Keranjang 14

2.6K 243 17
                                    


Keluh Kesah


Kita tak pernah mengundang kabar buruk untuk datang ke dalam hidup kita. Tapi ia bisa datang kapan saja secara tak terduga. Dan, sayangnya, beberapa dari hal buruk yang terjadi itu kadang sulit dimaklumi. Itu seperti yang sedang kualami sekarang.

Aku menangkap basah saat Denis membuka catatan harianku. Dia membaca semua tentang diriku. Rahasia-rahasia penting yang kusembunyikan selama ini pun menjadi bukan lagi rahasia. Dia tahu aku gay, dia tahu aku menyukai Erik, dan dia tahu bagaimana hari-hari yang kujalani dengan perasaan ini. Dia bukan mengintip, tapi menerabas!

Apa yang ada di pikirannya saat melakukan kelancangan itu? Supaya bisa lebih mengerti aku, begitu? Aku tak ingin dimengerti dengan cara seperti itu. Tapi karena dia sudah melakukannya, aku pun tak peduli lagi alasan yang dia miliki. Aku sudah kecewa. Aku sudah muak.

Sejak semula aku sudah waswas atas kedatangannya di rumah ini. Apalagi aku harus berbagi kamar dengannya. Tapi kuakui, sikapnya yang terkesan easy going dan simpatik telah berhasil meluluhkanku. Mengecohku. Melenyapkan semua prasangkaku. Aku tahu dia akan selalu usil, tapi aku tak mengira dia sanggup berbuat lebih jauh dari yang kupikirkan. Aku menyesal pernah bersimpati padanya. Aku menyesal pernah menganggapnya sosok yang dekat padaku ketika aku merasa kesepian. Dia hanya memanfaatkan kelemahan dan kelengahanku.

Sekarang, buah dari kelengahan itu membawaku menuju pada sesuatu yang lebih merisaukan. Situasi ini adalah: Denis telah menyiapkan hitungan mundur untuk sebuah ledakan di mulut Papa dan Mama: "Dimas, jadi kamu...?"—suara mereka tercekat dan wajah mereka begitu kecewa. Lalu akan ada penghakiman. Hidupku, keluarga ini, tak akan pernah sama lagi.

Ataukah aku saja yang terlalu takut? Apakah seharusnya aku tidak perlu takut? Adakah orang tua yang senang mengetahui anaknya seorang gay? Kalaupun ada, jaminan apa untukku bahwa Papa dan Mama termasuk di antaranya—orang tua yang sudi menerima bahwa anak mereka gay?

Memang, mungkin mustahil juga untuk menyembunyikan rahasia ini selamanya. Tapi, ini bukan berarti harus dibuka sekarang. Aku menyayangi Papa dan Mama, aku tak mau kehilangan mereka. Kalaupun tak bisa dihindari, aku berharap itu terjadi di saat aku betul-betul telah kuat untuk kehilangan mereka—kehilangan senyum mereka, kehangatan mereka, tangan terbuka mereka. Bukan sekarang. Kapan, aku juga tak tahu....

Aku tak pernah segundah ini. Rasa tak aman terasa amat menekan di dada. Aku merasa seperti anak kecil yang bersembunyi di kolong meja di pojokan, mendekap diri erat, berharap tak pernah ada kesalahan yang kubuat, dan siapa pun yang akan menyakitiku tak akan pernah menemukanku. Aku sendirian bersama rahasiaku. Rahasia yang akhirnya mulai terkelupas.

Jika ini terjadi padamu, apa yang akan kaulakukan?

Perlukah aku memohon kepada Denis, supaya dia menjaga apa yang telah dia "curi" dariku? Aku sungguh tidak yakin. Ibaratnya aku sedang ditelanjanginya. Kalaupun dia mau mengembalikan semua pakaianku, aku tetap sudah bukan Dimas yang dulu lagi. Dia sudah mencundangiku. Harga diriku sudah dilangkahi! Ingin rasanya memukuli dia sampai amarahku terasa impas. Tapi, di saat yang sama, aku betul-betul ingin memohon padanya. Pada akhirnya, aku tak bisa melakukan dua-duanya.

Kutatap langit-langit, berharap ada wajah Tuhan di sana untuk kutanyai.

Apakah kondisiku ini memang salah? Aku bingung, semua pilihan terasa berat bagiku. Semua orang ingin hidup bahagia, bukan? Aku pun begitu. Yang kutahu, inilah diriku, seperti inilah perasaanku.

Jika ini dosa, lalu mengapa Kau memberiku naluri ini? Atau, Kau memberiku naluri ini supaya aku bisa melawannya? Bukankah itu seperti Kau memberiku mata supaya aku mencungkilnya? Tidak masuk akal. Apakah aku hanyalah seekor kelinci percobaan?

Kau memberiku keadaan yang sulit ini, lalu Kau pun akan menarik orang-orang yang kusayangi dariku, satu demi satu?

"Dimas, kok tidur di sini?" Mama menengokku di ruang tengah.

"Nggak apa-apa. Tadi habis nonton teve," jawabku.

"Kok nggak pindah ke kamar sana? Nanti masuk angin, lho? Katanya besok mau berangkat piknik?"

"Sekalian tidur di sini saja. Biar besok pagi bisa cepat bangun."

Mama cuma mendehem. Lalu beranjak kembali ke kamarnya, meninggalkanku di sini. Kupandangi perginya Mama. Dia memang ibu yang judes, suka ngatur, ndoro putri, tapi pernahkah aku bilang bahwa dia tak menyayangiku? Pernahkah aku bilang bahwa aku tak menyayanginya? Apakah suatu saat aku harus merindukan perhatian dan kasih sayangnya, dalam keadaan hati terluka dan tertolak?

Takdir, kau memberiku pilihan. Dan dengan itu kau telah menyiksa batinku. Aku tak tahu pilihan mana yang kauharapkan untuk kupilih, tapi aku juga tak peduli lagi.

Aku ingin tetap menjadi apa adanya diriku. Karena pada akhirnya aku tak ingin disayangi ataupun diterima sebagai orang lain. Aku, adalah apa adanya aku!

Aku akan dihukum? Terserah.

Aku sungguh lelah memikirkannya.





Bersambung....



COWOK RASA APELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang