Bulan sisa semalam belum selesai digigit langit, masih menggantung bermalas-malasan.
Fajar baru saja turun.
Seorang pemuda berpakaian budak, terhuyung-huyung menembus kabut. Kedua tangan yang tak seberapa kuat mengangkat dua tempayan air menuju pasar.
Itu adalah pekerjaan terakhir pagi ini, setelah dini hari tadi ia harus mengayuh gerobak sambil separuh mengantuk, dengan dua ekor kambing gemuk berbaring di atasnya.
Pemuda kecil itu juga masih disibukkan dengan cucian kimono yang menumpuk dari okiya—rumah geisha—yang mengambil jasanya sebagai pembantu.
Sekalipun mereka tidak memberi uang, si budak nyatanya juga sudah cukup senang dengan kiriman beras dan ikan kering, sekalipun kadang beras yang dikirim berkutu dan warnanya buruk bukan main. Itu sudah lebih baik, daripada pemilik okiya menerornya karena hutang yang ia sendiri tidak tahu mengapa dirinya harus membayar.
"Setelah selesai mengisi air bak mandi, kau pilah stok ikan laut yang baru diturunkan dari perahu tongkang. Mereka baru saja datang pagi ini. Masih meminta ongkos kirim lagi, padahal kakinya semua menginjak tokoku. Lama-lama aku merasa mereka suka memeras pedagang. Bukan main culasnya."
Suara pemilik toko kelontong tidak lagi ia dengarkan. Bukan karena tidak mau. Budak itu hanya berpendapat, lebih baik ia menggunakan tenaga untuk sesuatu yang lebih penting. Untuk bekerja keras.
"Bagaimana kalau aku mengambil ikan saja dari Kota Paus(1), apakah kira-kira akan lebih murah? Hei, Tetsuya! Kau mendengarkan aku atau tidak!?"
Pemuda miskin yang baru saja berjongkok di depan peti ikan buruk rupa, menoleh kalem, "Saya mendengarkan Anda, Ojii-sama. Tapi saya akan salah memilih ikan-ikan yang bagus untuk dijual kalau Anda terus mengajak saya bicara."
Wadah berisi air yang baru saja ia dulang susah-susah dari sumur di pinggir desa, ditendang persis di depan matanya. Tetsuya tidak berdiri meskipun kainnya basah karena cipratan air. Ia tidak mau sesumbar bahwa dirinya pemberani, tapi Tetsuya memang tidak takut. Tidak ada alasan untuk takut.
"Kau memang bocah kurang ajar, darah tinggi aku menghadapimu." Tapi nyatanya majikan gila itu memang tidak pernah bisa marah terlalu lama padanya. Entah karena dia memang polos. Entah karena sudah merasa tidak mampu lagi menghadapi keras kepala Tetsuya. "Sudah kerja sana. Naik tekanan darahku menghadapi anak iblis sepertimu."
Terdiam. Tetsuya tidak berhati lemah. Kata-kata majikan gila selalu runcing dan menikam—dan rata-rata orang yang membayar jasanya memang begitu. Namun sebuah kalimat, selancip apapun, tidak pernah mempan menembus kuping yang tumpul. Dan Tetsuya hanya sudi mengasah pendengaran untuk menangkap tawaran kerja.
Demi uang beberapa keping, beras, kue bola, ikan asin. Atau kalau beruntung, ia akan mendapat umbi-umbian atau beberapa iris lobak. Selebihnya, Tetsuya tuli terhadap hinaan. Ia sudah biasa jadi budak, itu bukan taktik untuk menyambung napas. Itu nasib, pasungan yang selalu ia terima sehingga tidak menjadi belenggu. Apalagi, pemilik okiya mengatakan bahwa ia masih punya hutang. Biaya untuk jasa mereka yang sudah merawat Tetsuya sejak bayi.
Yang Tetsuya tahu, dirinya anak seorang geisha, dan ibunya melacurkan diri untuk tentara kekaisaran. Ia ditinggal begitu saja di okiya, sementara ibunya yang bermarga Kuroko bunuh diri setelah dipecat dengan alasan, "Bukan perempuan terhormat karena menjual diri pada lelaki hidung belang."
Geisha tidak boleh sembarangan bercinta. Dan ibu Tetsuya melanggar batasan—itu yang selalu dikatakan oleh semua orang tentang latar belakang keluarganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senbazuru E-VERSION ✅
Fiksi SejarahKuroko Tetsuya tahu, Putra Sang Shogun dan Samurai pengembara itu berlomba untuk membelinya. [Semi Historical Fiction - Completed]