Keranjang 2

5.8K 364 41
                                    

Discreet Diary


Sabtu, 26 Juli 2008

Namanya Erik. Aku tahu namanya dari tanda nama yang tersemat di seragamnya: Erik Julian S. Aku belum tahu “S” itu singkatan dari apa, tapi yang penting aku sudah tahu bagaimana harus memanggilnya. Erik. Nama yang modern, kota banget. Cocok dengan sosoknya.

Pertama kali aku melihatnya adalah di waktu upacara penerimaan siswa baru. Sejak pertama melihatnya, aku sudah terpukau. Hehe.... Dia bikin aku sulit untuk memalingkan pandanganku ke yang lain. Wajahnya agak tirus. Hidung nggak mancung, tapi juga nggak pesek. Matanya punya sorot yang cerah, sepertinya menandakan dia orang yang selalu optimis dan berpikir positif. Itu dugaanku saja, sih. Dia cakep, tapi sangat jauh dari kesan metroseksual. Dia cakep natural, bukan menor.

Di upacara penerimaan siswa hari itu, seperti peserta upacara lainnya, dia terlihat keringatan karena kepanasan. Itu membuat kulitnya yang cerah tampak berkilat-kilat di bawah sinar matahari. Seperti malaikat. Seksi!

Secara fisik, dia mewakili sosok ideal yang selama ini kuidamkan: atletis, tapi nggak terlalu kekar juga. Bagaimanapun aku bukan penggemar binaragawan yang lengannya lebih besar dari leher orang sakit gondok. Aku suka postur seperti Erik itu, ramping tapi berisi. Aku membayangkan, seandainya aku ingin memeluknya maka kedua tanganku pasti akan cukup untuk melingkari tubuhnya. Misalkan dia yang memelukku, aku juga nggak akan sesak napas. Tapi mungkin aku tetap akan pingsan dan langsung mimpi indah.

Ada pesona lain darinya: rambutnya selalu disisir jigrak agak acak. Pasti dia nggak naik motor ke sekolah, soalnya nggak mungkin rambutnya bisa seperti itu kalau dia selalu pakai helm. Melihat kulitnya yang bersih cerah, sepertinya juga nggak mungkin kalau dia jalan kaki di bawah panas matahari. Atau, mungkin dia berangkat dan pulang sekolah jalan kaki, tapi pakai payung? Ah, itu juga nggak mungkin. Centil amat anak cowok panas-panas payungan?

Dia pasti ke sekolah naik mobil. Entah mobil pribadi atau angkot. Tapi, aku pernah berpapasan jalan dengannya, dan... ehmm, baunya wangi segar. Agak mustahil kalau dia naik angkot tiap hari tanpa membikin badannya jadi kucal dan bau asam. Andai aku dikasih bajunya saat itu juga, akan kusimpan di lemari tanpa pernah mencucinya lagi. Tapi, jadinya dia pulang nggak pakai baju, dong? Jangan, ah. Nanti kayak boyband Korea, yang suka buka baju hanya demi diteriakin cewek. Erik nggak boleh gitu. Cakep itu akan jadi membosankan kalau terlalu narsis. Menurutku, sih.

Aku benar-benar nggak salah masuk SMA ini. Cuma ada sedikit sialnya juga: aku nggak sekelas dengannya. Andai saja sekelas, pasti aku bisa dengan mudah kenalan dengannya. Sedih aku.

Tapi, setelah kupikir-pikir, ah, cuma beda kelas. Masih satu sekolah! Pasti tetap ada jalan untuk bisa kenalan. Malah anggap saja ini tantangan seru: bagaimanapun caranya aku harus bisa kenalan dengannya!

Erik. Dia membuatku jadi lebih bersemangat ke sekolah. Sekolah itu nggak melulu harus soal pelajaran. Kalau bisa dapat pacar di sekolah, asyik juga, 'kan? Haha, mimpi banget aku ini. Apalagi berharap bisa menggaet cowok setampan dia? Pasti aku harus bersaing ketat dengan cewek-cewek.

Tapi, siapa tahu? Siapa tahu Erik lebih suka cowok? Ahahaha!

Aku harus semangat!

Itu adalah salah satu catatan yang sering kubaca ulang. Itu menjadi istimewa karena merupakan ungkapan pertamaku, kesan pertamaku, tentang Erik yang kini sudah hampir setahun kukenal.

Sebelumnya aku sudah menulis diary, tapi nggak pernah sesemangat ketika sudah mengenal cowok berambut jabrik itu. Kehadirannya membuat hidupku lebih greget, lebih penuh rasa penasaran, dan lebih penuh perjuangan. Iya, perjuangan. Memangnya gampang bersaing dengan cewek-cewek caper yang juga ngejar Erik? Memangnya nggak butuh mental baja buat menghadapi akun-akun tonjok-able macam Rico Seratuspersen Cute dan Joni Selalu Bahagia?

COWOK RASA APELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang