Keranjang 10

3K 248 5
                                    


Aku yang Melankolis dan Jaim



Tengah malam aku terbangun. Seluruh bagian tubuhku rasanya gelisah. Tidur miring, tengkurap, nungging, rasanya nggak ada yang benar. Lalu aku kembali telentang saja, menghitung domba-domba imajiner di langit-langit agar aku bisa kembali mengantuk dan terpulas. Tapi domba-domba itu lenyap satu per satu dengan cepat, digantikan oleh ingatan tentang sore tadi yang memancar tak ubahnya sorot proyektor di pertunjukan bioskop, menerpa langit-langit putih di atasku.

Adegan itu seperti menjelma kembali di depan mataku. Kulihat diriku yang penuh semangat mengorek keranjang CD. Lalu aku menulis ucapan sebaik mungkin, menunggu bingkisan itu dibungkus, hingga menjadi sebuah kado yang tampak manis.

Aku ngebut di jalan, agar cepat sampai di rumah Erik. Di rumah bagus yang remang-remang itu aku sempat melihat makhluk menyerupai tuyul, hanya saja jauh lebih cute. Dengan suara cadelnya dia bilang padaku bahwa kakaknya sedang pergi merayakan ultah. Tapi tak lama kemudian Erik sudah datang. Lalu, terjadilah momen memalukan itu. Kado yang sudah kusiapkan hilang entah di mana. Yang tersisa hanyalah sebuah apel yang seharusnya untuk kumakan sendiri.

Aku tersenyum sedih menyaksikan kembali adegan itu. Dia tampak kikuk saat menerima apel dariku. Dia seperti sedang bingung untuk memutuskan: “Apel ini perlu kumakan atau tidak?”

Jika dia memakannya, berarti dia memaknai perasaanku. Dia mungkin gengsilah. Dia akan berikan saja apel itu kepada adiknya. Tapi adiknya menolak juga, karena sudah kenyang dengan pizza yang dibawakan dari pesta ultah.

Akhirnya, dia simpan apel itu di kulkas. Apel itu menjadi buah manis yang terlupakan hingga berhari-hari, sampai permukaan yang semula merah kencang menjadi mengerut, layu, tak segar lagi. Sungguh apel yang tak beruntung, menghabiskan sisa waktunya di kotak beku. Lalu dibuang.

Senyum Erik terulas, tampak masam dan canggung, serta terlihat seperti ada sorot pandang kasihan kepadaku. Sorot matanya seperti tengah berkata, “Mas, menyedihkan sekali kau ini.”

Ingin aku balas berkata padanya, “Memang beginilah adanya hatiku, Rik. Beginilah cinta yang kumiliki. Yang selama ini kulakukan hanyalah demi memperjuangkannya, meski itu tampak memalukan di mata orang lain. Sebab aku juga orang yang butuh dicintai—tak perlu kutampik kenyataan itu.”

Di satu sisi aku ingin sembunyi, di sisi yang lain aku ingin ditemukan. Kuketuk hatinya dengan banyak isyarat, sebab perasaan ini telanjur tumbuh dan menguat. Siapa yang mau memendam cinta selamanya?

Aku memang tak mengucapkan kalimat: “Aku cinta kamu.” Di satu sisi aku ragu untuk mengucapkannya, tapi di sisi lain aku percaya bahwa memang ada yang lebih kuat dari sekadar kata-kata. Sekarang aku pun yakin bahwa sesungguhnya dia tahu semua isyarat itu. Dia tahu aku mencintainya. Tapi rupanya, baginya lebih baik jika aku dilupakan saja. Maka, lebih baik juga bagiku untuk mundur.

Akhirnya, kuanggap cinta ini bukan lagi sulit. Cinta ini mustahil!

Sejujurnya, aku sungguh berharap dia masih Erik yang dulu, yang tetap ramah dan mau berteman denganku meski tak berkenan terhadap perasaanku. Bukan yang diam-diam menyingkirkanku, hanya karena takut aku akan merusak hari ulang tahunnya. Aku berharap dia tak berpikir bahwa aku akan memaksa untuk diterima. Ya, sudah pasti aku sedih kalau ditolak. Sekarang pun aku sedih ketika harus mundur tanpa menunggu ditolak. Tapi tak mungkin aku tak melanjutkan hidupku. Kuharap dia tahu itu.

Sudah, aku tak mau terus terseret oleh ingatan itu. Kuangkat punggungku dari kasur, kuraih gitar, memainkan lagu apa pun yang terlintas di benakku.

“Lascia ch'io pianga, mia cruda sorte....”

Tak kuselesaikan lagu ciptaan Handel itu. Terlalu mellow. Lagu sedih hanya akan membuat kesedihan semakin menyedihkan. Yang kulakukan seharusnya adalah melupakan kesedihan ini. Jika tak bisa untuk selamanya, setidaknya untuk sejenak saja. Harus!

Kutaruh lagi gitarku, lalu merebahkan diri kembali. Dan tak perlu menatap langit-langit.

Tapi, terasa seperti ada dorongan yang merambat lembut dalam diriku, awalnya pelan tapi kemudian kian menggugah, menggerakkanku untuk menengok ke samping. Untuk memandangi seseorang di sampingku. Denis.

Dia sedang tidur pulas. Kuamati lebih lekat; wajahnya memang mirip denganku, tapi... rautnya tampak lebih lepas. Tidurnya juga tampak sangat nyenyak, seperti tak ada kisah-kisah yang harus menjadi beban di dalam tidurnya, yang membuatnya harus terbangun tengah malam untuk melamun dan bermain gitar sendirian. Seolah-olah, hari-hari yang selama ini dijalaninya lebih bahagia dariku.

Dia menjadi seperti cermin bagiku. Bukan untuk menunjukkan seperti apa hidupku, melainkan seperti apa hidup yang kuinginkan. Yaitu seperti hidupnya. Bahagia. Aku nggak tahu dia juga gay atau bukan, tapi aku ingin hidup yang damai seperti hidupnya. Denis yang usil. Denis yang nggak rapi. Denis yang tak mengembalikan barang ke tempat semula. Denis yang sejak kecil dipisahkan dari keluarga ini, tapi dia menjalaninya dengan tegar. Dia yang menjahiliku, dan aku balas menjahilinya, tapi setelah itu dia tetap tidur di sebelahku.

Tiba-tiba aku sadar, betapa banyak waktuku yang telah hilang, yang seharusnya bisa kulewatkan bersama seorang saudara seperti Denis. Betapa banyak waktu yang hilang, yang seharusnya menjadi milik kami untuk tumbuh bersama-sama. Aku hampir tak tahu bagaimana rasanya memiliki saudara, padahal aku memilikinya.

Aku tak ingin mencatat itu salah siapa. Sebab, andai kami tak pernah dipisahkan, mungkin aku juga tak akan pernah tiba pada perasaan ini: bahwa sebenarnya aku beruntung memiliki saudara seperti dirinya.

Setidaknya, di malam yang menggelisahkan ini, aku tak meringkuk seorang diri di sini. Dan, oh, perasaanku perlahan mulai membaik juga dengan sendirinya.

Kurasa aku bisa melanjutkan tidur dengan nyenyak.


***


Cicit suara burung di luar kamar terdengar riuh. Sesekali kokok ayam menyahut. Udara pagi dingin dan kusut. Aku mendekam di balik selimut.

Denis menggeliat. “Guling lu ke mana, sih?”

“Hehh...? Ada ini,” aku balas menggumam. Sama-sama baru setengah sadar.

“Terus ngapain meluk-meluk gue...?”

“Siapa yang meluk?”

“Ya lu. Siapa lagi yang di sini?”

“Ge'er amat. Nggak ada yang meluk,” bantahku sambil merapat ke guling. “Cuma nggak sengaja mepet. Semalam dingin.”

“Dingin ya dingin, tapi nggak pakai pelukan segala kali.”

“Dibilangin! Aku punya guling sendiri, nih! Ngapain peluk-peluk kamu?”

“Lu aja yang nggak ngaku.”

Dia membuatku kesal. Kutimpakan saja gulingku ke mukanya. Buk!

Buk! Denis membalasku dengan bantal.

“Aargghh...!” Aku bangkit menggulat saudara kembarku yang kege'eran banget ini.

Baru bangun tidur, kami sudah berantem di atas kasur seperti dua anak kucing berkelahi. Kami terguling, dan.... Brukkk! Sukses mendarat di ubin berdua.



Bersambung....

COWOK RASA APELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang