Perjalanan tanpa tujuan itu, kini terasa lain.
Setelah kematian Chihiro, Tetsuya masih tak banyak bicara.
Seijuurou pun terus diam. Namun, yang diketahui oleh hati mereka yang sama-sama sedang menghadapi sekuntum gerhana, ada bahasa kelu dan kalut yang tak terperi, tersusun acak menjadi sebuah bencana.
Seketika untuk Seijuurou menatap Tetsuya menjadi sebuah kebutuhan.
Di sisi lain, kebutuhan itu juga menjadi sebuah sumber rasa sakit yang menikam.
Sementara Tetsuya melihat Seijuurou sebagai sebuah kekuatan.
Kekuatan yang mengenalkannya pada tiga hal: cinta, kebebasan, serta kehancuran.
Tidak ada yang tahu mengapa hanya duduk berdua di punggung Yukimaru menjadi terasa lebih menyakitkan dari semula. Mereka saling menyentuh. Dada dan punggung beradu, tanpa jarak, kadang juga saling terbentur jika kuda mereka melompati sesuatu—tapi dunia jadi berputar sangat lama.
Tetsuya tidak tahu dirinya mengharapkan apa. Ia tidak mengharapkan ada akhir dari perjalanan itu. Di sisi lain, ia ingin kebersamaannya dengan Seijuurou segera berakhir.
"Ke mana kau ingin kuantar?" Akhirnya Seijuurou bertanya. Tahu dirinya sudah tidak ada harapan untuk menahan Tetsuya lebih lama di sisinya.
"Apa perjanjian seminggu itu masih berlaku?" Alih-alih menjawab, Tetsuya justru bertanya dengan nada yang sangat kosong, "Apakah pernikahan kita baru akan berakhir setelah seminggu berlalu?"
Sepertinya Seijuurou mengerti ke mana arah pembicaraan itu. "Apa yang kau mau, Tetsuya?"
"Perceraian secepatnya," Tetsuya berbicara tanpa menoleh sedikit pun pada lelaki itu. "Aku tidak akan tahan menunggu sampai seminggu."
Sebuah reaksi berantai tercipta di balik dada Seijuurou. Satu: lega. Lega karena sebentar lagi ia akan bebas untuk kembali mengembara tanpa harus digantungi oleh makhluk bebal bernama Tetsuya.
Reaksi kedua: terhenyak. Seakan ada hujan api jatuh di kakinya, Seijuurou tak bisa menghindar dari rasa sakit dan ngilu yang menjalar.
Reaksi terakhir ... entah apa namanya. Jika ia seorang penyair, Seijuurou yakin dirinya takkan kesulitan menemukan kata yang lebih tragis dari patah hati.
"Kalau memang itu maumu, Tetsuya," ia berkata—jangan kira seseorang dengan perasaan retak, juga seketika menjadi bisu dan tuna rungu. "Tidak perlu menunggu seminggu, katakan saja ke mana aku harus menurunkanmu. Maka, di lompatan pertama kau turun dari kudaku, pada detik itu jugalah kita akan resmi bercerai."
"Seijuurou-kun?"
"Aku tidak akan menolak, Tetsuya. Aku juga tidak akan bertanya mengapa kau begitu ingin lepas dariku," Seijuurou tidak ingin memberi senyum palsu—tapi, bukan salah siapa-siapa kalau ia memang memberikannya pada Tetsuya.
"Melihatku membuat Tetsuya menyesal, melihatku membuatmu menyadari ... jika saja kita tidak pernah bertemu, maka kakakmu pasti masih tetap hidup sampai sekarang."
Tetsuya tidak menjawab. Hanya menunduk. Kata-kata Seijuurou terasa tidak adil untuknya.
"Maafkan aku, Tetsuya," ujar Seijuurou. "Tadinya aku sempat berpikir bahwa aku tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi setelah melihat ciumanmu dengan Mayuzumi Chihiro, aku tahu, aku sudah salah menebak. Tebakanku ternyata meleset. Tebakanku ternyata sangat tidak tahu diri."
Tetsuya mendengar sang pemburu menarik napas dalam. Mungkin kata-kata selanjutnya yang akan terkuar, sangat berat membebani lidahnya.
"Karena itulah, kurasa tidak akan ada gunanya pula jika aku bertanya, bersediakah kau untuk meneruskan perjalanan ini denganku ... meneruskan selamanya, seumur hidupmu tanpa bercerai."
KAMU SEDANG MEMBACA
Senbazuru E-VERSION ✅
Historical FictionKuroko Tetsuya tahu, Putra Sang Shogun dan Samurai pengembara itu berlomba untuk membelinya. [Semi Historical Fiction - Completed]