Keranjang 3

4K 336 59
                                    

Akhir Sebuah Semester


Pagi ini sekolah lebih ramai dari biasanya. Tak lain karena hari ini adalah hari pengumuman kenaikan kelas dan pengambilan rapor. Yang datang tak hanya murid-murid, tapi juga orang tua atau wali murid yang harus mengambilkan rapor. Di sepanjang serambi ruang-ruang kelas penuh dengan para murid yang sedang menunggu rapor mereka diambil. Ada wajah yang santai-santai saja, ada juga wajah yang tegang. Aku santai-santai tegang.

Kulihat Mama baru saja keluar dari ruang kelasku. Tangannya memegang rapor milikku. Wajah Mama agak angker.

“Gimana raporku, Ma?” sambutku harap-harap cemas.

“Nih! Jeblok!” tukas Mama sambil menepukkan rapor ke pipiku.

“Hah? Masa?” Kubuka raporku, dan kuamati nilai-nilaiku. “Iya, Matematika dan Fisika jeblok. Tapi yang lain bagus, kok!” Aku mengambil napas lega, lalu berseru girang, “Yang penting naik kelas!”

“Tapi kelas dua dapat jatah kelas IPS, tuh!” Mama menggerutu sambil jalan.

“Lho? Memangnya kenapa kalau IPS? Memang aku sendiri yang pilih buat masuk IPS, kok. Jangan pukul rata kalau IPS pasti lebih jelek dari IPA, Ma.”

“Kamu ini! Pukul rata gimana? Buktinya nilaimu jelek begitu!”

“Mama jadi berbelit-belit, tho! Yang jelek cuma nilai Fisika sama Matematika, itu juga nggak sampai merah. Niatku memang masuk IPS, kok. Kalau nilai Fisika jelek ya nggak masalah. Yang bagus itu masuk sesuai bidangnya, Ma!”

“Hih! Kebiasaan! Sukanya membalas kalau dibilangi orang tua!” tukas Mama sambil pasang muka cemberut. “Mama mau langsung pulang. Kamu masih mau di sini atau ikut pulang?”

“Nanti saja. Aku masih ingin kumpul dengan teman-teman. Besok sudah libur lama. Tiga minggu.”

“Ya sudah. Jangan sore-sore pulangnya!” pesan Mama sambil berlalu.

“Sip!” sahutku, melepas Mama pulang duluan.

Kumpul dengan teman-teman? Itu cuma alasan yang kucari-cari saja. Kalaupun akan libur tiga minggu, nanti masih ada piknik bareng ke Bali, kok. Dan nanti di kelas dua juga masih bisa melihat teman-temanku lagi, meski sebagian sudah beda kelas.

Kalau ada yang membuatku berat untuk berpisah, tentu saja adalah si cakep berambut jabrik itu. Tiga minggu tak melihat Erik itu pasti bakal terasa lama banget! Apalagi, dengar-dengar, dia pilih masuk ke kelas IPA. Kandaslah semua harapanku untuk bisa sekelas dengannya. Sedih aku....

Sambil duduk-duduk di serambi kelas, kuamati kelas tetangga. Kelas Erik. Kulihat dia sedang menyambut ayahnya yang baru saja keluar dari ruang kelas. Dia tampak antusias membuka rapornya. Dia tersenyum cerah, pertanda nilainya memuaskan—aku suka ekspresinya itu. Lalu ayahnya pergi duluan, sedangkan Erik masih tinggal. Sekarang dia sedang mengobrol dengan teman-temannya di serambi.

Kakiku sudah gatal untuk cepat-cepat menghampirinya. Tapi lebih baik aku menunggu sampai teman-temannya pergi, sebab aku rikuh kalau harus menyela di antara teman-temannya. Selain itu, tentu ngobrolku dengannya juga akan lebih asyik kalau dia sudah tak lagi membagi perhatiannya untuk yang lain.

Beberapa menit berlalu. Nah, kesempatan yang kunanti akhirnya tiba! Teman-teman Erik sudah pergi, sekarang dia duduk sendirian. Aku langsung meluncur!

“Dapat ranking nggak, Rik?” sapaku ketika mendarat di sebelahnya.

Dia menoleh padaku. Lalu cepat-cepat memalingkan mukanya lagi. “Ranking empat,” jawabnya kalem. Cool.

“Wah, bagus, dong!” sahutku. Kagum.

COWOK RASA APELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang