BAB 2

8.1K 522 15
                                    


Aku seharusnya ada jadwal meeting 10 menit lagi, tapi aku mendapat pesan singkat dari Ms.Emily, guru George, bahwa puteraku saat ini sedang di bawa ke rumah sakit. Tak jelas apa yang terjadi. Kucoba menghubungi Anne berkali-kali tapi entahlah mengapa isteriku tidak menjawab ponselnya.


Aku segera pergi ke National University Hospital, kebetulan aku sedang berada di sekitar daerah itu saat pesan singkat dari Ms. Emily masuk ke ponselku.


***


Kami tiba di rumahsakit, tapi aku bertanya tidak ada nama puteraku didaftar pasien. Aku sangat frustasi, dan memutuskan untuk keluar dari rumahsakit, mungkin sebaiknya aku memastikannya ke sekolah George.


Saat aku melangkah menuju mobil, tampak seorang penjaga sekolah berlari membawa seorang anak terluka. Aku hafal betul dengan wajah si penjaga sekolah itu, aku melepas jasku dan segera berlari ke arah pria itu, perasaanku campur aduk ketika itu. Aku berusaha menolongnya, kulihat itu Alvin, tempan George, dia terluka parah.


Kami segera membawanya ke Emergency Unit untuk mendapat perawatan. Kulihat wajah penjaga sekolah begitu ketakutan, air matanya bahkan berderai-derai. Aku juga mulai meraskaan ketakutan yang sama, puteraku dimana? Kucoba menghubungi Anne berkali-kali tapi tak juga di angkat. Aku jadi semakin frustasi.


Saat aku menoleh, seorang penjaga sekolah lainnya tampak menggendong seorang anak lagi masuk ke Emergency Unit, disusul oleh Ms. Emily yang juga menggendong seorang anak. Aku berlari mendekat, berusaha membantu Ms. Emily, tapi lututku mendadak lemas saat kulihat puteraku begitu pucat, dia berdarah dan dia tampak sudah begitu lemas di pelukan Ms. Emily.


Aku mengambil alih George dan segera berlari membawanya ke sebuah bed, aku berlari sepreti orang gila mencari dokter untuk segera menangani puteraku. Dan untunglah mereka membawa puteraku ke rumahsakit terbaik, jadi puteraku segera mendapat penanganan.


***


Aku berada di depan ruang operasi, puteraku, dia yang masih begitu kecil, bahka usianya belum genap enam tahun harus tertembus peluru. Aku sudah merasakannya dan itu mengerikan, bagaimana puteraku mengalami hal yang sama denganku.


Lalu dimana Anne? Mengapa dia tidak juga datang? Kemana dia?


***


Adam berlari ke arahku, membantuku berdiri. Aku masih saja terus meraung, menangisi puteraku, sementara dia berusaha membawaku keluar dari kerumunan itu.


"Aku sudah menghubungi Emily. Dia membawa George ke National University Hospital" mendegar kalimat Adam rasanya ada secerca harapan, aku tahu di mana puteraku, aku harus pergi kesana, aku harus tahu keadaannya.


Aku justru berlari meninggalkan Adam menuju mobilku, dan segera masuk ke dalam mobil. Kuputar kunci dan seketika mesinnya menyala." Anne, kau sedang dalam keadaan shock, biarkan aku yang mengemudi." Adam berbicara dari luar mobil.


"Anne, percayalah, menyetir dalam keadaan seperti itu akan sangat berbahaya. Kau bahkan bisa berurusan dengan polisi jika melewati batas aman, dan itu berarti kau tidak bisa segera bertemu puteramu." Adam memberika penjelasan logis, dan aku mengangguk.


Aku keluar dai mobil, dan Adam mengambil alih kemudi. Sementara aku duduk di sampingnya, menatap kosong pada jalanan.Sepanjang jalan aku hanya bisa menangis, entah apa yang terjadi pada puteraku, tapi ini semua salahku. Seandainya aku tidak terlambat menjemputnya hari ini? Seandainya aku tidak bertemu dengan Adam dan menolak minum kopi dengannya? Oh seandainya waktu dapat di putar kembali.


"Hei, everything is gonna be ok."Adam mengusap lenganku. Aku tak menjawab, aku masih terus khawatir pada puteraku.


Sesekali Adam menoleh padaku, dia juga tampak sangat khawatir.


Setelah menempuh perjalanan cukup lama akhirnya kami masuk ke halaman parkir National University Hospital.


Aku segera menghambur keluar mobil dan berlari menuju receptionist untuk mencari tahu keberadaan George puteraku. Mereka memberitahuku bahwa puteraku berada di ruang operasi. Aku segera naik lift menuju ruangan yang di maksud, air mataku masih saja terus membanjir.


Aku berlari sepanjang lorong, dan saat melihat suamiku di ujung lorong rasanya aku hampir roboh. Aku melihat sorot mata ketakutan terpancar dari tatapannya padaku. Dia berjalan mendekat kearahku "Abi..."Aku berlari ke arahnya memeluknya, memeluk suamiku. Kulihat kemejanya berlumuran darah. Abi memelukku erat, tangisku pecah dalam pelukannya.


Tapi Abi segera menarik dirinya, aku menoleh kearah belakang diriku, oh Adam. Abi pasti menarik dirinya karena melihat keberadadan Adam bersamaku. Tatapan Abi padaku mendadak dingin, penuh selidik dan dia segera menjaga jarak.


Adam berjalan mendekatiku, memberikan kunci mobilku lalu berjalan mendekati Abi, tapi alih-alih menerima kedatangannya Abi justru berjalan menjauh, meninggalkan lorong ini, entah kemana dia pergi. Aku merosot ke lantai.


Haruskah kesalahpahaman ini berulang, dan mengapa situasinya menjadi semakin sulit ketika puteraku justru sedang berjuang mempertahankan hidupnya di meja operasi.


***


Kulihat Anne di ujung lorong, wajahnya ketakutan. Oh isteriku yang malang, kau pasti tak sanggup menanggung semua ini. Aku berjalan mendekatinya, memeluknya. Kuharap pelukanku bisa sedikit menguatkan hatinya, meski saat ini hatiku juga hancur melihat putera kami dalam kondisi seperti itu.


Tangisnya pecah di pelukanku. Aku mengencangkan pelukanku. Tapi mataku menangkap sosok yang tak asing, dia? Mengapa dia kemari? Jika dia berada di sini berarti dia bersama dengan isteriku? Aku menarik diri, aku tidak percaya ini?


Apakah isteriku menghianatiku? Lagi? Apakah mereka tidak pernah berhenti selama ini? Sementara aku begitu bodoh percaya bahwa aku bahagia dengan isteriku dan putera kami, tapi isteriku masih menjalin hubungan dengan pria ini?


Kulihat dia melangkah mendekati Anne, memberikan kunci mobil pada isteriku.


Jelas sudah, semua pertanyaanku terjawab, mereka pergi bersama dengan mobil isteriku. Aku tak bisa lagi menahan emosiku. Aku tidak ingin mengamuk di depan ruang operasi sementara puteraku sedang berjuang untuk hidupnya di dalam.


Aku berjalan keluar, pergi dari lorong, pergi sejauh yang aku bisa. Rasanya hatiku hancur, dua kali, pertama aku melihat puteraku, menggengongnya dalam pelukanku, bersimbah darah, dan sekarang, dalam kondisi puteraku seperti itu, kulihat isteriku bersama dengan pria lain.


Apa yang terjadi padaku? Mengapa hari ini begitu buruk? Jika aku harus menggantikan posisi puteraku, tertembak, aku masih sanggup menanggungnya. Lebih baik aku mati asalkan puteraku selamat.


Tapi untuk isteriku? Memaafkannya lagi? Apakah aku masih punya hati untuk memaafkannya?


Jika dia bersama Adam, itu berarti dia tidak menjemput George, dan semua kejadian itu terjadi limabelas menit setelah kelas Gorge berakhir. Itu yang Ms. Emily sempat katakan padaku. Jika saja Anne datang tepat waktu, tentu puteraku tidak harus mengalami semua ini.


Malaikat kecilku itu tidak harus menanggung penderitaan seperti ini. Ini untuk pertama kalinya aku menagis seperti pecundang. Aku menagis, tak sanggup lagi menanggung semua ini.


***


Dokter keluar dari ruang operasi saat di lorong itu sudah ada Aku , Evelyn dan Abi. Dokter menjelaskan bahwa pelurunya tidak mengenai organ tubuh vital milik putera kami, tapi puteraku kehilangan banyak darah. Dan kebetulan golongan darahnya juga cukup langka.


Setelah mengatakan bahwa aku ibu kandungnya, dokter memintaku untuk mengikuti perawat untuk diambil darahku. Oh seandainya aku harus memberikan darahku, bahkan nyawaku sekalipun pada puteraku, aku akan memberikannya, semua milikku, tanpa terkecuali.


***


Kami saat ini menunggu George sadar, di dalam ruang pemulihan. Tangan Abi terus saja menggenggam tangan puteranya itu. Sementara aku mematung sisi lain tempat tidur puteraku. Aku tahu beruangku sedang begitu terluka, aku juga tidak kalah terluka. Tapi jika aku memaksa mendekatinya, dia pasti akan lari dariku, jadi kupilih untuk diam, dan menjelaskan semuanya pada waktu yang tepat.

Abraham Salim (Book 3) #Googleplaybook #JE Bosco PublisherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang