Keranjang 5

3.7K 286 23
                                    


Kembalinya Musuh Lama

Nama lengkapnya Denis Aditya Setiawan. Panggil saja dengan nama depannya. Atau terserah kau mau memanggilnya apa. Dia adalah saudara kembarku—satu-satunya saudara kandungku. Kaget, aku punya saudara kembar?

Soal lahir kembar, ada anggapan tertentu bah-wa anak yang lebih tua sebetulnya adalah yang keluar paling akhir. Konon, si kakak “harus” mengalah agar adiknya keluar lebih dulu. Tapi anggapan yang umum adalah sebaliknya: siapa yang lebih dulu keluar dari rahim, maka dialah yang lebih tua. Kedua orang tuaku menganut anggapan umum itu. Akulah yang keluar lebih dulu. Jadi, Denis adalah adik kembarku. Dia lebih muda beberapa menit dariku.

Wajah kami mirip. Tentu saja. Anehnya, setelah bertahun-tahun kami tumbuh terpisah, potongan rambut kami juga masih segaya: pendek, belah pinggir. Itu kebetulan, pasti kebetulan! Aku tak mau mengubah gaya rambutku, sebab ini adalah gaya rambut paling sederhana yang tak perlu ribet untuk menatanya. Lagi pula, gaya rambut simple ini sudah cocok denganku, kalau kuubah mungkin aku akan menjadi tak secakep sekarang. Sebaiknya Denis saja yang mengubah gaya rambutnya! Mau jabrik seperti Erik, gimbal seperti Bob Marley, pelontos seperti tuyul, terserah, yang penting jadi beda dariku. Sebab kami terlalu mirip!

Orang yang belum terbiasa melihat kami berdua, sangat mungkin akan terkecoh. Untungnya, kami tetap punya beberapa ciri fisik yang berbeda. Salah satunya: Denis punya lesung pipit, aku tidak. Orang-orang suka lesung pipit, jadi beruntung sekali dia. Tapi aku mendapat “jatah” postur badan lebih tinggi, dari kecil sampai sebesar sekarang. Meskipun selisihnya cuma sedikit—mungkin satu atau dua centimeter—tetap bisa terlihat dengan sepintas saja kalau aku lebih tinggi darinya.

Identifikasi juga lebih dipermudah lewat gaya bicara Denis yang berbeda dariku. Kadang dia pakai “lu-gue”, kadang pakai “kau-aku”, percampuran logat yang membuat Jakarta-Medan jadi absurd. Aku nggak tahu kenapa bisa begitu.

Sejak umur sepuluh tahun, Denis dipisahkan dariku. Pada waktu itu aku sudah bertanya tentang alasan mengapa Denis harus pergi. Papa hanya menjelaskan bahwa Denis ingin ikut Om dan Tante. Dia ingin sekolah di Medan, katanya. Waktu itu aku (dan Denis) masih kecil, kurasa itulah yang membuat tak semua alasan bisa disampaikan secara apa adanya pada saat itu. Perlu waktu.

Ketika aku sudah cukup besar, Kakek-lah yang bercerita padaku tentang alasan-alasan di balik perginya Denis. Menurut cerita Eyang Kakung, ketika itu Tante Hilda dan Om Frans sudah menjalani lima tahun masa pernikahan, tapi mereka belum dikaruniai anak. Entah siapa yang meminta atau menganjurkan, yang pasti Papa dan Mama kemudian memberikan Denis untuk diadopsi oleh Tante Hilda dan Om Frans.

Mereka percaya pada mitos tradisional tentang cara membantu suami-istri yang susah mendapat keturunan, yaitu dengan “memancing anak”. Harapan mereka, mengasuh Denis dapat memancing keturunan bagi Tante Hilda dan Om Frans. Entahlah benar tidaknya mitos itu, tapi nyatanya kemudian Tante Hilda beneran bisa mengandung setelah beberapa tahun mengasuh Denis. Sekarang anaknya sudah berumur setahun lebih. Sekarang katanya juga sudah hamil lagi.

Ternyata Denis sakti banget. Apakah bagus kalau aku masih musuhan dengannya?

Tapi, alasan Denis diadopsi Tante dan Om bukan cuma itu. Keadaan tak sesederhana itu. Masih menurut cerita Eyang, waktu itu keadaan ekonomi keluarga kami sedang rapuh. Papa kehilangan pekerjaan. Padahal dia harus menanggung kehidupan keluarga, termasuk Kakek dan Nenek. Apalagi Nenek sering sakit-sakitan—sekarang sudah meninggal. Butuh beberapa tahun bagi Papa untuk memperbaiki kesulitan ekonomi di keluarga kami, salah satunya dengan pekerjaan barunya di biro iklan. Lalu Mama ikut membantu dengan bekerja sebagai agen asuransi. Keadaan keluarga akhirnya bisa membaik lagi. Tapi, Denis sudah telanjur “dikorbankan”.

COWOK RASA APELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang