepertinya sedang curhat :v

"Kau menyadarinya? Baguslah. Ternyata kedatangan Paul tidak sia sia membuatmu merindukan seseorang." Jelas ibu.

"Aku sedang sedih,bu."

"Iya,ibu tahu. Ibu tidak bercanda."

Kemudian,datanglah ayahku yang baru saja ada di dapur.

"Ayah,aku ingin sekali belajar musik." Kataku.

"Bukankah kau tidak tertarik dengan musik? Pasti karena Paul,ya?" Tanya ayahku.

"Emmmm....Ya!" Jawabku dengan pikiran.

"Baguslah. Ayah punya sesuatu untukmu."

"Benarkah?" Tanyaku semangat.

"Ya! Taraaa...." Teriak ayah sambil mengeluarkan gitar.

"Ewww.. Ayah,yang aku inginkan bermain piano saja,tidak usah gitar." Jawabku kecewa.

"Jangan begitu. Ini dari ayah Paul. Pasti kau senang. Bukankah kau menyukai Paul? Lihatlah,ada tulisan Paul disini dengan spidol." Kata ayahku sambil menunjuk bagian yang ditulis Paul,tepat di belakang.

Apa yang ia tulis? Tulisannya agak berantakan.

"Tulisan apa itu,yah?" Tanyaku heran.

"Emmmm. Entahlah. Ayah juga tidak bisa membacanya. Tapi mungkin kata kata ini kedengarannya keren. Kau suka,kan?"

"Tapi... Aku ingin belajar main piano. Paul belajar main piano karena ia suka dengan piano." Jawabku cemberut.

"Hei,anak ayah yang pintar. Jangan cemberut. Lagipula,kalau kau belajar alat musik yang lain,kau pasti bisa berkolaborasi dengan alunan piano Paul kan?" Kata ayah.

"Baiklah." Jawabku dengan pasrah.

Dan aku teringat dengan yang dipegang ayah daritadi.

"Ayah,apa itu?" tanyaku sambil menunjuk yang dipegang ayah.

"Ini adalah kenangan dari Paul juga untukmu,pakailah kalung ini."

"Keren sekali. Aku merasa bersalah kalau aku tidak bisa memberikan sesuatu untuknya."

"Tenanglah. Ayah sudah memberikan barangmu. Boneka kesayanganmu sudah ayah berikan untuknya."

"Hmmm... Ayah,apakah Paul punya kakak?"

"Sebenarnya dia punya,tapi kakaknya meninggal karena kecelakaan mobil. Memang kenapa kau tanya itu?"

"Tidak apa. Aku hanya kasihan dengan Paul kalau sendirian."

"Jangan khawatir. Kan dia tidak,sendirian lagi karena ada kau."

"Begitulah.."

"Kau beritahu dia waktu ia sudah dewasa saja. Siapa tahu kau bertemu lagi dengannya."

"Baiklah."

To be continued...

Yesterday and Today [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang