Keranjang 22

2.8K 225 17
                                    


Jamuan untuk Pecundang 



Aku diajak ke suatu tempat, di bagian yang lain dari hotel ini. Aku tiba di sebuah kamar tersendiri yang tampaknya berkelas khusus. Tidak mewah, tapi tersedia teras yang lebih longgar, lengkap dengan meja kursi dan penerangan dari lampu gantung antik.

Mas Awan menarikkan kursi untukku, "Duduk sini."

Aku duduk.

"Minum dulu, mumpung masih hangat," Mas Awan menawari sambil menuang teh dari poci yang sudah ada di meja saat kami tiba.

Secangkir teh hangat tak mungkin cukup untuk membuat masalah yang kualami jadi tuntas, tapi setidaknya bisa memberiku sedikit rasa baikan. Dan suasana di sini yang teduh sangat membantuku untuk lebih tenang.

"Saya tidak tahu masalahmu. Tapi setidaknya kita bisa mencegah supaya tak menjadi lebih buruk," kata Mas Awan.

Aku agak bingung mencerna maksudnya. "Maksud Mas, menjadi lebih buruk itu seperti apa?"

Dia tertawa pendek. "Kalau ada masalah yang berat, biasanya kita butuh keluarga atau kawan dekat. Tapi saat ini Adi sedang jauh dari rumah," jelasnya, masih semu.

Dia tak memanggilku dengan "bli" seperti sebelum-sebelumnya. Kali ini dia memakai "adi". Aku tak tahu perbedaannya, tapi kedengarannya lebih menuai. Terdengar seperti menyebut "adik".

"Maksud Mas, aku bakal nekat, gitu?" tanyaku, mengklarifikasi maksudnya. Aku tertawa tersengal. "Aku nggak akan bunuh diri, kok...."

"Oi, saya tak berpikir seburuk itu juga," Mas Awan cepat-cepat menyanggah. "Maksud saya, orang yang lagi kena masalah itu, kalau tidak dibantu, kadang bisa melakukan pelampiasan yang cuma memperparah keadaan. Mengamuk, merusak, atau pergi tanpa tujuan. Seperti itulah. Memang ada juga yang sampai bunuh diri, tapi saya percaya Adi tidak akan begitu."

Kami bertatapan beberapa detik. Dia tersenyum. Aku membalas, menarik kedua ujung bibirku sedikit naik ke samping—agak berat dan terpaksa, tapi aku masih bisa.

Terima kasih, Mas Awan, untuk simpatimu.

"Kemarin kita sudah berkenalan, tapi seingatku Mas belum sempat tahu namaku," singgungku.

"Betul. Adi yang menemukan ponsel saya. Terima kasih, ya," sahutnya dengan senyum hangat, berterima kasih lagi.

"Namaku Dimas," sebutku.

Mas Awan memanggut seraya mengulang pelan namaku untuk lebih mengingat. Sekarang perkenalan sudah lengkap, saling mengetahui nama satu sama lain, tidak sepihak.

Lalu terbersitlah sesuatu di pikiranku. Sebetulnya aku sungkan, sebab ini akan terasa agak lancang, tapi kali ini aku benar-benar sulit menahan rasa ingin tahu. "Mas, aku boleh bertanya?" dengan hati-hati aku minta izin.

"Soal apa?"

"Soal ponsel Mas itu," ucapku hati-hati. "Maaf, secara nggak sengaja aku sempat melihat foto di ponsel Mas Awan itu. Apakah yang ada di foto itu adalah orang yang istimewa buat Mas...?"

Mas Awan terlihat agak tertegun. Aku agak cemas menunggu jawabnya. Lalu, kulihat dia tertawa, tak bersuara.

"Iya, dia teman dekat. Kenapa?" jawabnya, sekaligus balas bertanya.

"Kalau aku nggak sopan, maaf, ya, Mas. Apakah dia... pacar Mas Awan?"

Mas Awan terdiam beberapa detik. Kemudian barulah dia tertawa berderai—kali ini bersuara. Dia tak terlihat mau marah. Aku lega. Tapi dia tampaknya perlu berpikir lagi. Matanya yang terkesan teduh itu tampak menerawang jauh.

COWOK RASA APELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang