Ada banyak hal yang tidak boleh diragukan dari seorang Akashi Seijuurou, salah satunya adalah kemampuannya untuk mengenali setiap sendi wilayah, sekalipun daerah yang sangat asing sekalipun.
Sebagai seseorang yang menghabiskan lebih dari separuh hidup untuk mengembara, terasa cukup mencengangkan untuk Tetsuya.
Seijuurou bisa mengingat dengan baik, dari sebuah persimpangan berlengan empat yang membingungkan, manakah persimpangan terbaik untuk mencari jalan tercepat.
Tetsuya mengatakan ia seperti sebuah peta yang hidup, dan Seijuurou menanggapinya dengan sebuah tawa yang tidak biasa.
Tetsuya lambat laun, sadar atau tidak sadar, mulai menikmati perjalanan itu. Bagaimana Seijuurou selalu menanyakan terlebih dahulu padanya, apa yang diinginkan Tetsuya untuk sarapan atau makan siang. Tetsuya tidak pernah meminta apapun, tidak memilih apapun. Namun, Seijuurou, seperti seorang penanggung jawab yang ingin memastikan dirinya tidak merasa kekurangan selama perjalanan, berlaku sebagai seorang pendamping yang sempurna.
Omi ke Kyoto memang tidak dekat. Namun, perjalanan itu—bagi Tetsuya—tidak terasa kosong. Justru sangat terisi oleh pemandangan baru. Dan yang terpenting, terisi oleh kesan-kesan baru yang mulai ia susun satu demi satu tentang seorang pemburu bernama Akashi Seijuurou.
Belasan jam perjalanan, Seijuurou memilih menambatkan kuda di tepi hutan. Tetsuya awalnya enggan turun dari punggung Yukimaru. Tapi perkataan Seijuurou yang begitu persuasif, menjanjikan betapa akan menyesalnya jika ia menolak ajakannya untuk berburu rusa, Tetsuya menyerah.
Ia melompat dari punggung Yukimaru, sedikit memaki karena seharusnya Seijuurou tidak perlu menangkapnya dalam pelukan.
Tetsuya merasa tidak didengarkan karena Seijuurou sama sekali tidak tampak merasa bersalah.
"Hati-hati, nanti kimono-mu terjerat duri."
"Kalau robek bukannya akan lebih bebas untuk bergerak, Seijuurou-kun?" Ia tidak terlalu peduli.
"Memang benar, tapi kalau kimono-mu robek, nanti kau bisa dilahap singa, Tetsuya."
"Singa?" Bingung. "Di sini ada singa?"
"Ya, singa di sini suka orang ber-kimono robek. Jadi hati-hati saja. Jangan bergerak gegabah. Kalau kau pulang babak belur atau tidak bernyawa, bisa gawat."
"Aku ingin tahu singa seperti apa itu." Namun bukan Tetsuya namanya jika tidak berusaha cari mati. Dengan gerakan tangan penuh ambisi, ia merobek kimono-nya sendiri hingga sebatas betis. Seijuurou sampai tidak berkedip karena heran—dia ini bodoh atau memang sedang mengumpankan diri?
"Sekarang kita tunggu singanya." Si biru mungil berpindah ke belakang Seijuurou, mengintip dengan kepala menyembul-nyembul dari balik pundak sang pemburu.
"Singanya apa sudah datang?" bisiknya.
Seijuurou tidak bisa tidak tersenyum. Ia menoleh sejenak dan berkata dengan nada penuh keraguan, "Sepertinya singanya belum mau datang karena kau merobeknya kurang tinggi. Coba dirobek lebih tinggi lagi. Sebatas paha mungkin dia datang."
"Sebatas paha?" Tetsuya kali ini ragu. "Kita akan masuk ke dalam hutan, kalau kainku dirobek sampai sebatas paha ... nanti aku digigit nyamuk."
"Digigit nyamuk? Bukan digigit aku, Tetsuya?"
"Ya, digigit Seijuurou-kun juga bisa."
"Hm, memangnya boleh aku menggigitmu?"
"Apa Seijuurou-kun nyamuk malaria? Kalau Seijuurou-kun nyamuk malaria, seharusnya aku bawa daun serai untuk menepuk kepala Seijuurou-kun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Senbazuru E-VERSION ✅
Historical FictionKuroko Tetsuya tahu, Putra Sang Shogun dan Samurai pengembara itu berlomba untuk membelinya. [Semi Historical Fiction - Completed]