Chapter 7

3.2K 177 0
                                    

Evan berlari sambil membawa dua permen kapas di tangannya. Ia menghampiri dan memberikan satu permen kapas itu kepadaku. Aku tersenyum dan berterima kasih padanya. Matahari sudah tak seterik beberapa jam yang lalu, kini awan-awan mulai menyelimutinya hingga matahari terlihat seperti balita yang bersembunyi dibalik tirai.

Air sungai di hadapanku mengalir dengan tenang. Burung-burung flaminggo berwarna merah muda bergerombol. Memasukkan paruhnya kedalam air untuk mencari ikan-ikan kecil santapan siangnya.

Evan merangkul diriku, mengusap kepalaku dengan lembut seperti biasanya. Membuat rona merah muda di pipiku semakin terlihat.

"Wajahmu memerah seperti burung-burung itu"

Celetuknya sambil mencolek daguku. Dasar Evan, bisanya hanya menggodaku saja.

"Sudahlah Evan, jangan menggodaku"

Ia tertawa sambil terus mengeratkan rangkulannya dan membawa kepalaku untuk bersandar di bahunya. Semilir angin menyibakkan rambut kami berdua. Permen kapas itu sudah setengahnya habis dalam genggamanku. Aku menikmati hari ini. Sembuh dari penyakitku dan di hari pertama kembali ke rumah mendapatkan perlakuan spesial dari orang yang aku cintai.

Sebuah dengkuran kecil kudengar di samping telingaku. Aku terkikik geli saat melihat wajah terlelap Evan di sampingku. Sepertinya ia terlalu menikmati semilir angin yang menghembus wajahnya sehingga ia tertidur. Matanya tertutup dengan indah, bibirnya yang merah merekah sedikit terbuka. Entah kenapa ketika aku melihat bibirnya, hasratku untuk menciumnya semakin menggebu. Tapi kutepis hasrat itu dan kembali fokus. Aku menghembuskan nafasku, mencoba untuk tenang. Namun bibirnya itu tak bisa kutepis dalam benak. Aku kembali memperhatikan bibirnya yang terbuka. Nafsu itu telah mengalahkanku, aku mendekatkan diriku untuk menciumnya. Hanya ingin menyentuhnya dengan bibirku, setelah itu selesai dan dia tak akan mengetahuinya.

"Mencoba untuk mencium bibirku ya?"

Matanya masih terpejam, ia tersenyum jahil. Jantungku seperti hendak lepas dari tempatnya. Evan tertawa kecil lalu membuka matanya.

"Kau mau menciumku? Sayangnya kau ketahuan. Lain kali kau harus bergerak lebih cepat Adrian "

Wajahku memanas. Entah karena malu atau marah karena dia telah menjahiliku tadi. Aku membalikkan badan, mencoba untuk menyembunyikan wajahku dari pandangannya. Ia masih tertawa, tapi beberapa saat kemudian ia memelukku dan tawanya terhenti. Ia meniup telingaku, dan itu cukup membuat diriku bergidik geli.

"Aku mencintaimu Adrian, maukah kau menjadi kekasihku? "

Ucapannya itu samar kudengar karena tertimpa suara angin. Dengan cepat aku membalikkan tubuhku dan menatapnya. Ia tersenyum lebar sampai-sampai matanya tertutup.

"Aa.. apaa.. yang kau katakan Evan? "

Ia menciumku dengan cepat, bibirnya yang lembut bersentuhan sepersekian detik dengan bibirku tadi. Ia berdiri sambil menggenggam tanganku.

"Ayo kita pergi dari sini, aku ingin mengajakmu ketempat pertama kita bertemu "

Ia menuntunku menuju mobilnya.

*****

Jeritan anak kecil terdengar nyaring di sekelilingku. Mereka berlarian sambil memegang permen lolipop yang jauh lebih besar dari telapak tangan mereka. Jari-jari mungil mereka menunjuk beberapa wahana yang sedang beroprasi saat itu. Kalian tahu? Saat ini aku sedang berada di atas punggung Evan. Ia memaksaku untuk berada di atas gendongannya. Aku merasa malu karena semenjak aku berada dalam gendongannya beberapa orang melirikku dengan heran. Aku seperti bayi besar yang sedang diasuh oleh ayahnya.

Winter SadnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang