BAB 7

7.5K 513 13
                                    


Kami duduk di ruang keluarga, Abi, Evelyn, Suami Evelyn, Aku, dan Geroge, meski kami berkumpul tapi tak ada keceriaan di antara kami. Semua terdiam, bahkan George puteraku yang masih begitu kecil juga ikut larut dalam kesedihan kehilangan Grand Pa-nya.

Sementara beberapa kerabat jauh juga masih berada di rumah, tapi mereka memiliki kesibukan sendiri-sendiri, beberapa memilih untuk mengobrol di ruang tamu.

Selama tiga hari ini kami begitu larut dalam kesedihan, tapi hari ini akhirnya Evelyn dan Abi menabur abu ayah mertuaku di laut, mereka menjalankan wasiat dady yang ingin melebur menjadi satu dengan momy, di laut. Mereka memilih laut bukan tanpa alasan. Laut menjadi tempat favorit mereka untuk menikmati moment kebersamaan, bahkan setelah maut memisahkan mereka.

Aku merasa cinta kedua mertuaku itu begitu sempurna untuk kujadikan contoh. Ibu mertuaku sudah meninggal sejak suamiku berusia sepuluh tahun, dan sekarang suamiku sudah berusia lebih dari tiga puluh tahun, berarti selama dua puluh tahun lebih dady memendam kerinduan pada mendiang isterinya, dia juga tetap setia meski aku tahu itu berat. Dia bahkan harus terjebak pada short memory yang entah apa istilah medisnya, tapi dia kadang merasa bahwa dia hidup di masa dimana ibu mertuaku masih bersamanya.

Bahkan saat terakhir aku bertemu dengannya aku masih ingat betul bahwa dia mengatakan padaku, ibu mertuaku mengiriminya surat.

***

"She sent me a letter, she want me to go home early to day." Dia berkata sambil menghapus air mata di sudut matanya.

"Why?"

"I don't know, she just missed me might be." Jelasnya.

Airmataku hampir saja menetes dibuatnya, bagaimana tidak, dia, ayah mertuaku hidup selama berpuluh-puluh tahun dengan bayangan dan kenangan isterinya yang menurut dia masih hidup.
"Yes, she tell me that you must be strong, keep healthy, she love you much." Aku memeluknya.

Pria tua ini, oh ayah mertuaku, mengapa kalian pria-pria keluarga Salim bisa begitu gagah tapi sekaligus rapuh pada sisi yang lain.

"I know dear." Dia mengusap-usap punggungku.

***
Air mataku kembali menetes ketika aku mengenangnya. Aku segera menghapusnya, aku tidak ingin membuat Evelyn dan Abi semakin bersedih. Aku juga tidak tega melihat puteraku terus bersedih, akhirnya kuputuskan untuk mengajaknya berjalan ke pantai di depan rumah Evelyn.
Kubiarkan dia bertelanjang kaki, berlari-lari di tepian pantai. Untunng saja ada Giovanni dan Brian, anak dari saudara jauh suamiku. Mereka bermain bertiga, sementara aku duduk di tepian pantai, menikmati keceriaan mereka.

Tiba-tiba suamiku, Abraham Salim, duduk di sampingku. Aku menoleh padanya, raut wajahnya masih saja sendu, tapi dia berusaha membalas senyumku.

Aku meraih wajahnya, menatapnya dalam"Momy dan Dady sudah bahagia di sana, akhirnya setelah penantian panjang akhirnya mereka bisa bersama." Aku berusaha meyakinkan suamiku, bahwa ini bukan sesuatu yang sangat buruk, meski kami sedih kehilangan dady, tapi kami harus percaya bahwa dia sudah mendapatkan tempat terbaik di alam sana.

Ayah mertuaku adalah orang baik semasa hidupnya, bahkan di detik terakhirnya dia pergi tanpa pesan, juga tidak menderita sakit. Dia hanya tertidur di depan televisi malam itu, saat Evelyn datang untuk membangunkannya, dia sudah tidak ada lagi. Wajahnya juga seperti orang sedang tertidur pulas, begitu damai.

"I know." Abi bergelayut di lenganku. Aku meraihnya, memeluknya.

Aku merasa dia jauh lebih rapuh dari pada George puteraku, jika George Salim adalah putera sulungku, maka Abraham Salim justru seperti putera bungsuku yang masih begitu membutuhkan kasihsayangku.

Abraham Salim (Book 3) #Googleplaybook #JE Bosco PublisherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang