Keranjang 7

3.2K 270 21
                                    

Namanya Juga Cowok



Rumah sepi. Mama dan Tante sedang belanja, diantar oleh Om Frans memakai mobil Papa. Nino, sepupuku yang masih balita, juga diajak. Sedangkan Papa ngantor, berangkat memakai vespa jadulnya. Yang di rumah tinggal aku dan Denis, dan Mbok Marni.

Aku baru saja selesai sarapan, dan sekarang sedang menuju ke kamar. Begitu tiba, ya ampun! Kudapati betapa berantakan kamarku! Saat aku meninggalkan kamar tadi, Denis masih tidur. Sekarang dia sudah tak ada di tempat tidur, dan kudengar suara air dari kamar mandi, berarti dia sedang mandi. Saat dia masih tidur tadi, kondisi kamarku masih bisa ditolerir. Sekarang tidak!

Pakaianku biasanya selalu tergantung rapi di gantungan, tapi sekarang tampak berjatuhan di lantai. Pasti Denis mengambil miliknya dan tak sengaja menjatuhkan milikku, tapi dia tak mau menaruhnya lagi ke posisi semula. Air minum dan camilan semula ditaruh di meja dengan tertib, tapi sekarang meja dan lantaiku tampak kotor oleh remah-remah dan ceceran air. Selimut tak dilipat lagi, dan seprei seperti jemuran yang kena libas puting beliung. Rupanya Denis itu tipe cowok berantakan. Dan kamarku telah menjadi korbannya! Istanaku, kekuasaanku, porak-poranda!

Aku tak bisa membiarkan kamarku merana lebih lama. Kurapikan semuanya, sambil menunggu Denis selesai mandi. Dia harus siap menerima kemarahanku!

"Pagi," Denis keluar dari kamar mandi, menyapa sambil bersiul-siul santai.

Dari tadi aku sudah menyiapkan diri untuk marah-marah, tapi... sekarang lidahku seperti lenyap dari mulut begitu melihat Denis keluar dari kamar mandi cuma memakai celana pendek. Tanpa baju. Aku ternganga....

Dia sebesar diriku dan sekarang dia sedang telanjang dada di depanku....

Sumpah, aku bingung! Aku ingin mengakui bahwa fisik setengah telanjang di depanku ini telah membuatku terpukau, tapi di saat yang sama aku sadar bahwa dia adalah saudara kembarku yang tampil dalam segala kemiripannya denganku. Terpesona padanya memberiku perasaan narsistik yang aneh, bahkan cenderung menakutkan!

Aku mulai khawatir, jangan-jangan ada dorongan incest yang sedang mengincar jiwaku dari tempat tersembunyi dalam diriku! Kupegang prinsip bahwa gay bukan "sakit", tapi terpukau pada tubuh Denis benar-benar membuatku merasa "sakit". Ini fun, tapi juga mengerikan!

Pkk...pkk...pkkk! Kutepuk-tepuk kepalaku seraya berkata dalam hati: "Baiklah, aku memang suka badan yang seperti itu. Lekuk bisepnya bagus. Perutnya rata. Tapi... dia adalah adikku sendiri. Adik kembarku! Dimas, jangan macam-macam dengannya!"

Tapi, sekeras apa pun usahaku menasihati diri, aku tetap tak mampu melipat selimut tanpa curi-curi pandang. Berulang kali lipatan selimutku keliru. Bila berlama-lama, mungkin aku akan membuat kembang atau burung bangau dengan selimutku.

"Kok ngelihatin gue gitu?" Denis tiba-tiba menegur, dan... ya, mata kami bertemu.

Modar kowe, Mas!

"Nggak! Ge'er amat?" aku ngeles.

Dia lalu buang muka. Tak menggubris lagi.

"Badanmu kayaknya lebih pendek dariku, masih kayak dulu?" cetusku, pura-pura mengungkit perkara lama itu untuk mengalihkan kecurigaannya—menutupi sorot "terpesona" yang mungkin tadi sempat terlihat di mataku.

"Jadi betul 'kan lu ngelihatin gue?"

Duaaar!

Goblok! Berniat menutupi tapi malah jadi ketahuan!

COWOK RASA APELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang