Chapter 2

5.8K 334 1
                                    

Langit terlihat cerah pagi itu, matahari yang kemarin bersembunyi di balik awan kini telah menampakkan dirinya. Memberikan sedikit kehangatan di musim dingin yang sebentar lagi akan menghilang ini.

Aku bangun dengan semangat pagi yang baru, hari ini adalah hari pertama aku belajar di universitas. Sesudah sarapan dengan Stefan kami berdua berangkat bersama menuju kampus dengan mobil pribadi yang ayah berikan untuk Stefan sebagai hadiah ulang tahunnya. Sepanjang perjalaanan tak ada yang kami bicarakan. Universitasku ini adalah universitas terbaik di kota. Beberapa kali mendapatkan penghargaan baik di tingkat nasional maupun internasional dan karena itu aku bangga bisa menjadi salah satu mahasiswa disana.

"Kau turun dulu, aku akan pergi untuk membeli sesuatu." Aku mengangguk mematuhi perintah Stefan.

Saat aku keluar dari mobil, banyak orang yang menatapku dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Saat aku berjalan memasuki koridor untuk mencari kelas pertamaku, semua orang memandangku dengan lekat. Mereka memperhatikanku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Samar-samar aku mendengar seseorang berkata 'lihat, pria itu mirip dengan Stefan. Apa dia kembarannya ya?'.

Setelah itu seseorang menjawab ' tidak mungkin, Stefan bilang ia anak tunggal dan tak punya saudara sama sekali' .

Aku berpikir, apakah Stefan benar-benar sejahat itu dengan tak menganggap diriku sebagai adiknya? Aku tak menggubris mereka semua. Aku berjalan dengan cepat menuju kelas pertamaku. Kebetulan kelas itu berada di lantai tiga gedung universitas ini.Selesai dengan kelas pertamaku, aku berkeliling untuk melihat-lihat keadaan gedung universitasku. Saat menuruni tangga aku melihat seorang pria mengenakan sweater hitam sedang memainkan ponsel nya. Dadaku berdebar dengan kencang ketika aku menyadari sosok pria itu. Dia pria yang menabrakku di wahana permainan anak-anak kemarin. Aku bisa mengenalinya dari hidung mancungnya, mata obsidiannya, dan tak lupa bibir joker dengan dimple di kedua pipinya.

Hatiku menjadi gugup tapi kupaksakan untuk bersikap seperti biasa saja. Aku menuruni anak tangga dengan hati-hati. Pria itu menatapku dengan kaget.

"Tunggu, aku pernah melihatmu. Kau wanita yang kutabrak waktu itu kan? Sedang apa kau disini? "

Aku trkejut ketika ia mengatakan kata wanita.

"Maaf, aku bukan seorang wanita. Aku pria " Ia memicingkan matanya dan melihat kearah dadaku.

Dengan kikuk ia menggaruk tengkuknya. Ia lalu tersenyum padaku, menampilkan deretan gigi putih dan kedua dimple di pipinya.

"Maaf, aku kira kau seorang wanita. Wajahmu cantik, siapa namamu?"

"Aku Adrian"

"Adrian? Sepertinya aku pernah mendengar nama itu. Ahh.. kenalkan namaku Evan Petterson. Kau boleh memanggilku Evan. Aku mahasiswa semester tiga disini. Senang berkenalan denganmu Adrian "

Apa aku tak salah dengar? Tadi dia mengatakan namanya Evan. Memoriku kembali teringat saat empat belas tahun yang lalu. Saat dimana aku sedang duduk di depan rumahku dengan tubuh babak belur dan kedinginan. Lamunanku buyar ketika tangan besarnya melambai-lambai di depan mataku.

"Aahh.. maaf aku melamun. Bolehkah aku bertanya padamu tentang sesuatu Evan?"

"Ya tentu saja" katanya masih sambil tersenyum manis.

"Apa kau pernah memberikan selimut pada seorang anak yang sedang kedinginan dengan keadaan babak belur saat musim salju? Lebih tepatnya empat belas tahun lalu. " Matanya memandang ke atas, ia sedang mencari sesuatu dalam ingatannya. Matanya lalu menatapku dengan lekat.

Ia mendekat ke arahku. Aku berjalan mundur, namun langkahku terhenti ketika punggungku mengenai dinding lorong. Wajahnya semakin dekat dengan wajahku. Aku menutup mataku. Sebuah sentuhan halus kurasakan dikeningku, sebuah tangan mengelus keningku menyingkirkan rambut hitamku yang menutupinya. Jempolnya mengelus tahi lalat dikeningku.

Winter SadnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang