Keranjang 13

2.7K 245 25
                                    


Pencuri


Besok aku berangkat piknik ke Bali. Maka kuhabiskan pagi hingga siangku hari ini dengan persiapan penuh semangat. Salah satu persiapanku adalah berbelanja bekal. Yeah, akhirnya uang jajanku cair!

Sekarang aku sedang berada di sebuah toserba, mondar-mandir dari rak yang satu ke rak yang lain; mencomoti roti, camilan, minuman botol, pasta gigi, sabun cair, cemplungkan ke keranjang!

"Ya ampun, ini roti semua...!" suara sedikit melengking mengagetkanku.

Aku menoleh, melihat pemilik suara itu. Ia adalah seorang cewek tinggi-besar, berbaju ketat dengan riasan menor. Oh, astaga, aku baru sadar bahwa dia seorang waria! Dan sekarang matanya sedang melirik padaku. Cepat-cepat kutarik pandanganku lagi, pura-pura fokus dengan belanjaanku.

"Ih, apa sih lirik-lirik?" tukas waria itu, judes campur genit.

Aku berusaha tak mempedulikannya. Tapi dia malah mendekatiku. Aku mulai merinding!

Tiba-tiba dia melongok isi keranjangku. "Beli apa, tuh? Kondom, ya?" Lalu dia tertawa sendiri cekikikan.

Aku mengumpat-umpat dalam hati. Andai benar ada kondom di keranjangku, maka sudah kupakai untuk menjepret mukanya!

"Bagian susu di mana, sih? Dari tadi eike nggak nemu-nemu," dia bertanya padaku dengan gaya ganjennya yang... ah, tak usah dikomentari.

"Nggak tahu. Tanya ke penjaganya," jawabku datar.

Tapi sulit bagiku untuk pura-pura cuek, soalnya dia seperti sengaja mengikutiku terus. Ke rak ini dia ikut, ke rak itu dia juga ikut. Kalau aku memergokinya dengan sikap waspada, dia malah tersenyum superlebar.

"Eh! Ini kok malah di sini?" tiba-tiba temannya datang. Seorang waria lagi. Ya ampun!

"Daku kesasar, Jeng!" seloroh waria yang pertama dengan suara nyaring.

"Alah, sengaja nyasar kowe! Cari lekong wae, dasar gatel! Gak bisa jaga harga diri lu, cong!" waria yang baru datang itu muring-muring. Tampangnya kelihatan galak.

"Sirik, ya, Jeng? Habisna diana imyut...."

"Yang bener dong kalau cari lekong! Diana 'kan berondong!"

Dua waria itu akhirnya meninggalkanku sambil ribut sendiri.

"Aduh!" waria yang tadi membuntutiku berseru. Kakinya yang bersepatu hak tinggi kepeleset. Sukur!

Aku lega nggak dikerjai oleh mereka. Memang, sih, kota Solo bisa dibilang relatif toleran terhadap LGBT. Di daerah Sriwedari ada tempat yang tiap malam jadi lokasi nongkrong para waria. Di kafe tertentu bahkan punya malam-malam khusus untuk komunitas LGBT—konon yang datang lebih banyak gay. Aku belum pernah datang langsung, cuma tahu dari hasil pantauanku melalui forum-forum di internet saja. Aku masih butuh mempertimbangkan lebih masak untuk bergaul secara terbuka dengan sesama gay. Selain masih ingin menjaga identitas, juga karena risiko pergaulan bebas. Aku masih mikir.

Belanjaanku sudah cukup. Aku menuju kasir. Giliranku tiba setelah melewati antrean tiga orang. Kusodorkan keranjangku ke petugas kasir. Pandanganku pun tersita lagi. Kali ini ke Mas Kasir. Cakep. Hehehe.... Tampaknya dia berusia tak jauh di atasku. Mungkin sekitar dua puluh tahunan. Wajahnya oval, kulit cerah sawo matang. Ekspresinya kalem, sepertinya tak tahu kalau aku sedang mengamatinya.

"Totalnya tujuh puluh sembilan ribu empat ratus, Mas," suara ringannya memecah bengongku.

"Oke." Aku segera merogoh uang di dompetku, lalu kuserahkan.

COWOK RASA APELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang