bab sembilan

2.8K 306 98
                                    


Kyoto.

Negeri dengan sejuta mimpi buruk yang masih berminat mengundangnya kembali setelah bertahun-tahun, mencampakkannya.

Akashi Seijuurou membelokkan laju kuda memasuki gerbang kota. Tengah malam telah jatuh. Tetsuya tertidur pada satu dekapan lengannya dengan wajah dipenuhi tekanan.

Seijuurou disambut mendung dini hari yang masih ragu akan muncul, atau menggantikan diri dengan derasnya hujan. Ia tidak membangunkan Tetsuya. Setidaknya, sampai pada akhirnya ia akan bertemu dengan para cecurut bertopeng, ia takkan membangunkan Tetsuya.

Seijuurou mengendalikan kecepatan, sedikit menahan pergerakan Yukimaru. Ia tidak mau membangunkan warga kota karena berkuda terlalu riuh pada jam tidur mereka.

Kyoto mirip seorang raksasa yang pucat dan mendengkur dengan tubuhnya yang menggelambir. Wilayah yang tidak begitu rapi, menawarkan materi dunia yang selalu ingin dihindari Seijuurou.

Ia memang pernah berkunjung, sekali dua kali. Tapi tidak sering, dan tidak berkesan. Tidak ada keluarga yang perlu ia kunjungi di tempat ini. Lagipula, terlalu banyak musuh yang menunggunya muncul hidup-hidup untuk disantap.

Sejenak berkuda dengan arah mengambang seolah tanpa tujua, Seijuurou dihadang oleh tiga orang bertopeng—lagi. Dan ia tidak terkejut karena memang sudah menduganya. Di poros jalan besar, mereka menunggu di atas kuda masing-masing, menunggu untuknya membuktikan omongan. Demi arwah mendiang ayahnya yang mati demi martabat Akashi, Seijuurou sama sekali tidak ragu saat mereka memintanya untuk mengikuti arah kuda melaju.

"Seijuurou-kun?"

Tetsuya terjaga karena suara tapal dari empat kuda yang berlari bersamaan, sudah lebih dari cukup untuk mengusik tidurnya. Ia mengerjap sekali. Kemudian melirik—ada seseorang berkuda di depan. Ada satu lagi di sisi kiri. Ada satu lagi di sisi kanan.

Mereka dikepung.

Ia dan Seijuurou-kun sungguh mirip tawanan.

"Seijuurou-kun? Kita mau ke mana?" Tetsuya menoleh, memandang lelaki itu dan tidak menemukan Seijuurou menanggapi. Dirinya hanya dijawab dengan sebuah gelengan yang mengecewakan. Apa boleh buat. Mungkin memang sebaiknya ia harus mengunci mulut. Bukan saatnya untuk mencari tahu.

"Apakah kalian akan membawaku ke kastil keshogunan Mayuzumi?" Seijuurou baru membuka suara ketika mereka telah berkuda cukup jauh. "Apakah aku akan kalian adili di sana?"

Namun, seperti halnya Tetsuya yang bertanya pada dirinya, ia pun tidak dijawab. Seijuurou hanya diminta terus mengikuti—dengan Tetsuya yang terus-terusan menatap curiga, perjalanan pendek itu terasa sangat tidak nyaman.

Seijuurou baru diberi isyarat untuk menghentikan kuda ketika sudah berada di depan sebuah kuil. Sebuah kuil dengan lambang matahari raksasa. Entah bahaya apa yang disembunyikan di dalam sana, ia tidak akan berusaha menebaknya.

"Silakan turun, Seijuurou-dono."

Seijuurou mengangguk. Ia turun lebih dulu, kemudian mengulurkan tangan untuk membantu Tetsuya. "Jangan jauh-jauh dariku," bisiknya.

Dalam diam, mereka mengikuti orang-orang itu. Melangkah masuk, menyusuri kuil tersembunyi, dengan taman gersang dan obor-obor yang menyala tanggung—ada yang padam, ada yang berkobar-kobar.

Tidak bisa membohongi diri jika hatinya mulai gelisah, Tetsuya ikut menaiki tangga. Ia menggigil diam-diam, merasakan angin dingin mencakari leher telanjangnya. Menepiskan sungkan, ia menggenggam tangan Seijuurou, tahu benar hal itu dapat memberinya sedikit kekuatan.

Senbazuru E-VERSION ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang