"Pasukan keshogunan akan melewati desa kita. Keponakan Mayuzumi-dono akan segera diangkat menjadi shogun setelah kematian pamannya. Kita harus bersujud di pinggir jalan. Biasanya, mereka akan melemparkan beras, jagung, gandum dan kacang pada rakyat yang patuh."
Saat itu, Seijuurou kecil yang baru berusia tujuh tahun, sama sekali belum mengerti tentang konsep 'orang-orang penjilat'. Hanya saja, ia sudah mengerti bagaimana muaknya melihat para orang dewasa bertahan hidup dengan menghamba begitu rendah pada penguasa.
Seijuurou baru saja mendulang air di sungai—membantu ibunya mengambilkan bilasan untuk mencucikan baju para biksu yang selalu datang untuk berdoa di dalam kuil—dan ia menemukan banyak orang berubah menjadi bodoh secara serentak.
Seijuurou penasaran, menangguhkan tugasnya dan meletakkan air hasil dulangan di bawah sebatang pohon. Ia berlari ke tepi jalan—dan keheranan karena semua orang menjadi khidmat seperti disihir oleh mantra-mantra gaib.
Semua penduduk desa hening.
Semua penduduk desa patuh.
Anak kecil dengan rambut merah itu memandang bingung. Ingin bertanya, "Apakah hari ini akan datang Dewi Kwan Im untuk memberikan berkat umur panjang untuk semua orang yang menyambutnya?"
Namun sejujurnya Seijuurou tidak menyukai orang-orang yang menghamba. Patuh adalah patuh. Tapi menghamba ... itu lain cerita.
Bersujud begitu rendah dengan kening yang kotor karena terlalu lama menekan tanah, itu adalah penghinaan pada diri sendiri. Dan Seijuurou tidak menyukainya. Ia ingin sekali mengatakan, mereka bodoh, mereka tolol. Mereka mau dipermalukan oleh penguasa keshogunan.
Seijuurou ingin sekali menyiramkan air yang baru saja ia kumpulkan di atas kepala-kepala udang itu.
"Itu pasukan keshogunan ... cepat! K-kita harus menunduk!" Salah satu dari udang menjijikkan itu berteriak. Kening Seijuurou sampai menggarut-garut heran. Kenapa mereka menyembah sepasukan manusia seperti menyembah Dewa Matahari? Apakah mereka manusia-manusia sakti? Apakah para bangsawan keluarga Shogun itu adalah orang-orang yang tidak bisa mati?
Seijuurou sungguh tidak mengerti.
"Hei, nak, bersujudlah!"
Seijuurou diam.
"Hei, nak! Bersujud kataku!
Bersujud? Enak saja.
Seijuurou segera menghempaskan tangan seorang lelaki paruh baya yang menarik tangannya, memintanya merendah. "Lepas! Jangan tarik-tarik aku!"
"Oi, nak! Kubilang bersujudlah! Apa kau tuli?"
"Tidak mau," tapi Seijuurou mendengus keras, "Aku tidak mau bersujud kecuali pada ibuku."
Lelaki paruh baya itu berusaha memanjangkan kesabaran, "Kalau kau bersujud, kau bisa pulang membawa bahan makanan. Kau bisa menyenangkan ibumu, nak!"
"Tidak mau," tapi bocah kecil itu tetap keras kepala. "Aku bukan pengemis. Aku bukan tukang minta-minta!"
"Heh, bocah tengik, sialan! Kau bocah apa setan!?"
"Hentikan, Miyaji! Kau jangan bertengkar dengan anak kecil! Kekanak-kanakan sekali!" Seorang tetangga yang tadinya masih patuh bersujud menegur, "Kalau kalian tetap berisik, nanti kita tidak kebagian bahan makanan!"
Seijuurou akhirnya duduk. Tidak bersujud. Bocah itu hanya bersila seperti menunggu jamuan. Ia tidak bergegas pergi hanya karena ingin tahu, sebenarnya apa harta karun yang akan dibagikan oleh pasukan keshogunan untuk para otak udang yang bersujud dengan tampang penuh pengharapan itu? Akashi Seijuurou—sekecil itu—sudah jutaan kali mendengar pelajaran tata krama, dan masalah harga diri sudah ia kenali sesering menghirup udara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senbazuru E-VERSION ✅
Ficção HistóricaKuroko Tetsuya tahu, Putra Sang Shogun dan Samurai pengembara itu berlomba untuk membelinya. [Semi Historical Fiction - Completed]