Keranjang 26

3.2K 249 39
                                    


Apel Untuk Monyet


Kami tiba di objek wisata terakhir: Sangeh. Sebelum turun dari bus, panitia terlebih dahulu membagikan makan siang kardusan. Sebagian peserta langsung makan di dalam bus. Tapi aku pilih makan di luar saja, sekalian menghirup udara segar.

Saat kubuka kardus makan siangku, aku sempat melongo. Ada Sate Lilit lagi, dan juga ada... apel. Hmmm. Langsung ingat si rambut duri. Ah, biarin.

"Langsung mau makan sekarang?" tukas Ben.

"Sudah lapar," sahutku.

"Aku malah masih kenyang. Aku duluan masuk, ya?"

"Oke. Nanti aku nyusul, Bro."

Ben mendahuluiku masuk ke lokasi objek utama, sebuah hutan yang konon dihuni ratusan monyet. Aku masih di sini untuk menyelesaikan makanku. Kulahap makan siangku sampai habis, kecuali apel merah tadi—kusimpan di saku jaket untuk kumakan nanti saja.

Selesai makan, aku bergegas menyusul masuk ke hutan Sangeh. Selama di perjalanan tadi Mas Awan sudah memberi penjelasan, bahwa untuk masuk ke hutan Sangeh sebaiknya jangan membawa barang-barang penting yang gampang diserobot. Ponsel, kamera saku, kalung dan benda-benda semacamnya, sebaiknya ditinggal saja di bus. Kalau memang merasa perlu membawanya, harus dijaga ekstraketat. Soalnya monyet-monyet di Sangeh terkenal jahil, suka menyerobot barang milik turis.

Sebetulnya aku ingin berfoto dengan monyet-monyet itu untuk kenang-kenangan, sebab bagaimanapun makhluk-makhluk itulah daya tarik utama di sini. Tapi daripada kameraku hilang diserobot, lebih baik tak kubawa. Aku cuma bawa ponsel yang kusimpan di kantong jaketku bagian dalam dan kujaga dengan waspada. Kalau ada situasi yang memungkinkan untuk mengambil foto, aku bisa memakai kamera ponselku.

Setelah masuk, kulihat sendiri bahwa hutan Sangeh ini beneran gokil! Aku langsung disambut pemandangan monyet-monyet yang berseliweran di mana-mana. Meskipun lucu-lucu, rasanya bikin bergidik juga. Apalagi di dalam hutan yang rimbun remang-remang ini juga terdapat beberapa pura tua yang penampilannya amat creepy! Batu-batunya berlumut, aroma dupanya bercampur bau humus, dan... ya, monyet-monyet itu bertindak bak penjaga pura.

Aku jadi ingat film Passage to India. Itu film lama, dan menurutku tak tergolong selera anak muda, tapi waktu Papa meminjamnya dari DVD rental aku ikut menontonnya di rumah. Di film itu ada sebuah adegan berlokasi di sebuah kuil tua yang sudah rusak dan angker, dan monyet-monyet liar menjaga tempat itu secara agresif. Rupanya tempat seperti itu tak hanya ada dalam film. Suasana yang kutangkap di hutan Sangeh ini kurang lebih sama. Seram!

Aku masuk semakin ke dalam. Sambil menikmati pemandangan monyet-monyet yang sering bertingkah lucu, aku mencari Ben yang tadi jalan duluan. Pengunjung terlihat cukup banyak, tapi di antara teman-temanku aku belum juga menemukan Ben.

Ada rasa menyesal juga, sih. Seharusnya aku tadi tak mendahulukan urusan perut. Mungkin bisa juga aku menuntut balik kepada Ben: kenapa dia tak menunggu sebentar saja sampai aku selesai makan, dengan begitu kami bisa masuk kemari berbarengan, tak perlu cari-mencari seperti sekarang. Tapi ya sudahlah. Kurasa kami sama-sama sedang memulai pertemanan, dan masih luput dalam beberapa hal. Wajar.

Aku melepas lelah di sebuah bangku panjang yang agak berlumut. Sambil duduk-duduk, kuhayati suasana hutan ini. Menurut penjelasan Mas Awan, hutan Sangeh didominasi pohon pala. Udara sejuk, tetapi aroma pepohonan terasa hangat, spicy, menjadikan hawa di tempat ini terasa unik. Dan di sini aku hampir tak bisa lagi membedakan antara suara burung dan suara monyet. Suara mereka bergema dan menyelinap di antara gemerisik daun-daun. Aku mencoba menyatu. Rasanya sangat me-nenangkan.

COWOK RASA APELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang