bab tiga

6.2K 513 89
                                    

"Tetsuya-chan tidak seharusnya membantah Araki-sama. Lihat, sekarang akibatnya separah ini."

Bunyi duk duk duk pelan itu adalah suara pukulan jahe merah yang ditumbuk Mibuchi. Punggung Tetsuya yang penuh memar, dibalurnya hati-hati. Ramuan jamu menimbulkan bau menusuk.

Tetsuya tak terpengaruh. Tetap mematung.

"Kau diam saja ... trauma ya, Tetsuya-chan?"

Tidak menggeleng. Tidak mematung. Bencana masif untuk hatinya, harga diri Tetsuya sedang terluka parah. Jamu-jamuan mungkin mengembalikan keutuhan kulitnya. Tapi bagaimana dengan luka yang mengaliri pembuluh darah? Bagaimana jika berubah jadi borok permanen yang tak bisa dia ampuni? Bagaimana jika ia mendendam?

"Tetsuya-chan?"

"Lepaskan aku. Aku ingin pergi, Mibuchi-san. Lebih baik aku tidur menumpang di dalam kuil, daripada dikurung di tempat ini. Aku bukan geisha."

"Tetsuya-chan ..." Lengannya diusap, suara Mibuchi penuh beban. "Aku tidak ingin mengecewakanmu. Tapi aku tidak bisa membantu."

Baskom berisi ramuan jamu diangkat.

"Punggungmu baru akan kurajah jika memarnya sudah cukup sembuh." Pintu tertutup pelan dari luar. "Selamat tidur, Tetsuya-chan."

***

Kehampaan yang membelukar adalah teman baik yang tidak bisa ia abaikan.

Kamar itu gelap. Tanpa shoji dan kolom-kolom kertasnya yang tembus cahaya. Tanpa lentera. Tanpa kandil dengan nyala yang diliukkan angin.

Bumi tidak bulat dalam kamar itu. Bumi bersudut-sudut, merantainya dalam kerutan sepi yang menyiksa, membuatnya terbatas. Di langit-langit kendur yang hampir rubuh. Di tembok cacat yang ditempeli lembaran warta berita. Di ranjang sekeras batu yang tengahnya berlekuk, dan cepitan-cepitannya yang penuh kutu busuk.

Tetsuya bisa melihat keputusasaan di mana-mana.

Keputusasaannya sendiri.

Tetsuya sempat berpikir untuk kabur melompati jendela. Tapi naas, bukan hanya selembar papan kayu yang menghalanginya dari dunia luar. Jendela itu dibuntu oleh jajaran besi, tiruan sempurna dari penjara tiran dengan pengampunan yang nihil.

Bahkan dalam sudut pandang Tetsuya, rancangan kamar penyekap ini adalah kelakar tidak lucu terhadap nilai-nilai humiliasi.

Aku tidak tahan, Kami-sama. Aku tidak kuat.

Seperti penumbra. Bagaimana mungkin, dalam sebuah okiya yang menawarkan wanita cantik dan menjual jasa penghiburan, masih ada sisi gelap dari tempat ini yang tersembunyi jauh dalam jantungnya—tidak teraduk dunia luar yang matanya tersekap oleh keindahan geisha yang selalu tersenyum tanpa cela?

"Tetsuya-chan."

Pintu geser direnggut oleh sebuah tangan yang gemetar hebat. Celah yang tercipta sangat sempit, seukuran tikus mengkeret. Sengaja tidak dilebarkan agar upaya colongannya tidak ketahuan.

"Belum tidur, ya? Makanlah, Tetsuya-chan."

Sebungkus nasi sebesar kepalan, diselipkan melewati celah. Bergerak lambat dalam kegelapan.

"Maaf aku baru datang tengah malam. Aku harus menunggu Araki-sama tidur dulu. Karena kalau ketahuan memberikan makanan padamu, itu bisa jadi perkara baru. Sekarang, makanlah, Tetsuya-chan."

Tetsuya masih berbaring miring. Terdiam. Seumur hidup mencicipi pahitnya nasib, suara keroncongan perut dan usus yang terpelintir minta makan sudah bukan hal baru. Tapi, ada bagian dari dirinya yang tiba-tiba jadi pembenci keterbatasan. Ia benci dikurung. Ia benci diberi makan seperti ternak.

Senbazuru E-VERSION ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang