Keranjangnya Denis

5.3K 298 45
                                    



Dimas itu 'kan anaknya suka lebai gitu. Kadang dia itu jaim, tapi kadang juga kege'eran. Kadang cerewet, kadang terlalu sentimentil. Nyebelin. Tapi kadang juga ngangenin. Dia kalau lagi baik ya baik. Tapi yang paling utama dari semua itu, dia itu saudara gue. Satu-satunya.

Sebagai adik, meskipun gue nggak terlalu rela menyandang status ini, gue akui Dimas itu pintar. Mungkin di banyak hal dia lebih pintar dari gue. Tapi yang paling bikin gue kagum, adalah cara dia me-renungkan segala macam hal yang dia temui. Pikirannya nggak kayak anak SMA. Sudah seperti anak kuliah gitu. Buat gue dia terlalu filosofis. Terutama cara dia memahami dirinya yang suka sesama jenis.

Anjrit! Gue kaget waktu baca diary dia! Ternyata dia lagi ngebet sama cowok, yang tak lain adalah si Erik yang rambutnya macam landak itu. Gue shock, ternyata saudara kembar gue homo. Mungkin gue nggak akan kaget seandainya sejak semula dia sudah kelihatan ngondek. Ternyata memang nggak semua gay itu ngondek.

Tapi, ya udahlah. Kayaknya dia sudah mantap tuh. Gue baca di diary dia, kayaknya dia sudah memikirkannya dengan matang. Apa bisa gue ngelarang? Bukan gue yang membesarkan dia. Dan gue juga nggak besar bersama dia. Terus tiba-tiba gue datang dan ngelarang-larang?

Yang bisa gue lakukan: mulai sekarang gue harus dampingi dia. Mungkin gue nggak bisa mengubah pilihan dia. Tapi gue bisa menemani dia, supaya dia menjalani pilihannya dengan lebih baik. Soalnya, kalau menurut gue, setiap pilihan hidup itu tujuannya adalah supaya pada akhirnya kita bisa bahagia. Jadi kalau dia memang yakin bisa bahagia dengan pilihan itu, ya gue support aja. Yang penting nggak nakal! Makanya gue perlu awasi dia!

Terus, kembali ke soal sifatnya yang suka lebai. Gue pengin tahu aja gimana reaksinya kalau tiba-tiba gue muncul lagi di depannya, padahal setahu dia gue udah pulang ke Medan. Kayaknya seru.

Mungkin dia akan teriak, "Denis, kenapa kamu pulang lagi?"

Gue akan jawab, "Demi lu, Mas."

Lalu dia pasti akan langsung menghambur ke gue, terus memeluk gue sambil sesenggukan.

Atau, mungkin malah nggak pakai basa-basi, dia langsung memeluk gue. "Denis, jangan pergi lagi...."

Atau, dia malah menuduh gue hantu. "Denis, kok kamu sudah di sini lagi? Pesawatmu kecelakaan? Kamu hantu...?" Ujung-ujungnya dia tetap nangis, karena nyangka gue udah mati.

Makanya gue bikin rencana sama Papa dan Mama, dan juga Mbok Marni. Kami sepakat nggak ngasih tahu Dimas kalau gue nggak jadi pulang ke Medan. Kami berkomplot mengerjai Dimas.

Tapi, sial! Pagi-pagi, gue masih enak-enak tidur, tiba-tiba ada yang reseh!

Buk...!

Kepala gue ditimpuk.

"Monyong, bangun!"

Gue bangun gelagapan, mengucek mata, dan melihat sosok yang belum begitu jelas tampangnya.

"Sudah sadar?"

"Oh, elu?" Sekarang baru jelas itu Dimas.

"Ngapain ngumpet di sini?! Mau ngerjain aku? Mau bikin kejutan? Makan nih kejutan!" Dimas ngomel sambil menggebukkan bantal lagi.

"Lu ngapain sih uring-uringan gini?! Gangguin orang tidur?"

"Kamu sendiri ngapain, pakai ngumpet di rumah Eyang segala?"

Lalu tiba-tiba dia menubruk, dan mulai menggelitiki pinggang.

"Aaahh! Reseh lu! Lepas!"

"Emoooh...!" Dimas makin reseh sambil cekikikan. Macam tuyul sajalah dia!

Gue kibas dia, lalu balas merajamnya dengan bantal sampai dia megap-megap, sampai bantal habis terpental ke lantai semua. Berhubung bantal habis, dia menyerang balik lagi. Gue pilih kabur!

"Jangan lari!" Dimas mengejar.

Bruukkk!

"Gusti Allah!" pekik Kakek yang tertabrak tanpa sengaja. Krak! Sangkar burung yang dibawa Kakek terlempar ke lantai. Dan, "Lha, lha, lha... manuk'e mabur, tho...!"

Kaburlah burung peliharaan Kakek.

"Maaf, Kek, nggak sengaja!"

Burung itu terbang berkitaran di ruang tengah. Kakek langsung menutup semua pintu dan jendela.

"Hayo, tanggung jawab! Tangkap lagi itu burungnya!" seru Kakek murka.

"Itu Dimas yang bikin gara-gara!"

"Weee, yang nabrak Eyang kamu, kok!" Dimas ngeles dan pasang tampang tak berdosa.

"Kalian berdua! Kalau burungnya gak ketangkap, tak gebuki kabeh!" Kakek naik pitam, mengambil pentungan pengganjal pintu.

"Iya, iya!"

Lepas dari kejaran Dimas, gue gantian berkejaran dengan burung di ruang tengah.

"Mas, bantuin dong, woi!"

"Kamu yang nabrak!"

"Lu yang usil duluan!"

"Lha kamu pakai ngumpet di sini!"

Bruaanggg...! Baskom kena serempet. Klontaanggg...! Asbak kena senggol.

"Gusti Allah...!"

"Dimas tuh, Kek!"

"Denis, Mbah!"

"Diaaam...! Tangkap burungnya!"

Sial! Buyar rencana gue!

Kok gue bisa ketahuan...?!



- Udah, gitu aja -




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 09, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

COWOK RASA APELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang