Dibohongi itu, ternyata rasanya lebih tidak enak, dibandingkan sensasi ketakutan saat mencoba melarikan diri dari rumah pasungan.
Tetsuya, sendirian, telah beralih dari berdiri di halaman kuil, menjadi duduk memeluk lutut di tangga masuk.
Ia tidak ingin menyembunyikan diri dalam kegelapan sekalipun tahu, jika saja ia ketahuan sedang berada di sini tanpa izin dari Mibuchi-san atau Araki-sama, ia akan menerima masalah yang lebih besar lagi.
"Lama sekali." Meyakinkan diri bahwa Tuan Pemburu yang ditunggunya hanya terlambat, bukannya menipu, membuat Tetsuya sedikit tenang. Ketenangan membuatnya bertahan tetap menunggu, alih-alih pulang ke okiya, menyeret kaki sambil membawa rasa kecewa.
Tiba-tiba—tersentak. Sang geisha mendengar suara ledakan. Beruntun. Memekakan telinga dan membuat perhatian teralih seketika.
Mata biru Tetsuya terjerembab pada puluhan ledakan kembang api yang terbang dan berlompatan, seolah memenuhi seluruh penjuru langit.
Ia mengawasi, tercenung, tersenyum sendirian. Entah senyuman macam apa itu—apakah senyuman nelangsa, ataukah senyuman senang, ia tidak tahu.
Tetsuya hanya merasa, kembang api pun terlihat jauh lebih beruntung ketimbang dirinya.
Kembang api tidak punya hidup. Tapi mereka menyala.
Berbeda dengan dirinya. Ia punya hidup, tapi hidupnya buram dan tidak pernah berhenti disiksa.
"Barangkali Seijuurou-kun menyangka ... jika aku tidak percaya padanya, sehingga ia tidak datang."
Tetsuya, kali ini, mencoba menukar dugaan. Ia tidak mau berprasangka buruk, mengira Tuan Pemburu menipunya atau apa.
Daripada berprasangka buruk tentang seseorang, lebih baik menaksir kemungkinan bahwa bisa saja justru orang itulah yang berprasangka buruk pada kita.
Tetsuya maklum.
Lagipula, menunggu di depan kuil sambil melihat kembang api dan bulan purnama, juga bukan sebuah siksaan seperti sabetan shinai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senbazuru E-VERSION ✅
Historical FictionKuroko Tetsuya tahu, Putra Sang Shogun dan Samurai pengembara itu berlomba untuk membelinya. [Semi Historical Fiction - Completed]