Keranjang 16

2.7K 254 62
                                    


Jatuh ke ....


Pada dasarnya aku bisa menikmati perjalananku. Awalnya memang sempat dibikin risih oleh mereka yang duduk di kursi paling belakang, yang bermain gitar dan menyanyi berjamaah. Jrang-jreng-jrang-jreng, diikuti suara cempreng dan fals!

Kalau begitu caranya, lagu bagus apa pun jadi rusak dan nggak enak didengar. Kalau mereka pengamen, sumpah, aku nggak akan kasih duit. Berisik banget! Solusiku cuma satu: pasang headset, putar koleksi mp3 di ponsel, tudungi kepala dengan tudung jaket. Suara berisik di belakang musnah!

Tengah malam kami sampai di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Kami harus antre untuk naik ke kapal penyeberang. Waktu antrean cukup lama. Kupikir itu wajar dan bisa dimengerti, sebab di musim liburan seperti sekarang pastinya banyak rombongan wisata ke Bali.

Oleh koordinasi dari panitia, kami gunakan waktu menunggu sekaligus sebagai waktu istirahat. Kami bisa melonggarkan kaki, merenggangkan urat-urat dan sendi-sendi badan yang sudah seharian terpasung di kursi bus, sambil menghirup udara tepi laut malam hari—meski tak terlalu segar juga, sebab bercampur asap-asap kendaraan yang begitu membeludak di halaman pelabuhan.

Awalnya, kukira menunggu berjam-jam di Ketapang adalah betul-betul karena antrean yang amat panjang. Tapi kemudian aku dengar-dengar dari salah satu panitia bahwa ternyata transit yang amat lama ini memang disengaja. Alasannya, jika cepat-cepat menyeberang ke Gilimanuk, maka kami akan tiba di sana terlalu dini.

"Kita sampai sana tempat wisatanya belum ada yang buka. Terus kita mau ngapain?" tukas anggota panitia itu. Makanya kami menunggu di Ketapang sampai tiga jam, sampai menjelang subuh, supaya ketika tiba di Bali bertepatan dengan pagi dan bisa langsung menuju ke objek wisata.

Dan, setelah menunggu lama, akhirnya tiba juga saatnya untuk menyeberang ke Gilimanuk. Naik kapal! Aku berdiri di luar kabin, terpekur menopangkan siku pada pagar pengaman. Kuhirup dan kunikmati udara pagi di atas air. Udara terasa sudah lebih bersih dari kontaminasi.

Ngomong-ngomong, ini juga pertama kali bagiku menyeberangi laut. Karenanya kuhayati baik-baik suasana ini: irama kapal yang sedang membelah selat, meninggalkan Pulau Jawa di belakang; Pulau Bali terlihat di depan, kian men-dekat.

Ketika kebisingan orang-orang terasa mengganggu, aku menyisihkan diri ke titik yang lebih tenang. Aku berpindah ke salah satu sudut di buritan. Di sini debur air dapat kudengar lebih jelas. Dan tiba-tiba aku ingin melakukan sesuatu di sini....

Kutengok tiap sudut, memastikan tak ada orang yang sedang melihatku. Setelah merasa diriku aman dari pandangan, dengan hati-hati aku lebih merapat ke ujung buritan. Angin terasa lebih deras, kutahankan badanku pada pagar pengaman yang tingginya seperut. Kubayangkan diriku sedang berada di salah satu adegan dalam film Titanic. Dengan keberanian, kurentangkan kedua tanganku lebar-lebar. Aku pun merasa ingin berteriak sekencangnya, sepuasnya!

Tapi tiba-tiba tubuhku terasa kurang seimbang, dan....

"Aaaaahhh...!" aku memekik ketika tubuhku hampir terjatuh.

Aku betul-betul sudah jatuh seandainya tak ada tangan yang menahanku dari belakang. Meskipun aku sudah selamat, degup jantungku tak melambat, sebab kusadari ada seseorang yang telah menolongku. Dia tepat di belakangku, dan kedua tangannya masih mendekapku....

"Kamu ngapain?"

"Eh, Rik...?" aku terkesiap, terpana, manakala kubalikkan tubuh dan yang kutemukan adalah wajahnya yang begitu dekat padaku. "Aku... aku...."

Seketika kamus di dalam otakku hang, blank, error...!

"Kalau mau gaya-gayaan seperti itu, jangan di buritan. Angin akan menekanmu dari belakang, dan kamu bisa terjembap!" tukasnya seraya melepaskan tangannya dari pinggangku. Begitu pun wajahnya, membuat jarak sedikit menjauhkan diri.

COWOK RASA APELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang