#1

208 7 0
                                    

"Aku Pamit, Pak, Bu."

"Tidak bisa dipikirkan lagi ya?" Ibunya masih memastikan kepergian si anak.

"Sudah, Bu, capek. Aku mau sendiri dulu. Mau kerja."

"Kenapa harus pindah ke Jogja? Jauh, Nak." Ibunya masih berusaha membujuk.

"Ini sudah untung tidak dipindah tugas ke Bali atau Makasar, Bu."

Demi mendengar Kota Makasar, ibunya diam tak lagi menanyakan ini-itu. Takut menyinggung perasaan si anak. Bapaknya turut disalami lantas berpesan, "Ya, sudah yang penting jaga diri baik-baik. Bapak dan Ibu sudah manut sama yang Nur mau. Yang penting seiman. Tidak usah aneh-aneh."

Nur Sukesa menatap orangtuanya kosong. Tidak ada yang perlu dan ingin ia sampaikan selain mohon restu. Selalu didoakan agar diberi kelancaran dan kesuksesan. Mereka melambaikan tangan di depan rumah. Di balas dengan senyum ramah si anak perempuan yang akan melenggang ke Yogyakarta. Kuliah S2 sembari bekerja sebagai juru foto di sebuah media massa. Akan ada pameran lukisan yang harus diliputnya bersama rekan wartawan.

Yogyakarta, 2015

Bertempat di salah satu gedung persewaan cukup ternama di Yogyakarta. Pameran lukisan yang digelar selama dua hari itu akhirnya jadi kenyataan juga. Mimpinya telah terwujud. Buah dari perkawanannya dengan seniman-seniman kenamaan di kota itu, turut melancarkan segala keperluan. Solidaritas. Terserah orang-orang menyebutnya apa. Ulan Mae tidak terlalu ambil pusing. Baginya, yang terpenting cita-cita menggelar pameran seni lukis terwujud dan berjalan lancar. Begitu sederhana tanpa embel-embel sok jadi artis kemudian atau menarik dana untuk disumbangkan. Ulan Mae tidak tertarik untuk bermuluk-muluk. Mimpinya hanya ingin karyanya bisa dipamerkan.

Pengunjung pameran memang cukup banyak. Namun tidak semua yang datang adalah penikmat lukisan, beberapa di antaranya hanya karena bingung mau menghabiskan waktu di mana, beberapa yang lain hanya karena ingin membuang jenuh dan sedikit menyegarkan pikiran. Salah satunya adalah Nur Sukesa. Tempat di mana ia bekerja mengharuskan perempuan itu meliput pameran tersebut. Namun pada faktanya, jurnalis tersebut datang ke pameran untuk mencoba melupakan sakit hatinya.

Sekian banyak lukisan yang dipamerkan, dua lukisan bergambar laki-laki itu tengah menyita perhatian Nur Sukesa. Lukisan itu seperti menyemburkan kekuatan magis. Seolah hidup dan menjerat kakinya agar tidak bergerak ke mana pun. Bahkan pada satu titik kekhusyukan tertentu, dia seakan diajak bicara oleh kedua lukisan itu.

"Mereka itu suamiku," kata perempuan setengah baya yang tiba-tiba berdiri di sampingnya. Kesadaran Nur Sukesa baru saja kembali.

"Keduanya suami Anda?"

"Mantan." Si Perempuan menegaskan.

Mereka terpaut dalam hening sejenak sebelum si perempuan setengah baya menyalaminya. "Namaku Ulan Mae. Aku yang melukis mereka semua."

"Nur Sukesa," balasnya menyalami.

"Baik. Terima kasih atas kunjungannya, Nur Sukesa."

"Anda bisa memanggilku Nur saja."

Perjumpaan mereka terasa kental dan hangat. Seperti sudah saling kenal lama, meskipun baru saat itu mereka bertatap muka. Selepas melempar senyum dan sapa, Ulan Mae menjamunya di kedai kopi seberang jalan pameran itu digelar. Suasana makin mencair dengan obrolan hangat yang tidak melulu tentang pekerjaan atau rutinitas. Ulan Mae dan Nur Sukesa seakan tidak peduli dengan itu. Perjumpaan yang membosankan ketika obrolan basa-basi berputar-putar masalah latar belakang dan menggunjingkan teman Si A yang ternyata sahabat Si B dan tidak sengaja menjadi kekasih gelapnya Si C. Ulan Mae telah belajar dari separuh hidupnya yang telah lalu. Begitupun Nur Sukesa yang memang senang berbicara tentang pemikiran-pemikirannya.

ULAN MAETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang