Chapter 22

2.1K 134 5
                                    

Stefan P.O.V

Satu malam penuh, aku tidak bisa tertidur. Setiap beberapa jam sekali aku pasti terjaga dan melihat keadaan Adrian di ranjangnya. Padahal Adrian baik-baik saja, bahkan panasnya menurun. Tapi kekhawatiranku tak pernah lepas. Alhasil, saat terbagun di pagi hari wajahku sangat berantakan. Kantung mataku terlihat menghitam dan membesar.

Aku terbangun ketika Adrian masih tertidur pulas di ranjangnya. Aku pergi meninggalkannya, menuju kamar mandi untuk menggosok gigi dan mencuci wajahku. Saat melewati dapur, aku melihat ibu sedang memasak.

"Bagaimana keadaan adikmu? Membaik?" Tanya ibu menghampiriku.

Menahanku sebelum masuk ke kamar mandi.

"panasnya sudah menurun, obatnya berfungsi dengan baik. Tenang saja. Ibu masak apa?"

"Sup jagung, untuk Adrian. Lihatlah wajahmu, kau pasti lelah sekali. Semalam kau tidak tidur?"

ibu menangkupkan kedua lengannya di wajahku.

"Tidur, hanya saja aku banyak terjaga untuk mengecek keadaan Adrian."

"Tapi kau tak merasa pusing kan?"

Aku menggeleng, lalu ibu membiarkanku pergi ke kamar mandi.

Selama lima menit, suara gesekan antara sikat gigi dengan gigikulah yang terdengar. Seperti senandung yang berirama. Membuat telingaku merasa tenang beberapa saat. Setelah itu aku membasuh wajahku dengan air dingin agar terasa segar kembali.

Suara nyaring tiba-tiba terdengar di luar. Ayah lagi-lagi berteriak-teriak marah entah kenapa. Karena takut sasarannya Adrian lagi, aku cepat-cepat keluar dari kamar mandi. Namun ternyata ayah sedang berbicara bersama seseorang di telfonnya. Di depan pintu kamar mandi aku terdiam, mendengarkan perbincangan ayah. Ayah berbicara mengenai bisnis, terdengar dari kata-kata yang ia ucapkan. Setelah suara meningginya kembali ia keluarkan, tiba-tiba ayah memegang dadanya. Ponsel terjatuh ke lantai, dan aku melihat ayahku ambruk.

Aku berlari menghampirinya. Wajah ayah memerah seperti kesulitan bernafas. Dari arah dapur ibuku berteriak-teriak khawatir. Aku segera menelfon ambulance untuk menolong ayah.

*****

Dokter bilang, penyakit jantung yang diderita ayah kembali kambuh. Ayah memang memiliki riwayat penyakit jantung, dan sekarang ia sedang tergolek tak berdaya di ranjangnya. Setelah mengurusi biaya administrasi dan yang lainnya, aku izin pamit pada ibu untuk pulang ke rumah karena Adrian juga masih harus ada dalam pengawasan.

Setibanya di rumah, aku melihat mobil Thomas terparkir di garasi. Sepertinya ia sudah datang kembali untuk mengecek keadaan Adrian. Ketika dilihat ternyata benar saja, Thomas sedang berada di kamar Adrian. Menyuapinya dengan sup jagung buatan ibuku. Dokter itu tersenyum ketika melihatku. Berbeda dengan adrian yang menatapku dengan penuh kecemasan.

"Bagaimana dengan ayah? Apakah ia baik-baik saja?"

"Tenang saja, ayah sudah ditangani oleh dokter. Bagaimana keadaanmu?"

Aku mengelus puncak rambutnya.

"Membaik, Thomas baru saja memberikanku obat lagi. Kau sudah makan?"

Aku menggelengkan kepala.

"Sebaiknya kau makan, jangan sampai penyakit maag mu kambuh nanti Stef"

"Iya, nanti aku akan makan. Thomas, bisa kita berbicara di luar setelah kau selesai menyuapi adikku?"

"Ya tentu"

Aku berpamitan pada mereka berdua dan menunggu Thomas di ruang tamu.

Tak menunggu lama, sepuluh menit setelah aku berpaminatan dengannya di kamar tadi, ia menghampiriku. Jas putihnya ia bawa sedangkan stetoskopnya ia biarkan menggantung di leher. Thomas duduk di sampingku, bertanya mengapa aku menyuruhnya untuk datang padaku.

"Aku hanya ingin tahu kondisi adikku saja"

"Adrian membaik, panasnya sudah kembali normal. Lebam dan bilur-bilur di tubuhnya sudah mulai terlihat membaik. Tidak usah khawatir, lima atau tujuh hari lagi ia akan kembali seperti biasa. Atau bahkan mungkin tiga hari dari sekarang ia akan membaik. Adrian sudah jauh lebih kuat dari yang dulu."

"Syukurlah"

"Oh iya, aku dengar ayahmu masuk ke rumah sakit pagi ini?"

"Penyakit jantungnya kembali kambuh"

"Untung saja kau cekatan segera menelfon ambulance."

Ia menepuk bahuku, menenangkan.

"Terkadang tuhan memberikan sebuah cobaan sebelum memberikan kebahagiaan." Ujarnya.

Author P.O.V

Mata itu masih menikmati cakrawala siang ini dengan teriknya sinar mentari. Mengamati hiruk pikuk kota yang sibuk diatas balkon kamarnya. Jika dilihat, wajahnya tanpa ekspresi. Seperti tenang, namun pada kenyataannya ia merasa gundah. Sudah beberapa hari ini ia tak berkomunikasi dengan pujaan hatinya. Kemarin, ia tiba-tiba merasa khawatir dengan kekasihnya Adrian. Wajah sang kekasih terus terbayang dalam benaknya.

Sudah beberapa kali ia mencoba menelfonnya, namun ponsel sang kekasih selalu tidak aktif dan itu membuat dirinya semakin gundah.

"Masih memikirkannya?"

Kakaknya Harold berdiri di samping Evan. Menatap wajah adiknya yang memandang lurus kedepan,

"Aku semakin khawatir padanya, ia tak pernah menghubungiku lagi. Aku takut sesuatu terjadi padanya."

Harold merangkul Evan. Menepuk-nepuk pundak adik satu-satunya yang ia sayangi.

"Aku mengerti, kusarankan kau untuk pergi menemuinya."

"Tapi, urusanku disini kan belum selesai. Pekerjaanku masih menumpuk. Kau pun baru saja pulang dari perjalanan bisnismu."

"Sebagai kakak yang baik, aku akan mengatasi semuanya. Pergilah"

"Kau yakin?" Evan meyakinkan, "Tapi kau pasti kelelahan Harold"

"Tenang saja, aku ada disini untuk menemani kakakmu."

Seorang perempuan berbicara dibalik pintu. Rambutnya cokelat karamel, bibirnya dilapisi lipstick merah tua dan perempuan itu menyunggingkan senyum.

"Liana? Sudah lama tak bertemu"

Perempuan itu membuka kedua lengannya. Memberikan kode agar Evan bebas memeluknya. Satu dekapan Evan berikan untuk tunangan kakaknya itu. Liana yang bertubuh kecil menjadi tak terlihat ketika Evan memeluknya.

"Senang bertemu lagi denganmu. Kakakmu bilang, sekarang kau punya kekasih pria yang manis. Apa itu benar?"

Rona merah di wajah Evan membuatnya semakin malu. Liana terkekeh, lalu menepuk pundak Evan sama seperti yang dilakukan Harold.

"Pergilah dan temui ia. Kau pasti merindukannya"

"Baik kalau begitu, aku akan berkemas. Terima kasih Harold, Liana, kalian memang kakak yang baik."

Harold kembali memberikan pelukan pada adiknya.

Dengan semangat, Evan membereskan barang-barangnya. Ia mengemas beberapa pakaian yang akan ia kenakan selama dalam perjalanan dan ketika sampai disana. Dalam hatinya ia bertanya-tanya bagaimana ayah dan ibu Adrian. Apakah mereka orang yang baik dan akan menerima dirinya. Lebih lagi, ketika ia mengingat kembali wajah kekasihnya. Semangat dalam dirinya semakin menggebu.

Selesai dengan tas dan segala persiapannya, ia berpamitan. Kakaknya Harold memberikan beberapa uang untuk perbekalannya. Liana memberikan kecupan perpisahan di pipi Evan. Semenjak itu senyum tak pernah lepas dari wajahnya.

Winter SadnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang