Saat aku berumur 4 tahun, keluargaku pindah ke rumah kami yang baru karena pekerjaan ayah yang menuntut kami untuk pindah.
Mungkin jika kepindahan itu terjadi saat aku dewasa, aku akan merasa sangat sedih. Berpisah dengan teman-teman sekolahmu dan memulai berkenalan dengan orang-orang asing yang nantinya akan kau panggil teman? menyedihkan bukan?
Untunglah saat kami pindah, aku belum memulai sekolah taman kanak-kanak. Tentunya aku belum mempunyai teman satu pun. Kau mungkin berpikir kalau ini aneh, tapi benar adanya.
Aku tak memiliki satu teman pun saat tinggal di rumahku yang dulu. Aku tidak pernah keluar rumah karena kedua orang tuaku selalu sibuk. Mereka mempekerjakan seorang pengasuh untuk merawatku dan melarangnya untuk mengajakku bermain keluar.
Park Jimin. Satu-satunya anak laki-laki yang bisa kusebut teman saat itu. Dia adalah sepupuku, anak dari bibi; kakak perempuan ayahku. Kami selalu bermain bersama sepulang ia dari sekolah dasar.
Dia sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Aku? Ya, aku anak tunggal di dalam keluargaku. Rumah besar itu terasa sepi karena hanya ada aku dan pengasuhku, serta Jimin yang menghuninya di siang hari ketika ayah dan ibu bekerja.
Ketika kami pindah ke rumah yang baru, aku sangat sedih karena itu berarti aku dan Jimin tidak akan bisa bermain bersama lagi. Tetapi Jimin menenangkanku dan mengatakan bahwa ia akan sering-sering berkunjung bersama paman dan bibi.
"Jangan sedih lagi, Lee Seoyeon. Aku akan mengunjungimu saat libur sekolah. Jadi, ingatlah waktu-waktu penting libur sekolah karena mungkin aku akan hadir mengetuk pintu rumahmu."
Aku ingat betul perkataan Jimin sebelum kami berangkat meninggalkan rumah kami yang dulu. Dia tersenyum manis sampai-sampai aku berhenti menangis dan memeluknya erat.
"Kau sudah berjanji, Chim."
Chim. Panggilan itu kuberikan kepada Jimin ketika aku mulai bisa berbicara. Tapi sejalan bergulirnya waktu, kini kami telah menjadi remaja, Jimin akan sangat kesal ketika aku menggodanya dengan nama panggilan itu.
Sampai sekarang pun Jimin tak pernah mengingkari janjinya dulu. Setiap ada waktu luang, dia menyempatkan diri untuk berkunjung ke kediaman kami yang memakan waktu 4 jam lamanya dari kediamannya.
Setelah kepindahan itu, ibu mengundurkan diri dari kantor tempatnya bekerja dengan alasan untuk merawatku. Jika kuingat saat itu, aku akan mulai menangis.
Ibu sangat mencintai pekerjaannya. Bahkan ia sudah bekerja menjadi editor di sebuah agensi majalah sebelum menikah dengan ayah. Aku merasa bersalah karena ia harus meninggalkan pekerjaan yang dicintainya untuk merawatku di rumah.
Pernah sekali aku berkata padanya bahwa aku tidak keberatan jika ibu tetap bekerja. Tapi tentu saja ternyata ibuku sangat menyayangiku lebih dari pekerjaannya. Sejujurnya aku juga merasa senang akhirnya orang tuaku menunjukkan kasih sayangnya padaku secara langsung tanpa membayar pengasuh lagi.
Setahun setelah kepindahan kami, ayah dan ibu mendaftarkanku masuk taman kanak-kanak. Aku sangat senang sekali membayangkan bertemu anak-anak sebayaku dan bermain bersama mereka.
Saat hari pertama masuk sekolah pun tiba. Aku sangat bersemangat sekali sampai-sampai aku bangun pagi, terlalu pagi malah. Aku membangunkan ayah dan ibu yang masih terlelap di kamar mereka dengan melompat-lompat di atas ranjang mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
dear him ; kth
Hayran Kurguyou came to light up my world with your smile, crashed my world when you left, yet I'm still thanking you for that.