Chapter 21

2K 142 5
                                    

Langit-langit kamarku terasa berputar. Bayangannya tak bisa diam. Aku kembali mengerjapkan mataku, namun tetap saja. Bayangannya pudar dan itu membuatku semakin pusing. Suhu tubuhku memanas, dan aku merasakannya. Mataku terasa begitu perih dan selalu berair. Entah sudah berapa lama aku terbaring semenjak ayah memukulku. Tapi sepertinya aku berbaring cukup lama karena aku merasa tenggorokanku mengering.

Aku memanggil nama Stefan dengan lemah, namun tak ada jawaban. Kutengok kesamping, tak ada siapapun di sana. Di kamar hanya ada aku sendiri. Aku mencoba untuk bangkit dari tidur. Dengan susah payah, akhirnya aku bisa duduk dan bersandar pada bantal. Satu gelas air ku ambil dari meja kecil di sampingku, tapi tanganku terlalu lemas untuk memegangnya dan gelas itu pecah. Tak berapa lama seseorang berderap di luar sana. Lalu aku melihat ibu membuka pintu kamarku.

"Ya tuhan, Adrian"

Ibuku merapikan pecahan kaca. Setelah itu duduk di sampingku sambil menyimpan punggung tangannya di keningku.

"Suhu tubuhmu masih panas"

"Dimana Stefan?"

"Dia sedang memanggilkan dokter untukmu. Mungkin sebentar lagi ia akan kembali"

Aku mengerang, rasa sakit di bagian kepalaku terasa kembali.

"Kau butuh sesuatu nak?"

"Aku ingin minum ibu"

"Tunggu, biar ibu ambilkan"

*****

Aku tertidur kembali ketika ibu sudah berlalu meninggalkanku di kamar. Ketika mataku kembali terpejam, aku bermimpi. Mimpi buruk datang kembali dalam tidurku. Aku melihat cerminan diriku saat masih kecil terlihat kembali. Ketika ayah memukuliku hingga aku terluka dan berdarah. Aku merasa gelisah, aku takut. Aku merasa tubuhku kini mulai basah dipenuhi oleh keringat. Ketika mimpi itu semakin menjadi, seseorang mengusap pipiku dengan lembut. Membangunkan diriku yang terlelap.

Aku kembali membuka mataku, kali ini aku menemukan bayangan seseorang. Dia sedang duduk di sampingku. Mengenakan baju putih dan ada sesuatu yang menggantung di lehernya. Aku tidak bisa melihat wajahnya. Mataku masih buram. Tetapi, aku rasa pria itu sedang tersenyum padaku saat ini. Aku merasakan kembali sebuah tangan menyentuh keningku.

"Kau sudah siuman"

Aku tidak kenal dengan suaranya.

"Pasti pandanganmu masih pudar, sudah jangan dipaksakan. Nanti pandanganmu akan normal kembali" katanya menenangkan.

Ku tatap langit-langit kamar. Lama kelamaan pandanganku kembali jelas. Saat aku merasa pandanganku kembali pulih, aku melihat ke arah orang yang tadi berbicara kepadaku. Ternyata dia seorang pria. Mengenakan kemeja hijau bermotif, ia juga mengenakan jas putih dan stetoskop menggantung di lehernya. Pria itu memiliki wajah oriental. Matanya sipit, bibirnya tipis, hidungnya kecil. Kulitnya begitu putih hingga membuat bibirnya yang berwarna merah muda terlihat kontras.

"Halo"

Ia menyapaku dengan tersenyum, matanya semakin menyipit ketika bibirnya tertarik ke samping.

"Kau siapa?"

"Tentu saja aku dokter, kakakmu menjemputku untuk mengobatimu"

Kudengar suara pintu terbuka, aku melihat Stefan yang sedang membawa nampan berisikan mangkuk dan segelas air. Kakakku tersenyum sumringah, setelah menyimpan nampan itu, ia memelukku dengan erat. Membuat kepalaku sedikit pusing kembali.

"Jangan terlalu bersemangat, keadaanku belum pulih seutuhnya"

"Maafkan aku, tapi sungguh aku sangat senang melihatmu membaik"

Untuk beberapa saat, aku melupakan dokter yang ada di sampingku. Tetapi Stefan segera mengalihkan pembicaraan. Ia memandang dokter itu.

"Kau benar-benar tak ingat dengannya Adrian?"

Aku mengangkat satu alisku, lalu melihat dokter itu dengan seksama. Sang dokter menaik turunkan alisnya seraya tersenyum. Tetapi aku masih tetap belum mengerti apa maksudnya. Dokter itu lalu mengambil sesuatu di dalam laciku. Ia menggenggam buku diary hitamku. Senyumnya semakin melebar, tapi tetap saja aku tidak mengerti. Dokter itu tak kehabisan akal, ia memperlihatkan name tagnya padaku. T H O M A S, aku mengejanya dengan susah payah. Namanya Thomas, Thomas!

"Kau?"

Thomas mengangguk dengan senang. Ia mengusap rambutku dengan lembut.

"Senang bisa bertemu denganmu lagi"

STEFAN P.O.V

Lelaki itu melambaikan tangannya di dalam mobil. Aku membalas lambaian tangannya ketika ia pergi dari hadapanku. Langit sudah sangat gelap ketika aku menatapnya. Bulan mengintip di balik awan. Sinarnya terlihat redup malam ini. Aku kembali berjalan masuk ke rumah.

Ketika aku sudah memasuki kamarku, aku melihat adikku tertidur dengan pulas. Nafasnya naik turun dengan perlahan dan teratur. Aku menyunggingkan senyum. Ketika tidur, wajahnya dua kali lipat lebih manis dari biasanya. Aku menghampirinya dan berbaring di sampingnya. Aku memasukkan kakiku ke balik selimut. Ketika melihat wajahnya dari dekat, hatiku berdebar dengan kencang. Rasanya ada sesuatu hal yang terjadi denganku. Degup jantungku berderap dengan kencang dan tanpa disadari, bibirku sudah bertemu dengannya. Aku menciumnya dengan lembut. Ada hal aneh yang kurasakan. Perasaanku seperti ketika aku bermesraan dengan Darren. Apakah aku jatuh cinta pada adikku sendiri?

Adrian melengguh, lalu ia membuka matanyanya dengan perlahan. Senyum manis ia berikan padaku. Hatiku semakin tidak karuan, rasanya jantungku seperti ingin meledak.

"Kau sudah kembali, kenapa kau bisa menemukan Thomas?"

"Hanya kebetulan. Saat pergi ke klinik terdekat, dokter yang ada ternyata Thomas. Tadi dia bercerita kepadaku bahwa ia kembali kesini satu bulan yang lalu. Kenapa bisa seperti itu ya? Kau senang tidak?"

Adrian mengangguk, ia lalu melingkarkan tangannya ke lenganku.

"Aku senang bisa bertemu dengan teman pertamaku lagi. Rasanya seperti kembali ke masa lalu. Dulu ayah memukulku hingga berdarah, dan Thomaslah yang menolongku. Thomas yang selalu ada untukku saat itu. Sekarang pun ketika ayah kembali memukulku, dia yang mengobatiku. Aneh ya"

Adrian tertawa lemah, sesaat kemudian ia terbatuk. Dengan sigap aku mengambil gelas dan memberikan kepadanya.

"Terima kasih" ujarnya.

"Sekarang sebaiknya kau tidur lagi, demammu harus segera sembuh. Bukannya kita akan pergi liburan bersama?"

"Ya, aku ingin sekali liburan."

"Setelah panasmu reda, aku akan mengajakmu berlibur. Kita ajak juga teman-temanku, Evan juga boleh ikut"

Adrian kembali memberikan senyum manisnya padaku.

Ku tarik selimut hingga menutupi badan. Aku memeluknya, membiarkan panas dari demam ditubuhnya mengalir ke tubuhku. Aku rasa, aku memang benar-benar telah jatuh cinta pada adikku sendiri dan ini gila.

Winter SadnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang