Keranjang 19

2.5K 370 17
                                    


Kabar dari Rumah



Aku tiduran di kamar hotel, menunggu panggilan yang dijanjikan Erik. Sendirian. Bambang entah ke mana. Mungkin dia lagi nongkrong di kamar atau ruangan lain dengan teman-temannya, atau mungkin jalan-jalan ke luar.

Sebetulnya aku juga tertarik untuk melihat seperti apa suasana kota di Bali malam hari. Entah, apakah Gianyar sama ramainya dengan Denpasar—yang dengar-dengar keramaiannya sebanding dengan Jakarta—ataukah tergolong kota menengah seperti Solo yang ramainya sedang-sedang saja. Ramai atau tidak, kurasa suasana malam di luar sana tetaplah akan menarik. Sebab bagaimanapun ini adalah Bali, orang-orang dari seluruh penjuru dunia menuju kemari!

Tapi, yang aku tidak siap adalah jika tiba-tiba Erik menelepon atau SMS bahwa dia sudah menunggu, dan aku masih kelayapan di luar sana. Aku betul-betul tak berani mengecewakannya lagi sedikit pun, mengingat pencapaian hubunganku dengannya sudah kuraih dengan susah payah.

Penantian ini juga membuatku tidak mungkin tidur. Tapi tubuhku juga terlalu letih untuk tidak rebah. Andai laptop kesayanganku kubawa, aku tentu bisa menemukan hal-hal kecil untuk kukerjakan sambil tiduran, agar penantian ini tidak membosankan.

Laptopku di rumah, kukunci di dalam lemari. Di acara piknik yang jauh dan berhari-hari, kupikir terlalu riskan membawa-bawa benda yang sensitif terhadap kerusakan. Jadi, di sinilah aku bersama waktu yang membosankan ini. Hal spesifik yang kulakukan selain berbaring, mungkin cuma beberapa waktu ketika telingaku menangkap suara sayup gamelan Bali yang entah dari mana sumbernya. Beberapa puluh menit mendengarkan musik yang kebetulan terdengar, itulah yang kulakukan—kalau itu memang bisa disebut sebagai "melakukan sesuatu".

Biarpun sayup-sayup, musik itu terdengar renyah dan gemerencang. Sesaat rancak, sesaat kemudian memelan. Dinamis sekali. Itu menghiburku, membuatku memejamkan mata dan mengulang kesan yang kuingat ketika sedang menonton Tari Barong di Batu Bulan. Lalu bayangan Erik pun muncul, dengan bibir bergincu dan kening berbintik, dan hiasan kepala dengan bunga-bunga yang entah apa jenisnya. Baru kemudian aku ingat bahwa ada rekaman yang kubuat. Tapi, setelah kulihat, ternyata tidak asyik menonton dari layar kamera yang sedemikian kecil. Kurang marem.

Ketika musik padam dari telinga, kurasakan kamarku betul-betul senyap. Beberapa saat kemudian barulah kusadari ada suara pelan yang begitu aneh, muncul dari arah yang aku belum yakin. Itu seperti suara perut yang lapar bercampur desisan. Aku bergidik waswas. Aku bangkit duduk di atas kasur dengan mata terpicing waspada. Punggungku menyentuh dinding, dan itu membuatku kaget sendiri.

Dalam kepalaku terbersit bayangan Rangda....

Crkkttt! Suara pintu yang tiba-tiba dibuka dari luar mengagetkanku! Bambang muncul masuk.

"Kok di kamar wae, Dim?" dia menyapa tanpa betul-betul memperhatikanku. Dia menyambar tas, lalu mengeruk sesuatu—kulihat itu sebungkus rokok.

"Kamu dengar suara itu?" tanyaku, sebelum dia meninggalkan kamar lagi.

Dia terhenti sejenak di tengah ruangan, menatap serius padaku. Lalu dia memicingkan mata ke arah lain, mencari suara yang kumaksud. Dia mendekati kamar mandi. Separuh tubuhnya hilang ditelan pintu kamar mandi. Lalu kudengar dia tertawa, menggaung.

Dia meninggalkan kamar mandi, berjalan santai menuju ke luar sambil berseloroh, "Itu bunyi air dari pipa saluran. Dikira apa? Leak? Makanya jangan di kamar terus. Main-main di luar. Cari udara segar, bos!"

Kurasa dia sedang menuduhku takut. Tuduhannya benar. Saat meninggalkan kamar, Bambang menutup lagi pintu kamar. Aku cepat-cepat turun dari tempat tidur untuk membuka lagi pintu itu, supaya hawa dari luar mengurangi suasana mencekam yang kurasakan di kamar. Lalu kuputuskan untuk berada di luar sekalian.

COWOK RASA APELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang