BAB 3
Aku tersadar dari lamunanku saat terdengar suara announcer mengumumkan penerbangnanku di pengeras suara. Kenangan tentanng hari mengerikan itu terus saja membayang, sepertinya seluruh memoryku dikuasai oleh hari gelap itu, dan bahkan setelah hari itu, sampai saat ini matahari tak pernah terbit lagi dalam hidupku.
Kutarik nafas panjang," aku harus kuat, demi suami dan puteraku."meski air mataku terus saja merangsek ke sudut-sudut mataku.
Sekarang aku sedang duduk di sebuah seat, penerbangan paling pagi. Aku berharap bisa segera sampai dan menghabiskan waktu enam jam yang kumiliki bersama puteraku. Tampak seoranng wanita setengah baya duduk di sebelahku, dia tersenyum padaku.
Setelah semua protokoler penerbangan di jalankan, kini kami mengudara dari Jakarta menuju Singapura. "Liburan?" wanita itu berbasa-basi, tanpa memperkenalkan dirinya padaku"Tidak." aku menggeleng."Suami saya di rawat di Mont Elisabeth, Cancer." Dia menjelaskan. Betapa terkejutnya aku melihat ekspresi wanita ini, dia begitu kuat meski dia mengatakan bahwa suaminya menderita cancer. "Oh saya turut prihatin bu." Tapi justru aku semakin dikejutkan ketika melihat senyum terkembang di wajahnya."Kami hampir bercerai beberapa tahun lalu, tapi dia justru di vonis cancer." Dia tampak sedang mengenang kejadian itu "Lebih baik saya menceraikanya, ketika di meminta saya pergi dari hidupnya demi wanita lain, daripada saya melihatnya menderita seperti ini." lanjut wanita setengah baya itu.
Ya Tuhan, rasanya hatiku seperti di hantam buldozer mendengar kalimatnya. Dia bahkan dengan rela melepaskan suaminya karena begitu besar rasa cintanya itu pada sang suami. Dia merelakan suaminya bahagia dengan wanita lain daripada bersamanya tapi mengalami penderitaan. Andai anda tahu bu, bahwa aku juga sedang mengalaminya. Aku bahkan rela tinggal terpisah dari suamiku dan puteraku, hanya bertemu dengan puteraku duaminggu sekali, dan hanya diberikan waktu enam jam setiap pertemuannya, semua kulaukan demi cintaku pada mereka berdua.
***
Malam itu di kamar kami, setelah sore tadi George boleh di bawa pulang, dan kondisinya sudah membaik. George tampak tertidur pulas di ranjang kami, sementara aku dan Abi duduk di sofa. Kami harus berbicara malam ini juga, karena sudah lebih dari dua minggu kami tak saling bicara kecuali ketika kami di depan George, kami bersikap seolah tak ada masalah.
"Aku ingin kau meninggalkan kami." itu kalimat yang terucap dari bibir Abi, tatapannya begitu kelam padaku, aku mengigit bibirku, berusaha menahan diriku, aku tidak ingin menangis, karena jika aku menangis pembicaraan kami tidak akan berujung pada sebuah jalan keluar."Bisakah aku tetap bertemu puteraku?"hanya itu yang aku minta. Hanya puteraku yang menjadi prioritasku saat ini. "Ya, enam jam, setiap dua minggu sekali." Aku melihat dia berdehem, menelan ludah, aku tahu betul suamiku, dia juga berat memberikan hukuman ini untukku, tapi kelalaianku tak termaafkan lagi olehnya. Apalagi kesalahpahaman diantara kami juga tidak terselesaikan. Meskipun aku menjelaskannya dia tidak akan percaya, karena semua barang bukti bahkan saksi yang adalah dirinnya sendri melihatku bersama Adam, kunci mobilku beralih dari tanngannya ke tanganku di hadapan Abi, apalagi yang bisa kujelaskan untuk membuatnya percaya.
Tiba-tiba air mataku menetes. Wanita setengahbaya di sampingku mengelus lenganku." What ever problem, there's always a hope."aku mengangguk, berusaha percaya pada apa yang dia katakan. Meski seluruh kesadaranku berteriak bahwa " in my case there's no hope."
Bagaimana tidak, setiap kali aku datang ke apartment untuk menemui puteraku, Abi selalu pergi dari rumah. Dia tidak ingin berada di tempat yang sama denganku.
Aku ingat betul pertemuan kami dalam lift, ketika aku menuju ke panthouse miliknya, pintu lift terbuka, kulihat dia berdiri dengan Gretha di dalam lift. Aku tidak tahu sejak kapan Gretha juga ikut memperkeruh keadaan rumah tangga kami. Tapi saat aku masuk kedalam lift, Abi menarik lengan Gretha keluar dari lift.
KAMU SEDANG MEMBACA
Abraham Salim (Book 3) #Googleplaybook #JE Bosco Publisher
RomanceAku sedang berada di kursi tunggu bandara ketika aku mendapat pesan singkat. kubuka layar ponselku dan air mataku hampir saja tumpah meilat backgroun di ponselku, foto suamiku dan pangeran kecil kami George. Pesan dari Agnes kakakku "Take care dear...